Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Mau Ikut Senam Miss-V

Suara berisik bel rumah Tante Vine membuyarkan 'olahraga' pagi yang dilakukan oleh dirinya dan sang brondong, Ed.

"Ya, tunggu sebentar."

Vina buru-buru turun dari tangga kamarnya menuju pintu utama kediamannya. 'Deh, siapa sih yang ga tau waktu pagi-pagi buta udah namu ke rumah orang!' kesalnya.

"Ya." Vina terkejut saat membuka pintu rumahnya.

"Selamat pagi, maaf pagi-pagi sudah mengganggu Anda." 

Tyas datang ke rumah janda seksi itu sambil membawa bungkusan yang ditutupi serbet di tangan kanannya.

"Anda … siapa, ya?" Vina memiringkan kepalanya menatap lekat Tyas yang berdiri di depannya.

"Nama saya Tyas, tetangga Mbak yang kemarin datang ke acara selamatan rumah Mbak.”

Vina masih memiringkan kepalanya, mengingat-ingat wajah Tyas ala kadarnya.

“Mmm, oke … oke. Akan saya ingat nanti, ya, Mbak. Tapi, ada apa ya pagi-pagi datang ke rumah saya?” tanya Vina penasaran.

“Oh, ini. Kebetulan saya sedang membuat kue bolu dan ada lebihnya. Barangkali Mbak mau mencicipi kue buatan saya yang masih belajar ini.” Senyum ramah Tyas.

“Ouw, oke. Terima kasih, ya, Mbak. Pake repot-repot segala.” Ucap Vina basa-basi menerima sebuah piring yang ditutup dengan serbet makanan.

“Kalau begitu, saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu waktunya.” Tyas segera bergegas meninggalkan kediaman Vina.

“Hadeh, ada-ada aja sih kelakuan orang-orang di komplek ini. Sepagi buta bertamu cuma untuk anter kue ini-” Vina membuka bolu panggang dengan aroma harum dan menggoda perut untuk segera mencoba.

“Siapa, Sayang yang datang pagi-pagi buta?” Ed menuruni tangga hanya dengan menggunakan kolor ketat hitamnya, menonjolkan ‘rudal’ besar miliknya.

“Kenapa kamu belum berpakaian juga, Ed? Jam berapa sekarang?!” Vina melirik jam dinding di ruang tamu, “Hahhhh, sudah mau jam 6! ED, SEKARANG JUGA KAMU PAKE PAKEAN KAMU DAN MASUK MOBILKU!!” perintah Vina meletakkan sembarang kue bolu pemberian Tyas.

“Masuk ke mobilmu? Apa kita akan ‘main’ di dalam mobil seperti waktu itu?” kekeh Ed yang telah berdiri di sebelah Vina.

“Muka gila kamu! Masih pagi buta, pikiranmu hanya tentang seks!” kesal wanita yang memakai piyama pink terang.

“Ayolah, Sayang … satu kali aja, ya … ya, please … aku udah ga tahan, nihh. Tuh lihat-” Ed menunjukkan ‘rudal’ besarnya yang tegang dan mengeras.

‘Hhhh, brondong sialan! Hyper banget, sih!’ kesal Vina memutar bola matanya.

“Pakai ‘balon’! Aku ga mau kalau sampai kenapa-kenapa, sebentar lagi aku masuk masa suburku!” Vina melirik dengan kesal ke arah Ed.

“Iyesss!! Don’t worry, babe. Mau warna dan rasa apa? Aku punya semuanya.” Kekeh Ed mencubit gemas dagu lancip sang Tante.

“Brondong hyper!” Vina mendengus kesal.

***

"Udah kamu kasih, Tyas ke tetangga baru kita kuenya?" tanya sang mertua saat membereskan dapur yang masih berantakan karena kue yang mereka buat.

"Sudah, Bu. Sudah Tyas kasih.” Sahutnya membantu sang mertua.

"Kamu bangunin Naren aja, Yas. Udah siang ini. Mau berangkat jam berapa memang?” 

