Bab 10 Gara-Gara Bolu, Jadi sering Menghalu
Naren yang telah tiba di kantornya, buru-buru masuk ke ruangannya dan menutup tirai yang ada di ruang kerjanya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi warna abu-abu empuk miliknya, memejamkan matanya, dan mulai pikiran kotornya ber-sinkronisasi dengan dunia halunya.
"Ah, enaknya. Mantap benar pijatan tanganmu, Vina .... tak sabar rasanya aku ingin dipijat di bagian yang 'lain' ...."
Naren dan otak kotornya yang sering menghalu tentang seks bersama Vina semakin lama semakin bertambah parah! Tiap kali pria itu memikirkan tentang janda seksi binti liar binti binal itu, Naren harus bersiap mengganti celana dalam dan luarnya. Daaaannnn, benar saja! Baru beberapa menit ia memikirkan tante binal itu, celana Naren telah mengeluarkan cairan dari dalam celananya.
"Oh, shittt!!" serunya melihat celana kerja yang dipakainya basah di bagian terlarang. "Hhh, gara-gara tu perempuan aku jadi cepet 'on fire'." Keluh Naren buru-buru mengelap celananya yang basah di bagian terlarang.
"Tapi, kayaknya ide buat bikin bolu boleh juga, tuh. Itung-itung biar Tyas makin lancar bikin kuenya dan-"
Pikiran kotor Naren mulai lagi berjalan di otaknya! Membisikkan sesuatu yang mengundang birahi meningkat hingga pekerjaannya terhambat.
Tok ... tok ... tok ...
Naren yang sedang asyik melamun jorok dan binal tentu saja tak mendengar bunyi ketukan pintu yang cukup nyaring.
"Pak! Pak! Pak Naren?" Asri, sang sekretaris masuk ke ruangannya dan mendapati sang bos sedang tertidur sambil tertawa.
"Heh, dia malah enak-enakan tidur! Bener-bener bos yang ga bisa diandelin!" dengusnya menghampiri Naren yang tengah tertidur berbarengan dengan piktor-nya.
"Pak ... Pak .., Pak," Asri menepuk-nepuk pundak Naren pelan.
"Ah-enak banget! Lagi ... lagi, yang lebih dalem lagi. Aku lagi pengen ni-" Ucap Naren seraya membasahi mulutnya dengan lidahnya dan menjulurkan lidah panjangnya, membasahi bibirnya.
'Pak Naren lagi ngimpi apa,sih? KOk gitu banget nadanya. Jijay!!' Asri menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepuk pelan pundak bos-nya.
"Pak ... Pak Naren, bangun Pak." Asri terus memukul pelan hingga ia gemas sendiri. "Ganteng-ganteng kebo banget ni orang kalo tidur! Kasihan banget Bu Tyas kalo bangunin ni laki!" ucap Asri mulai geram.
"KEBAKARANNNNN!!!" teriak Asri tepat di telinga Naren.
"Hah! Apa? Kebakaran?! Di mana? Di mana? Cepat panggil pemadam kebakaran!" panik Naren segera mendorong kursi kerjanya kencang dan berlari layaknya orang linglung.
Ingin sekali Asri tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan konyol sang Bos, namun, janda anak satu ini lama-lama iba dan menghampiri Naren yang masih berdiri layaknya orang linglung dan menyatukan nyawanya.
"Pak, Bapak sudah bangun belum?" tanya Asri pelan.
Sedetik kemudian, Naren menggelengkan kepalanya dan melihat terkejut sang sekretaris yang berdiri tegak di hadapannya. "Asri? Ngapain kamu di sini?" tanya Naren mengucek matanya.
"Saya? Ngapain di sini? Mau ketemu Bapak. Tapi Bapak malah tidur plus ngigo lagi," kelakar Asri.
"Ngi-ngigo?" wajah Naren langsung berubah sedikit pucat. 'Gawat! Aku ngigo apa, ya?' gumam Naren khawatir.
Melihat gelagat Asri yang biasa-biasa saja, Naren yakin jika dia tak mengigau yang aneh-aneh. "Yasudah! Terus, kamu mau apa ke ruanganku?" tanya Naren kembali ke topik pembicaraan.
"Mau menyampaikan jika dalam beberapa hari lagi Tuan Anggoro akan ke Jogja, Pak."
"Anggoro?" Naren mengernyitkan dahinya.
"Kenapa? Bapak pasti lupa!" Asri memutar dua bola matanya sambil menghela nafas.
"Hehehe, you know me so well," kelakar Naren garuk-garuk belakang kepalanya.
"Undangan yang tempo hari saya kasih ke Bapak, pasti belum dibuka dan dibaca! Seperti biasa!" Asri mencari undangan warna merah berpita kuning emas dari Anggoro. "Ketemu! Nih, Pak! Dibuka, Dibaca, Disimak, Diinget! Jangan ngayal yang jorok-jorok mulu!" kesal Asri mendengus layaknya sapi betina yang sedang marah.
