Bab 11 Makan Siang Bikin Deg-Degan
“VINA!!!” Naren terkejut membelalakkan matanya.
Segera, sang pengusaha mebel itu menghampiri Asri dan Vina yang sedang melihat-lihat mebel produk mereka. Naren menepuk pundak Asri dari belakang pelan dan menyuruhnya diam memintanya mundur, biar sang Bos yang melayani janda hottie ini.
“Hmm, kayanya kalo ukiran jawa tuh agak rumit, ya? Tapi saya suka. Terutama ini.” Vina menunjuk salah satu kursi jati yang berwarna coklat terang dan mengkilap dengan ukiran dua kepala naga di sisi kanan-kiri.
“Ya, memang bagus! Terutama ukiran dengan naga, bisa membawa hoki, konon katanya.” Sahut Naren tiba-tiba mendekati Vina.
Vina yang terkejut suara yang melayaninya berubah segera berbalik badan dan janda seksi itu menutup mulutnya melihat Naren berdiri di hadapannya dengan pakaian kantor layaknya esmod-esmod kota besar.
“Anda, bukannya yang tadi pagi ke rumah saya, ya? Yang ambil piring bekas bolu itu?” tunjuk Vina mengarah ke Naren yang setengah kikuk, setengah salah tingkah.
“I-iya, Mbak. Saya yang tadi pagi ganggu Mbak,” kekeh Naren menggaruk-garuk kepalanya.
“Anda kerja di sini?” tanya Vina mengangkat telunjuknya memutari toko mebel milik Naren.
“Iya, saya bekerja di toko ini, Mbak.”
“I see. Kalau begitu, beruntung saya bisa bertemu Anda!” Senyum Vina menjentikkan jemarinya.
“B-beruntung kenap, ya, Mbak?” Naren serasa besar kepala dan ingin terbang ke langit.
“Jadi gini, Mas. Saya kan mau buka sanggar senam. Nah, saya mau pesan satu set kursi dan meja untuk sanggar saya. Karena saya belum terlalu lama di kota ini, makanya saya tanya ke orang-orang toko mebel yang paling lengkap, bagus, dan oke di kota ini di mana dan rata-rata mereka bilang toko ini,” jeas Vina sesekali hembusan angin dari luar menyibak rambut hitam sepinggangnya serta parfum jenis Black Opium yang dipakainya.
‘Rejeki nomplok ini!’ gumam Naren tak berkedip melihat penampilan Tyas yang aduhai binti semok binti seksi binti bikin kepala puyeng.
Bagaimana tidak? Rok jeans di atas lutut dengan kancing tiga di tengah-tengah, kaos tanpa lengan warna pink dengan kerah lebar yang hampir menyembulkan molen bulat sempurnanya, serta sandal jenis wages warna merah yang menutupi sebagian kaki putih lentik ber-cincin milik sang janda hottie. Naren yang terus menggelengkan kepalanya tiba-tiba menutupi tengah-tengah celananya yang tampak menggembung. Menahan rasa malu agar tak ketahuan, Naren mundur beberapa langkah ke belakang, membuat Vina melihat aneh sang pengusaha.
“Kenapa Anda jauh sekali , Tuan-”
“Naren! Panggil saja saya seperti itu.” Sahutnya menganggukkan kepalanya.
“Ah, baiklah. Mas Naren, bisakah kau membantuku memilihkan meja untuk ruang tamu sanggarku?” tanya Vina dengan suara lembut-lembut manjanya itu dibarengi senyum menggoda.
Dengan cepat dan tanggap, Naren memilihkan kursi jati panjang coklat tua mengkilap dengan dua kepala naga di atasnya serta sebuah meja jati bundar dengan ukiran seperti akar pohon di bawahnya.
"Bagaimana? Kamu eh Anda menyukainya?" Gagap, grogi, dan kikuk sang pengusaha mebel itu tanpa sadar melepas tangannya yang tadi menutupi bagian tengah miliknya.
"Naga, ya …." Vina menyentuh ukiran di kursi tersebut, melihatnya lebih detail dan berkata, "Oke! Aku ambil yang ini!" yakinnya.
"Pilihan yang tepat, Mbak Vina."
"Panggil Vina saja, Mas." Senyum Vina memotong ucapan Naren.
"Oh, b-baik Mb-eh Vina."
"Kikuk amat, sih. Santai aja, kita kan tetangga." Vina memegang tangan Naren dan membuat pengusaha mebel ini langsung salah tingkah, jantung berdegup kencang, dan yang pasti sang 'rudal' yang mulai menunjukkan keperkasaannya.
Naren cepat-cepat melepaskan lembutnya tangan Vina sambil berkata, “Ke mana mebel-mebel ini harus dikirim, Mbak Vina?”
“Kok ‘Mbak’ lagi, sih? Panggil Vina aja sih, biar lebih akrab.” Sahut Vina mulai beraksi dengan sikap genit-manjanya.
“Anu … nganu, Mbak. Udah terbiasa manggil pelanggan kami kaya gini. Lagipula, rasanya kok ndak klop (pas), ya kalo manggil cuma nama aja, mboten patut (enggak pantes), kalo orang jawa bilang.” Jelas Naren sembari meremas-remas jemari tangannya tepat di tengah-tengah resleting celananya.
Vina tertawa sambil menutup mulutnya, “Kamu lucu, ya. Bos kamu pasti seneng bener punya karyawan kaya kamu.”
“Seneng kenapa, Mbak?” tanya Naren bingung.
“Ya, seneng aja. Habis kamu tu ganteng, lucu, hidung mancung, dan …” Vina mulai melihat Naren dengan tatapn lensa kontak birunya yang mematikan. “Kulit kamu eksotik! Coklat-coklat kaya bule gitu.”
‘What the …! Oh my God, ini bener Vina yang pernah aku baca di internet?’ gumam Naren melihat janda seksi itu tak percaya.
“Mas … Mas, kok bengong.” Vina menjentikkan jarinya.
“Oh, i-iya, Mbak. Maaf. Itu, pesanan Mbak Vina mau diantar ke mana, ya? Biar nanti saya suruh anak-eh, maksud saya biar nanti segera saya kirim.” Naren berusaha melepaskan pikiran-pikiran kotornya.
“Hmm, oke. Nanti saya kasih alamatnya, ya. Oh, ya, di mana saya harus bayar?”
“Oh, bisa langsung ke saya, Mbak. Sebentar, saya ambil buku kwitansi-nya dulu.” Dengan cepat, Naren pergi ke meja Asri dan mengambil buku yang dimaksud.
“Berapa satu set meja dan kursi ini, Mas? Tapi, asli jati kan ini?” tanya Vina meyakinkan.
“Asli, Mbak. Saya jamin. Ga asli, uang akan kembali.”
“Benarkah?”
“I-ya. Tapi selama ini pelanggan kami selalu puas dan tak pernah mengeluh.” Jelas Naren bersiap akan menulis pesanan Vina.
“I see. Oke, I trust you, Mas Naren. Jadi, berapa yang harus aku bayar, Mas?” tanya Vina dengan suara lembut menggoda.
“30 juta, Mbak.”
“Oke, bisa terima cek?”
“Cek?” tanya Naren bingung.
“Iya, cek. Kalau uang segitu kan saya harus ke bank dulu, ambil. tapi sekarang kan bank lagi istirahat, so, Mas Naren terima cek ga?”
Entah apa yang dipikirkan oleh pengusaha piktor ini, Naren secara tiba-tiba berkata, “Hmm, gimana kalo Mbak sambil nunggu bank buka makan siang dulu. Kebetulan. di dekat sini ada rumah makan yang uenakk. Mbak Vina pasti suka.”
“Iyakah? Masakan jawa, ya?” tanya Vina mengerutkan keningnya.
“Iya, Mbak. Asli jawa masakannya.”
“Manis donk,” sahut Viina.
“Tapi ga semanis Mbak Vinna.” Sahut Naren spontan sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Ihh, Mas Naren bisa aja.” Dengan gaya centilnya, Vina mencubit pelan pinggang Naren.
“Ish … ish! Laki-laki mata keranjang! Ga bisa liat belut licin! Ckckckck-” Asri yang melihat sikap Naren dari pintu toilet toko hanya geleng-geleng kepala dan menghela nafas panjang. “Ga bisa dibiarin lelaki mesum kaya gini, nih! Kasian Bu Tyas, di rumah suruh jadi istri baik-baik eh lelakinya … jadi lelaki binal!”
Asri kemudian menghampiri keduanya dan sengaja memanggil Naren dengan sebutan ‘Bos’.
“Bos, pesenan tuan Alex sudah sampai dengan selamat di tempat tujuan.” Sengaja dengan suara kencang Asri bicara pada Naren.
Naren yang terkejut mendengar Asri menyapa ‘Bos’, langsung memberikan kode kedipan mata pada sang sekretaris.
“Mata Bos kenapa? Kelilipan ya? Kok kedip-kedip begitu?” tanya Asri sengaja.
‘Sialan ni sekretaris! Lama-lama makin kurang ajar!’ kesal Naren mendengus bagai sapi jantan yang sedang marah.
“Bos? Mas Naren?” tanya Viina bingung.
“Benar, Mbak. Yang melayani Mbak adalah Bos kami, pemilik toko mebel ini.” Sahut Asri tersenyum ramah.
“What? You’re lying to me?” Vina tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Ah, itu-” Naren lagi-lagi menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari menundukkan wajahnya dan tersenyum.
“It’s ok. Jadi, gimana kalau kita makan siang bareng? Sambil nunggu bank buka?” ajak Vina.
‘Apakah ini mimpi? Aku diajak makan sama wanita terkaya saat ini? OMG!!!!’ gumam Naren tak percaya.
Asri langsung mendesis di belakang Naren sambil menyilangkan kedua tangannya melihat Bos-nya ‘melobi’ pelanggan cantik mereka.
“Dasar laki-laki mesum! Belum aja kena karmanya!” kesal Asri.
“Pakai mobilku saja, Pak Naren.” Ucap Vina membunyikan alarm otomatis mobilnya.
“Kok panggil ‘Pak?’ Tadi ‘Mas’?” goda Naren tersenyum.
“Tadi kan aku ga tahu kalau Anda ternyata adalah seorang ‘Bos’. Jadi, aku panggil Mas.”
“Udah, Mas aja. Ga apa-apa.”
“Bener, nih?” goda Vina lagi dengan senyum centilnya.
“Iya.”
“Oke, deh. Yuk, panas banget. Aku ga kuat panas. Bisa-bisa kulitku merah-merah. Mas Naren yang nyetir, ya. Aku kan ga tahu di mana tempatnya.”
“Siap!” sahut Bos mesum itu. Keduanya pun segera meninggalkan toko mebel megah dan besar di kota pelajar itu dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang dimaksud Naren.
Di dalam mobil, Naren benar-benar mati kutu dan salah tingkah! Paha ramping, kuat, putih mulu, licin bak belut benar-benar membuatnya tak bisa konsen selama menyetir. Iris coklat gelapnya sering lirik curi-curi pandang ke arah janda seksi yang sedang menelepon ini. Sambil menelan paksa saliva-nya, Naren kerap kali melihat ke ‘bawah’ celana yang dipakainya.
‘Jangan … jangan … jangan, plissss!! Jangan kambuh manukku (burungku), sekali ini aja-’ gumama Naren harap-harap cemas.
“Mas, kamu ga apa-apa? Ko pucet gitu?” Vina tetiba menempelkan tangannya ke kening Naren. Sontak, Bos mesum ini tambah menggila dan mikir macam-macam tentang Vina.
Tenggorokannya rasa tercekat ketika si Tante menempelkan melon mateng, mengkel, dan bulat padat sempurna miliknya. ‘Gedenya-’ pikir Naren tak sengaja melihat sembulan putih mulus milik Tante.
Sadar akan pakaiannya yang mulai terangkat, Vina buru-buru kembali ke bangku dan posisinya semula. “M-maaf, ya. Aku ga ada maksud, lho.” Vina meremas jari-jarinya sambil tertunduk.
‘Ada apa-apa juga aku rela.’ Gumam Naren memperbaiki kemeja dan mengusap keningnya sambil berusaha kembali ke alam sadarnya.
“Ga apa-apa, Mbak Vina. Oh iya, Mbak Vina udah lama pindah ke rumah itu?” tanya Naren mengubah arah pembicaraan.
“Belum, baru sekitar tiga bulanan. Makanya, saya masih belum ngerti dan tau betul kota ini. Even udah sering ke sini, cuma yah, untuk have fun plus holiday aja, bukan stay. Tapi, kalo sekarang kan buat stay dan looking some cash.” Jelas Vina merapikan pakaiannya.
“Oh, gitu. Lalu, Mbak tinggal sendiri di sana?”
“Maunya?” goda Vina sambil senyum.
“Eh, maksudnya?” Naren spontan langsung menoleh menatap Vina.
“Mas Naren memang mau nemenin saya di rumah itu?”
‘Hahhhh??? What the ….”