Tyas melihat ke arah jam dinding menunjukkan pukul 06.00. Segera, wanita cantik itu menuju kamar mereka di lantai satu dan membangunkan Naren yang masih tertidur pulas di bawah selimut biru lautnya yang hangat dan lembut.

“Mas … Mas.” Tyas membangunkan Naren sepelan mungkin.

Tak ada jawaban. “Mas …Mas … Mas,” sekali lagi Tyas berusaha membangunkan sang sami.

“Jangan gitu donk, Sayang. Geli, ih. Kamu nakal, ya.” Kekeh Naren meracau dalam tidurnya.

‘Sempat-sempatnya mengigau … ckckck. Mas … Mas, bangun. Udah siang.” Tyas menggoyang-goyangkan tubuh Naren.

"Jam berapa ini?" dengan suara yang masih parau, Naren perlahan membuka sedikit matanya.

"Jam 6."

"Hah! Jam 6? Kok ga bangunin dari tadi, sih!!!" 

Naren segera bangun dan membersihkan diri, sementara Tyas merasa heran dan bingung sang suami tiba-tiba berubah sedikit aneh dan tak seperti biasanya. "Aku siapkan sarapan, ya." 

"Ga usah! Aku keburu-buru. Siapin aja pakaianku!" 

'Tumben, ga biasanya Mas Naren enggak sarapan.' Gumam Tyas lalu menyiapkan pakaian kerja sang suami.

Tyas terus memikirkan igauan sang suami pagi ini. Wanita itu mengenal betul jika Naren bukanlah sosok pria yang mudah mengigau, kecuali jika dia sedang sangat lelah. 'Siapa yang sedang diigaukan Mas Naren, ya? Apa yang sedang ia lakukan dalam igauannya?' gumam Tyas tak lama melihat sang suami keluar dari kamar mandi dan memakai handuk piyama.

Naren memasang ekspresi datar dan tak banyak bicara. Benar-benar tak seperti biasanya! Tyas agak sungkan membuka percakapan bahkan dengan suami sendiri.

'Mas Naren kenapa ya? Apa karena semalam aku tak melayaninya?' pikir Tyas melihat Naren yang sedang mengeringkan tubuhnya.

"Mmmm, anu, Mas … mau bawa kue yang aku dan ibu buat ga?" tanya Tyas mencoba mencairkan suasana.

"Enggak, kamu tahu kan aku ga suka yang manis-manis," sahut Naren agak ketus.

"Oh, yasudah kalau gitu. Aku keluar kamar dulu." Tyas semakin sungkan dan segera berdiri menuju pintu kamar mereka.

"Hmm, siapkan sepatuku!" intonasi suara dan kata-kata Naren terdengar memerintah.

Tyas hanya mengangguk dan segera keluar kamar. 'Fiuhhhhh, untung ga ketauan! Gila, semalam aku ngapain sih sampe mimpi basah! Tapi, aku ingat betul wajah wanita di mimpiku. Dia seperti ….' Naren tiba-tiba berjalan menuju pintu balkon kamarnya dan menggesernya. Udara dingin kota Jogja telah menjadi santapan utamanya sehari-hari, jadi kulitnya sudah tebal. Mata Naren menoleh ke rumah dua lantai yang hanya beda dua rumah dari tempat tinggalnya. 'Ya, aku yakin itu dia! Di mimpiku aku sedang 'main' dengan wanita itu. Ya, Tuhan, aku benar-benar gila dibuatnya!' Naren hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap rumah Vina.

"Yas, kalo udah selesai beres-beres, nanti ambil piring yang tadi dipakai antar kue ke rumah Mbak Vina, ya. Ibu sama bapak mau olahraga dulu." 

"Baik, Bu. Akan Tyas ambil nanti." 

Naren yang sedang turun dari lantai kamarnya, tak sengaja mendengar percakapan antara istri dan ibunya. Ketika ia melihat sang ibu telah pergi dengan ayahnya, Naren dengan langkah tergesa menuruni tangga dan menghampiri sang istri yang sedang mencuci piring.

“Sayang.” Tangan Naren langsung melingkar di pinggang ramping sang istri.

“Ah, M-Mas! Bikin kaget aja, untung ga pecah ini piringnya!” sahut Tyas yang terkejut bercampur kesal.

“Hehehe, maaf.” Mata Naren diam-diam melirik ke arah tumpukan cucian piring yang lumayan menggunung di wastafel dapur kebanggaan sang mama.

"Mmm, kamu kayaknya lagi repot banget, ya, Sayang. Mau aku bantu ga?" basa-basi Naren masih melingkarkan tangannya dan kini kepalanya meniup tengkuk sang istri.

"Ah, Mas. Geli tau! Udah sana sarapan dulu. Jangan ga sarapan, nanti kamu lemas, lho."

"Aku lemas, kamu puas." Kekeh Naren.

"Hmmm, mulai ya, nakal pagi-pagi."

"Habis, semalem minta 'jatah' ga dikasih sih! Kan dedek-nya kedinginan sampai kaya terong mleyot." Naren memainkan bibir depannya layaknya anak kecil yang merajuk.

Tyas bergeming. Ada rasa tak enak hati ketika Naren menyatakan kata-katanya. Pelan namun memiliki makna yang langsung mengena pada jantung Tyas.

“Mmmm, maafin aku, Mas semalem ga ‘layanin’ kamu. Aku tuh dari semalem kepikiran mau itu-”

“Itu apa?” Naren bersikap layaknya koala yang nemplok di pohon.

“Itu … anu-” Tyas sedikit ragu untuk bicara.

"Sayang, kamu mah suka kebiasaan ya! Ngomong ga pernah tuntas, selalu dijeda! Banyakan makan angin kali ya kamu, terbang-terbangan kata-katanya!” Naren melepaskan tangannya dan meminum kopi susu favoritnya.

‘Hhhh, salah ngomong lagi, aku ….’ Tyas menghela nafasnya cukup panjang.

“Mas, boleh minta tolong ga?” pinta Tyas sambil tersenyum.

“Hmm, apa?” sahut Naren agak malas. “Cepetan ngomong, dah jam berapa ini-” Naren melihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00.

“Tolong ambilkan piring ibu yang dipake buat anter kue tadi di tetangga baru kita.”

“Tetangga baru? Siapa? Di mana?” tanya Naren antusias.

“Itu, bekas rumah pak Pandu dulu, Sekarang sudah dibeli oleh seseorang.” 

“Oh, ya? Siapa yang beli rumah ‘wah’ itu, Sayang?” ke-kepoan Naren semakin menjadi-jadi.

“Namanya Vina, wanita yang lumayan masih muda. Dia juga seorang instruktur senam dan banyak dari ibu-ibu komplek sini yang masuk ke sanggar senamnya,” jelas Tyas tanpa menaruh curiga sedikit pun.

“Vina?” Naren membelalakkan matanya antara percaya tak percaya.

“Huum, dan aku mau minta ijin sama kamu … aku mau masuk sanggar senam yang dikelola sama Mbak Vina ini.” Senyum Tyas dengan mata besar kontak lens coklat terangnya.

“Buat apa, sih kamu senam-senam segala? Badan kamu kan udah bagus, Sayang. Palingan juga tu tetangga baru cuma modus, ntar ujung-ujungnya ngajak arisan online-lah, apalah …. dan aku ga seneng, ya kamu ikut-ikutan kaya gitu! Udah, aku ambil piring ibu dan berangkat ke kantor!”

Naren segera pergi ke rumah tetangga baru yang dimaksud sang istri. Pencetan bel yang tak berjeda membuat sang pemilik agak dongkol dan membuka pintu dengan ekspresi tak menyenangkan.

“Ya! Sabar kenapa, sih!” ucap Vina ketika akan membuka pintu rumahnya dan bertemu pandang dengan Naren.

Naren tentu saja terkejut ketika tahu Vina yang dimaksud adalah wanita yang ada dalam imajinasinya dan … mimpinya, juga wanita yang membuat ‘basah’ saat dia pertama kali bertemu dengannya.

‘Durian runtuh!’ gumam Naren berseru dan berusaha menyembunyikan ketakjubannya dan kebahagiannya.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Vina dengan suara pelan nan seksi, serta pakaian mini dress si atas paha yang ketat dan memamerkan dua buah melon padatnya ditambah selipan di antara dua melonnya yang tampak terlihat sangat jelas.

Naren yang tak sengaja melihat ‘selipan’ buah melon sang tante langsung menelan saliva paksa dan berusaha memalingkan wajahnya.

“Helloooowww, ada yang bisa saya bantu, Mas?” Vina agak menaikkan intonasi suaranya dan menjentikkan jemarinya.

“Oh, m-maaf. Saya mau ambil piring yang tadi untuk hantaran kue-” ucap Naren tanpa basa-basi yang membuatnya langsung terdiam. 

Vina menaikkan alis kirinya dan ekspresi seolah ingin mengatakan, ‘kau aneh!’.

“Pi-ring hantaran kue? Maksud Anda kue bolu?” tanya Vina agak ragu.

“Ah, iya. Benar! Kue bolu yang tadi pagi, eh-” Naren langsung menutup mulutnya dan menggaruk belakang kepalanya salah tingkah,

Vina tertawa kecil melihat tingkah Naren dan berkata, “Sebentar, ya. Akan aku ambilkan.”

Mata Naren benar-benar tak bisa lepas sari tubuh sintal bak gitar Spanyol dan bodi ‘S’ milik Vina, ditambah bentuk bokong yang bulat sempurna dan terlihat padat, membuat Naren tak sadar mengangkat kedua tangannya dan mulai berimajinasi seolah ia sedang memegang, meremas, dan memberi sedikit pecutan kenikmatan pada bokong Vina.

“Oh, Tuhan … pagi-pagi udah dikasih kenikmatan kaya gini, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan.” Naren masih membayangkan dirinya meremas dan memegang bokong Vina ditambah gerakan jemari tangannya.

“Ehem!”

Naren dengan cepat membuka matanya dan melihat Vina ternyata sudah ada di depannya membawa piring yang dimaksud dan serbet makanan.

“Ini, Mas piringnya. Makasih ya, bolunya enak banget. Bikin ketagihan.” Ucap Vina memasukkan telunjuk ke mulutnya sambil menghisap-hisap.

Naren semakin gila! Saliva-nya seakan ingin keluar dari mulutnya dan ingin merasakan jemari panjang dan lentik serta kuku yang terawat milik Vina.

‘Gila … gila ni cewek! Kelamaan aku di sini, ‘terongku’ bisa bangun ini.’ Naren menggelengkan kepalanya.

“Ada apa, Mas?” tanya Vina.

“En-enggak. Ga apa-apa. Baik, terima kasih Mbak Vina, saya permisi dulu.” Senyum Naren mulai salah tingkah.

“Harusnya saya yang bilang gitu, lho, Mas. Kue bolunya emang enak bangetttt, bikin saya kepingin lagi. Apa kue bolunya dijual, Mas?” 

“Apa? Dijual?” Naren sedikit bingung, namun ketika setan sudah menancapkan panah neraka pada manusia, seketika otak yang lemot pun akan bekerja dengan baik. “I-iya. Kuenya dijual, Mbak. Mbak Vina mau pesan?” Naren mulai berjalan dengan otak kotornya.

“Mau donk, Mas. Seloyang berapa harganya?”

“Waduh, berapa y? Soalnya istr-ibu saya yang jual. Saya hanya bantu memasarkannya aja. Tapi, kalau Mbak Vina mau, nanti saya list order.”

“Wah, makasih, ya … kebetulan, aku paling suka sama makanan yang manis-manis, apalagi yang bisa dijilat sampai habis dan terkikis.” Ucapnya sambil mengedipkan mata kanannya.

‘Alamak!! Beneran bisa ‘basah’ aku kelamaan di sini!’ Naren segera pamit dan ketika akan membalikkan badannya, ia tak sengaja melihat spanduk yang tergeletak di teras depan rumah Vina bertuliskan ‘Sanggar Senam Vina’.

“Ini punya Anda?” Naren menunjuk spanduk yang dimaskud.

“Benar, itu milik saya. Ada apa, ya?” Vina kemudian berjalan mendekati Naren dan berdiri di sebelahnya. 

‘Wangi dan harum sekali tubuh wanita ini.’ Naren sampai memejamkan matanya menghayati dan menikmati aroma wangi tubuh Vina.

“Haduh, Anda tahu ga siapa yang bisa pasang ini spanduk. Saya akan segera membuka sanggar senam saya yang ke-4 di daerah sini.” Vina tiba-tiba menunggingkan tubuhnya hingga tak sengaja Naren melihat dalama Vina warna pink dan bokong yang hampir terangkat juga melon yang hampir menyembul keluar dari penopang dadanya.

‘Sial! Sial! Sial!’ Naren melihat ‘terongnya’ mulai menegang dan mengeras. Tak ingin malu, tanpa basa-basi dia segera pergi dan melambaikan tangannya dari kejauhan pada Vina.

“Lha, kok, malah pergi-” ucap Vina mengendikkan kedua bahunya.

Sesampainya di rumah, Naren tak langsung menemui istrinya. Pria itu layaknya maling di rumah sendiri, mengendap-endap naik ke tangga dan pergi ke kamarnya. Dengan cepat, Naren membuka celana dan dalamannya yang telah basah dengan cairan kental miliknya yang keluar ‘tanpa sengaja’. “Fyuhhhh, hampir saja aku mati berdiri dan malu di sana! Gila, wanita yang bernama Vina itu selain seksi, sex appeal-nya juga berasa banget. Aku yakin siapa pun yang jadi pasangannya bakal puas di ranjang!” Naren dan otak kotornya mulai ‘berdiskusi’ 

Tak ingin diketahui sang istri, Naren mengganti celana kerjanya dengan warna abu-abu dan atasan yang sama. Dengan cepat, dia segera turun dari tangga sambil membawa piring dan menemui Tyas.

“Ini Sayang, piringnya.” Ucap Naren meletakkan piring kosong di meja.

“Makasih, ya, Mas. Maaf, merepotkan. Lho, setelan kerja kamu ganti? Yang tadi emang kenapa?” tanya Tyas penasaran.

“Oh, i-itu kena cipratan genangan air kotor tadi di rumah tetangga baru.” Kilah Naren sambil tersenyum.

“Cipratan genangan air kotor? Tapi setauku, dia ga punya teras yang cukup lebar deh, Mas. Dan-”

“Oh, ya. Aku tadi sempat bincang dengan tetangga baru kita, Mbak Vinna,” Naren langsung memotong kata-kata Tyas.

“Tentang apa?” Dan gayung pun bersambut! Tyas lupa dengan kata-katanya.

“Itu, yang kamu bilang sanggar senam.”

“Oh, sudahlah, Mas. Lupakan saja. Ga apa. Lagipula, seperti katamu, kan. Tubuhku masih bagus dan berisi.”

“Siapa yang bilang ga boleh?” Naren balik bertanya.

“Eh, m-maksud Mas Naren?”

“Kalau kamu mau ikut senam, ikut aja. Mas malah ngedukung kamu, Sayang. Sekalian, sosialisasi sama ibu-ibu di komplek sini.”

Entah apa yang membuat sang suami tiba-tiba berubah 180 derajat, namun Tyas sama sekali tak memiliki prasangka buruk terhadap Naren.

“Kamu serius, Mas? Beneran aku boleh ikut senam di sanggar milik Mbak Vina?” tanya sekali lagi Tyas meyakinkan sang suami.

“Iya … iya … iya! Puas kamu, tiga kali iya.” 

“Makasih, ya, Mas udah izinin aku ikut senam.” Tyas langsung mendaratkan kecupan manis di pipi sang suami.

“Sama-sama, Sayang. Tapi, kamu mau senam apa, sih sampai ikut sanggar senam segala.”

“Mmmmm, senam miss-V.” Ucap Tyas menutup wajahnya yang seketika memerah.

“Hah? Senam apa?” Naren sempat terkejut mendengar sekilas jawaban Tyas.

“Aku mau ikut senam untuk mengencangkan miss-V, Mas.”

Naren hanya bisa tertegun dan mengernyitkan keningnya seraya menepuk jidatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel