Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2. Berawal Dari Ancaman Pembunuhan

Debar jantung Calvin berpacu dengan kecepatan laju kendaraannya saat ini. Mendengar bagaimana gugup dan takutnya Amelia saat berbicara, membuat Calvin langsung melompat dari tempat tidur. Ia bahkan tidak sempat berganti pakaian. Ia pun bergegas mengambil jaket hitam yang tergantung di belakang pintu kamar, lalu mengenakan sepatu kets andalannya. Ia juga tak lupa menyambar dompet serta membawa pisau kesayangannya sebelum keluar kamar.

Martha, yang kamarnya berada tepat di seberang tangga, terbangun akibat kegaduhan yang ia ciptakan karena terburu-buru. Wanita itu membuka pintu kamar dengan raut bingung dan lelah. Sedikit rasa bersalah menyerang Calvin , menyadari bahwa Martha mungkin saja baru tidur setelah menunggu kepulangannya. Tapi, Martha sudah mengenalnya dengan baik. Wanita itu tidak menggerutu, bahkan mengingatkannya untuk tetap membawa obat-obatan yang lupa ia konsumsi sebelum naik ke tempat tidur.

Calvin tidak mengerti mengapa tubuh dan pikirannya sepanik ini setelah menerima panggilan tersebut. Calvin bahkan seperti tidak mengenal siapa dirinya karena baru kali ini ia merasakan sisi protektif tiba-tiba muncul dan mulai mendominasinya. Ini benar-benar aneh. Tapi Calvin tidak berusaha mencari tahu apa penyebabnya karena sudah tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal itu.

Beruntung ia memilih penginapan yang dekat dengan rumahnya, sehingga Calvin bisa tiba di hotel dalam sekejap. Calvin memarkirkan mobil di area parkir yang kosong, lalu bergegas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah cepat sembari mengatur kepanikan yang melanda dirinya, Calvin berjalan menuju pintu masuk hotel.

Penjaga pintu hotel yang membukakan pintu untuknya, terlihat bingung dengan kehadirannya di tempat itu. Namun, pria itu tetap menyunggingkan senyum hangat yang tak digubris oleh Calvin sama sekali. Ia terus berjalan hingga berhenti tepat di depan pintu lift. Beruntung, pintu lift segera terbuka saat ia menekan tombol di dinding. Calvin pun segera masuk, lalu menekan angka 3.

Setelah pintu tertutup, lift langsung bergerak ke atas membawanya ke lantai yang ia tuju. Dalam hitungan detik, akhirnya pintu lift kembali terbuka. Calvin bergegas keluar, lalu berbelok ke kanan menuju kamar Amelia .

“Amelia , ini aku!” seru Calvin cepat seraya mengetuk pintu. Ia berusaha menjaga intonasi suaranya agar terdengar tidak panik. Calvin harus tenang karena ia tidak ingin Amelia melihat perasaan lain yang terkandung dari suara, nada bicara, bahkan mimik wajahnya. Ia juga ingin agar Amelia tidak gugup atau malu saat menatapnya setelah ciuman liar yang terjadi akibat ketidakwarasannya.

Terdengar bunyi kunci yang diputar sebelum akhirnya pintu itu bergerak terbuka. Calvin menangkap raut pucat Amelia yang muncul dari balik pintu. Wanita itu melirik ketakutan ke kanan dan kiri sebelum mempersilakannya masuk. Calvin bisa menangkap tingkat ketakutan yang terpancar jelas baik di raut wajah dan tatapan mata Amelia . Tingkat ketakutan yang selalu ditunjukkan para korbannya setiap kali ia mengangkat pisau kesayangannya sebelum ia mencabut nyawa mereka.

Amelia langsung mengunci pintu, kemudian berbalik dan melewatinya begitu saja sebelum duduk di pinggir tempat tidur. Calvin tidak mengerti mengapa Amelia tidak langsung bergegas merapikan barang agar mereka bisa segera pergi dari tepat ini. Wanita itu malah terlihat seperti menunggu sesuatu, yang membuat Calvin makin mengerut bingung.

“D-dia kembali menerorku,” ucap Amelia ketakutan, tak berani menatap Calvin . Terlihat jelas bagaimana terguncangnya wanita itu atas teror yang kembali muncul. Mata Amelia menatap lantai berkapet dengan tatapan kosong dan tubuh kaku.