"Ish, kamu ni! Makin lama makin berani, ya sama saya!" Kesal Naren membalas dengusan Asri dengan lirikan tajam.
Asri hanya memutar bola matanya. Menanggapi ocehan Naren dengan santai, seolah hanya angin lalu, masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
"Makanya, berubah donk! Wes nikah kok ya ga berubah! Kowe ki dudu cah cilik neh (kamu ini bukan anak kecil lagi!)." Asri memajukan bibirnya. "Nih, undangan dari Tuan Anggoro." Asri memberikan undangan pada Naren dan langsung mengarah ke pintu keluar ruangan Naren.
"Ngko tak wocone, saiki agek repot (nanti aku bacanya, sekarang agak repot)," sahut Naren sedikit menaikkan volume suaranya menjawab sang sekretaris. 'Hhhhh, ampun deh! Dari kuliah, tu cewek bar-bar banget sikapnya, pantes suaminya minggat dari rumah. Apa jangan-jangan-' Naren langsung menabok mulutnya sendiri agak keras sambil berkata, "Duh, ngomong apa sih aku ini! Kaya lambe turah banget! Yok, Naren, fokus kerja! Inget cicilan masih banyak, belum lagi kalau nanti punya anak-"
Naren yang awalnya ingin membuka surat undangan dari kliennya itu, mendadak terdiam dan mengusap-usap dagunya seraya menyeringai penuh akal bulus. Sang pengusaha mebel jati itu pun langsung mengambil ponselnya dan sambil mengusap-usap pigura foto sang istri, Naren menelepon dengan suara manjanya.
"Halo, Sayang. Lagi ngapain?
[Habis dari pasar, Mas terus mau bantu Ibu. Tumben ni kamu nelpon duluan. Biasanya kan-]
"Aku lagi kangen sama kamu. Ga tau ni, pengennya denger suara kamu terus."
[Gombal!]
"Gombal bukannya rambut kaya Bob Marley itu ya?"
[Itu gimballllllll ....]
"Oh, salah ya? Hehehe. Mmm, Sayang, aku pengen-"
Tyas yang menerima telepon di samping sang mertua dan dispeaker, otomatis langsung mematikan speaker dan segera menjauh dari ibu mertua. Nyonya Rina, sang ibu mertua hanya tertawa geli melihat kelakuan menantu cantiknya sambil menggelengkan kepala. "Dasar, anak muda zaman sekarang. Senengnya main di tempat gelap-gelapan."
"Halo ... halo, Sayang? Kamu masih di situ kan?"
[Ishhh, apa sih kamu!]
"Apa? Aku kenapa?"
[Apa coba maksud kamu ngomong-ngomong pengen? Mana ada Ibu lagi! Kan maluuuu]
"Lah, memang kamu loudspeaker?"
[I-iya]
"Hahahahhaha-"
[Kok ketawa, sih! Ihhhhhh, nyebelin banget! Dah, ya! Aku mau masak trus bantu Ibu bikin kue lagi.]
"E ... e ... tunggu dulu, Sayang. Masa gitu aja marah? Iya ... iya, aku ngomong sekarang. Aku pengen punya anak. Kayaknya kalo udah ada ank, rumah tu ga dingin dan hangat."
Tyas langsung terdiam, pandangannya menerawang ke langit tepat saat sebuah pesawat sedang terbang di atas langit rumah mereka. 'Aku rindu terbang.'
Tanpa sadar, Tyas mengucap sesuatu yang samar terdengar Naren.
"Sayang, barusan kau bilang apa?"
[Oh, t-tidak. Aku tak bilang apa-apa.]
"Oh, kupikir ... jadi, gimana?"
[Gimana apanya, Mas?]
Naren setengah kesal bicara dengan sang istri, namun ia coba bersabar.
"Sa-"
Belum selesai bicara dengan Tyas, ponsel milik Naren yang satunya berdering dari nomor tak dikenal.
"Sayang, nanti kita bicarakan di rumah, ya. Aku sedang ada telepon di hp satunya."
Tyas masih menerawang ke angkasa. Iris coklat terang miliknya tak berkedip hingga ibu mertua menghampirinya.
"Tyas, kok kamu bengong?" tanya Nyonya Rina lembut menyentuh pundak menantunya.
"Oh, enggak, Tyas ga apa-apa, Bu." Senyum Tyas menyahut.
"Bener ga apa-apa?" tanya ibu mertua meyakinkan.
Tyas menganggukkan kepalanya. "Hari ini kita akan masak apa, Bu?" tanya Tyas mengalihkan pertanyaan dan rasa sedihnya.
"Sayur lodeh, orek tempe, sambel, dan lalapan."
"Tyas bantu, Bu." Senyumnya mengalungkan tangannya ke lengan sang ibu mertua.
"Ayo, setelah itu kamu belajar buat bolu lagi ya, biar tambah mahir. Nanti, kalau sudah mahir bisa gantikan Ibu buat kue atau buka toko aja sekalian."
"Tyas malah belum kepikiran ke sana, Bu. Sekarang aja belajarnya masih kaa bayi, merangkak." Sahut Tyas menurunkan sedikit rendah pundaknya.
"Ga apa-apa, nanti juga bisa. Oh, ya, nanti kalau sudah selesai praktek bikin kuenya, kamu kasih lagi ke tetangga baru itu, ya."
"Tetangga baru? Mbak Vina maksud Ibu?"
"Iya. Sepertinya dia bukan orang sembarangan, relasinya kayaknya banyak. Siapa tahu kan?" Nyonya Rina menaik-turunkan kedua alisnya. "Ya sudah, ayok! Jangan tunggu lama, nanti keburu siang."
***
"Bak, Pak. Akan saya suruh anak buah saya segera mengirimkan pesanan Bapak. Baik, terima kasih, Pak. Senang bekerja sama dengan Anda."
Raut wajah Naren tampak sumringah, jemarinya menekan line telepon dan menyuruh Asri ke ruangannya.
"Ya, ada apa, Pak?" tanya Asri tak lama ke ruangannya.
"Suruh supir kita kirim pesanan Tuan Alex ke alamat ini." Naren menghadapkan ponselnya ke Asri.
"Tuan Alex siapa Pak? Kenapa dia ga lewat prosedur kaya biasanya?" Asri mengerutkan keningnya sambil melihat alamat yang tertera di ponsel Naren.
"Karena dia klien spesial. Dia itu pengusaha kelas kakap dan sedang ada proyek di daerah selatan."
"Hmmm, makanya kelas kakap terus beda ya perlakuannya, kalo kelas lohan apa teri gimana tuh nanti?" ledek Asri.
"Ishh, udah ... udah sana! Kerjain aja apa yang aku suruh! Protes mulu."
"Iya ... iya. Siap, Bos!"
'Hmmm, kalau begini terus, omzet bisnisku bisa beli istana ini.' Halu Naren seraya tersenyum bagai orang yang tertimpa durian runtuh.
Kembali, Naren duduk di kursi empuknya, menyandarkan tubuhnya, memainkan jemarinya di atas laptop abu-abunya, membuka random website yang sekiranya menarik matanya. Hingga tanpa sengaja, Naren melihat iklan toko kue yang menawarkan berbagai jenis bolu, mulai dari bolu panggang, kukus, hingga berbagai aneka kue basah dan kering.
'Hmm, sepertinya aku harus mendesak Vina agar lebih tekun dan giat lagi belajar kue dari Ibu. Siapa tahu, jika berjodoh aku bisa bertemu dengan Vina-'
Naren menghentikan tangannya di atas scroll laptop-nya. "Astaga!!!! Apa yang baru saja kupikirkan! Edan! Gila! Bisa-bisanya aku mikir kaya gitu! Enggak ... enggak! Aku ga boleh mikir laknat kaya gitu! Aku udah janji ama Tyas kalo aku akan berubah dan sekaranglah saatnya aku berubah!" yakinkan Naren pada dirinya sendiri.
"Selamat siang, selamat datang di toko mebel kami." ucap Asri pada wanita yang baru saja datang.
"Ah, iya. Terima kasih, Mbak."
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Asri menghampiri wanita dengan rok di atas lutut dan baju off-shoulder warna pink.
"Begini Mbak, saya kan mau buka sanggar senam, nah, karena saya sangat tergila-gila akan ukiran jati, terutama di mebelnya, saya mau pesan satu set ruang kursi dan meja untuk saya taruh di sanggar senam saya."
'Sanggar senam kok ada ruang tamunya?' gumam Asri melihat wanita berkulit putih licin bak belut itu.
"Jadi, gimana Mbak? Apa bisa?" tanya wanita itu lagi.
"Oh, b-bisa, Mbak. Mari, saya tunjukkan beberapa model mebel kami yang terbaru." Asri menemani wanita itu berkeliling toko mebel terbesar, terlengkap, dan terkenal di Kota Jogja itu.
Tak lama, Naren ingin mencari makan siang dan melihat Asri sedang sedang melayani tamu toko mebel mereka. Dengan langkah santai, Naren meninggalkan ruangannya dan ketika ia akan melangkah keluar tokonya, ia mendengar suara yang tak asing baginya. Kepalanya langsung menoleh ke arah kanan tangannya dan pengusaha mebel itu terkejut ketika ia melihat wanita yang sedang dilayani Asri itu adalah ....
"VINA!!"