“Dia?” ulang Calvin cepat tanpa bergerak sedikit pun. Ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi, yang hanya berjarak tiga langkah dari tempat tidur. Calvin berusaha menjaga jarak saat ini. Ia tidak mau lepas kendali lagi.

“P-pembunuh itu ..., d-dia ada di hotel ini ..., dia ..., dia ....”

Amelia berhenti berbicara, lalu memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur, kemudian melangkah menuju meja TV. Calvin masih berdiri di tempat, sementara matanya terus mengikuti pergerakan Amelia . Sialnya, pandangannya malah tertuju pada bokong Amelia yang terbentuk di balik celana piyama berbahan sutra halus. Rambut yang tergerai itu pun mulai membangkitkan gairah liar yang dengan mudahnya mendidihkan setiap sel darahnya.

Calvin menarik napas dalam-dalam, namun aroma tubuh Amelia yang mengisi ruangan itu malah semakin memenuhi indra penciumannya. Jantungnya yang berdebar cepat karena panik, kali ini berubah menjadi lebih cepat karena gairah yang menggebu-gebu. Refleks, Calvin menggemeretakkan gigi, menahan diri agar tidak bertindak ceroboh untuk yang kedua kalinya. Ia pun berusaha memusatkan kembali perhatiannya kepada Amelia yang memegang sebuah amplop cokelat berukuran panjang, lalu menghampirinya.

“I-ini,” ucap Amelia seraya menyerahkan amplop tersebut padanya, “d-dia menempelkan ini di ..., depan lubang pintu saat terakhir kali dia ..., mengetuk pintu sebelum kamu datang. Tapi k-kumohon jangan ..., jangan salah menilaiku. A-aku benar-benar tidak ingat ..., aku bahkan tidak tahu bagaimana ..., dia bisa m-melakukannya.”

Calvin menerima amplop tersebut dari tangan Amelia yang gemetaran. Dengan raut bingung sembari menahan diri agar tidak terpancing oleh aroma tubuh dan keberadaan Amelia yang sangat dekat dengannya saat ini, Calvin membuka amplop tersebut dan terbelalak seketika. Setelah menyaksikan kematian mama secara langsung, Calvin tidak pernah lagi terbelalak, bahkan saat melihat hal yang menyeramkan sekali pun. Namun kali ini, ia benar-benar terbelalak menatap lembaran-lembaran foto yang membuat matanya terasa panas.

Calvin mengangkat pandangannya, lalu menatap raut wajah Amelia yang merona merah, perpaduan rasa malu dan marah. Amelia memang tidak membahas mengenai ciuman yang terjadi beberapa jam yang lalu, namun foto-foto itu membangkitkan ketegangan seksual yang membuat tubuh Calvin menegang. Amelia tak berani menatap matanya, wanita itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan merasa seluruh dosanya terpampang di foto-foto itu.

Ia kembali menatap lembaran-lembaran foto saat Amelia sedang mandi, berpakaian, dan tertidur. Tiga di antara lembaran foto itu menunjukkan tubuh Amelia yang telanjang hingga ia bisa melihat setiap lekuk tubuh wanita itu dengan jelas. Ia tidak tahu apa yang orang itu inginkan sampai harus mengambil foto Amelia seperti ini. Entah untuk kesenangan pribadi atau memang ada tujuan tertentu, Calvin benar-benar tidak mengerti. Namun dari tumpukan foto itu, Calvin bisa mengambil kesimpulan bahwa selama ini ada kamera tersembunyi yang tersebar di apartemen Amelia . Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana bisa para polisi tidak menemukan kamera tersebut?

Calvin terus beralih dari satu foto ke yang lain. Pandangannya tertuju pada tiga lembar foto yang menampilkan wajah seorang wanita berusia lima puluhan. Wanita itu tergeletak tak bernyawa dengan darah mengalir dari lehernya. Foto itu cukup menyeramkan bagi orang yang tidak terbiasa melihat kekejian secara langsung. Namun baginya, foto itu adalah hal yang biasa.

Tertangkap jelas bahwa sesungguhnya wanita di foto itu tak menyadari akan kemunculan si pembunuh. Mata wanita itu terbelalak, mulutnya terbuka lebar, sementara pandangannya kosong dengan rambut yang sedikit berantakan akibat bekapan si pelaku, menunjukkan bahwa semua terjadi secara tiba-tiba dan cepat. Calvin kembali menyimpulkan bahwa wanita di foto itu pastilah mamanya Amelia .

Calvin mengangkat wajahnya dan menatap raut Amelia yang terlihat sedih dengan linangan air mata. Ingin rasanya ia menarik wanita itu dan memeluknya. Keinginan itu sangat besar hingga salah satu foto di tangan kanannya tertekuk akibat remasannya yang kuat. Calvin kembali mengalihkan pandangan dari Amelia , berharap bisa menekan amarah yang membuncah di dadanya. Namun harapannya pupus seketika, karena selembar kertas dengan tulisan tangan malah semakin membakar tubuh Calvin dalam sekejap.

‘KAU SELANJUTNYA!’

Tak perlu berpikir dua kali, Calvin langsung memasukkan semua foto ke amplop. Amelia mengusap air mata yang menetes di pipi, sementara Calvin melangkah menjauh dari wanita itu dan meletakkan amplop di meja TV. Calvin menarik napas dalam-dalam, benar-benar berusaha menenangkan diri. Ia tidak ingin Amelia menangkap seperti apa perasaannya saat ini.

Memasang raut datar tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh sedikit pun akan semua foto-foto itu, meskipun sejujurnya darahnya mendidih bak letupan lava yang siap meledak. Tapi, berbicara dengan tenang cukup sulit baginya saat ini. Amarah sudah memenuhi kepalanya, sehingga yang Calvin butuhkan saat ini hanyalah berteriak dan menggeram marah. Tapi ia tidak bisa melakukannya sekarang, karena hal itu akan membuat Amelia semakin ketakutan.

“Kita harus pergi dari sini,” ucap Calvin berusaha terdengar tenang saat berbalik dan menatap Amelia yang masih membelakanginya dengan kepala tertunduk. Calvin tahu kalau Amelia sedang menangis, tapi sekeras mungkin ia berusaha agar tidak luluh pada sisi lembut dalam dirinya yang selalu muncul setiap berada di dekat wanita itu.

“Aku lelah,” ucap Amelia dengan isak tangis yang tertahankan. Calvin memperhatikan kedua tangan Amelia terangkat ke depan, menangkup wajah demi menyembunyikan isak tangis darinya. Namun Calvin bisa melihat bagaimana pundak Amelia bergetar hebat karena tangis, menunjukkan dengan jelas bahwa wanita itu dalam keadaan terlemahnya saat ini. Lemah dan terpuruk dalam satu waktu yang bersamaan.

Menyerah. Akhirnya Calvin berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di belakang wanita itu. Calvin ingin melingkarkan pelukan dan menenangkan Amelia , tapi ia malah mengepal kedua tangan erat serta menahan napas selama beberapa detik sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan wanita itu tanpa menimbulkan kesan yang salah. Calvin diam sembari menatap rambut Amelia yang terlihat lembut, menggoda tangannya untuk membelai.

Akhirnya, Calvin mengangkat tangan kanannya dan memutuskan untuk mengusap kepala Amelia layaknya menenangkan seorang anak kecil yang sedang menangis. Setelah beberapa kali usapan lembut, Amelia menurunkan tangan dari wajah, lalu berbalik menghadap dirinya. Wanita itu berusaha menghentikan tangisan sembari sesekali mengusap air mata. Dengan sabar, Calvin menunggu hingga akhirnya Amelia mengangkat wajah dan menatapnya dengan raut sedih bercampur lelah.

Amelia beranjak dari hadapannya, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Calvin bisa melihat dengan jelas rasa lelah yang terpancar di mata wanita itu. Berusaha untuk tetap bersikap datar, dingin, dan profesional, Calvin pun memutuskan untuk duduk di samping Amelia sembari menjaga jarak. Ia berdeham sekali sebelum menoleh dan menatap wanita yang masih tertunduk lemah di sampingnya.

“Aku lelah, Calvin ,” ucap Amelia sedih, lalu mengusap air mata yang masih mengalir.

“Aku tahu,” sahut Calvin datar, berusaha tak menunjukkan rasa simpatinya sedikit pun.

“Temani aku, Calvin ,” lanjut Amelia lemah sebelum menoleh menatapnya, “kamu mau?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel