Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Fantasi Liar Naren

“Ah, iya di situ, Mas, sebelah sana sangat nikmat … benar-benar membuatku sangat bergairah, ah-”

“Ah, ya … ya, aku juga! Sangat ...sangat bergairah! Keluarkan … keluarkan semuanya! Keluarkan cairan yang kau miliki, biarkan aku merasakan betapa panas dan liarnya dirimu, oh Vina-”

Naren langsung membuka matanya dan melihat jam di tangannya menunjukkan pukul tujuh malam. “Ah, sial! Apa hal yang baru saja kulakukan? Tadi, apa aku menyebut nama Vina, ya? Ah, gila … gila! Hhhh, bener-bener tu cewek, bikin fantasi liarku bangun plus ‘dedekku’ juga ikutan bangun.” Narren melihat batang perkasanya bangun dan basah sedikit di ujungnya. “Sampe keluar segala?” Kejut Narren buru-buru membuka celananya dan membersihkan cairan yang keluar dari batang perkasanya.

“Untung semua karyawanku udah pada pulang, kalau belum-”

Klik

Naren terkejut ketika pintu ruangannya hampir dibuka oleh seseorang! Buru-buru, dia memakai celananya namun belum sempat ia pakai sempurna, pintu ruangannya telah dibuka lebar, walhasil dia ‘menyembunyikan’ setengah badan bawahnya yang telanjang di balik meja kayunya yang besar dan panjang.

“Saya pulang dulu, Pak. Bapak kok tumben belum pulang?” tanya Asri, sang sekretaris pribadi Naren.

“Masih ada beberapa kerjaan yang harus saya selesaikan. Kamu kalau mau pulang, pulang duluan aja. Kenapa ga pulang dari tadi? Padahal yang lainnya udah pada pulang?” gemas Naren.

“Nungguin Bapak,” kelakar Asri.’’

“Kamu, ni! Sudah sana pulang! Ganggu aja orang lagi fokus dan konsentrasi!” Naren sedikit kesal.

“Oke, Pak. Selamat malam. Cepet pulang, nanti dicariin ama bu Tyas lagi.” Asri terus tertawa sambil menutup pintu ruangan Naren.

‘Hhhh, sekretaris gendeng! Bikin aku jantungan aja.’ 

Naren yang masih sibuk dengan ‘burungnya’, kembali membersihkan ‘noda cairan’ yang melekat di celana bahan warna abu-abunya. Tisu basah yang dicampur dengan air setidaknya bisa menyamarkan ‘noda terlarang’ yang keluar karena fantasi liarnya yang tiba-tiba datang begitu saja dengan wanita yang baru pagi tadi ditemuinya.

‘Ada-ada saja aku pakai acara menghalu tentang wanita tadi. Tapi, emang sih, bodinya yahud! Montok dan mantep.’ Gumam Naren menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan matanya, namun kini ia bukannya ber-fantasi melainkan ketiduran karena lelah setelh mengkhayal.

Di saat rasa lelapnya mulai menggelayuti matanya, Naren dikejutkan dengan suara ponselnya yang nyaring memenuhi ruangannya. Dengan ring tone yang khusus dan spesial yang diberikannya, Naren telah hapal siapa yang meneleponnya.

“Iya, Sayang. Ada apa”

[Mas, lagi di mana? Kok jam segini belum pulang? Biasanya kan udah sampe rumah, lagi meeting apa?]

‘Hadeh, ribet banget ya ni cewek satu! Kayaknya waktu dulu pacaran, dia ga ce-cerewet ini. Tapi, kenapa sekarang-’

[Mas … Mas ...kamu masih dengar aku, kan?]

“Iya, Sayang. Ini, aku baru mau pulang, lagi beres-beres dulu, ya. Sabar, donk. Kenapa, si? Udah kangen ya, pengen ehem-ehem ….”

[Ih, apaan sih, kamu! Malu tahu, aku lagi sama bapak dan ibu di ruang tamu nungguin kamu.]

“Nungguin aku? Ngapain?”

[Ibu sama bapak mau makan malam sama kamu, Mas. Makanya aku nelpon kamu, tanya kamu udah mau pulang apa belum?]

Naren melihat jam tangan di tangan kanannya dan menunjukkan pukul setengah delapan malam. 

“Ya udah … ya udah, aku pulang sekarang! Kamu tutup telponnya ya, Sayang.”

[Huum, ati-ati, Mas pulangnya.]

‘Deh, gara-gara wanita itu aku jadi harus terburu-buru pulangnya! Dasar sial!’

Naren segera bergegas membereskan segala dokumennya, mengambil jasnya beserta kunci mobil di laci meja kerjanya.

Sementara itu, di kediaman kedua orang tua Naren, Tyas sang istri dan kedua mertuanya sedang menanti kepulangan Naren di ruang tengah keluarga. Ekspresi yang masam dan kesal bergelayut di wajah sang ayah yang memang memiliki riwayat penyakit darah tinggi.

“Apa jawaban Naren, Tyas? Sampai berapa lama lagi kami harus menunggu?” kesal sang ayah mertua melipat kedua tangannya sambil duduk di sofa warna putih.

“S-sebentar lagi, Ayah Mas Naren akan pulang.”

“Sudah, Ayah … sudah, Naren kan pulang telat juga karena kerja. Masa karena ga bisa makan di rumah Ayah jadi marah,” goda sang Ibu.

“Kita ini jarang makan bersama, Bu. Ayah baru saja pensiun dari kesatuan. Selama 10 tahun ditugaskan ke luar negeri sebagai pasukan khusus PBB dan ingin makan sama anak saja ga bisa! Keterlaluan Naren!” sang Ayah dengan lantangnya bersuara memenuhi ruang tengah keluarga Gunawan. 

“Ada apa, sih, Yah ribut-ribut? Sampai kedengaran, lho suara Ayah dari luar.”

Naren tiba-tiba datang menenteng kopernya dan berjalan santai.

“Nungguin kamulah! Jam berapa sekarang? Ga liat perut Ayah udah keroncongan, hah!” Ucap sang Ayah memegangi perutnya.

“Maaf, Yah. Seharian ini Naren benar-benar sibuk sampai lupa ngabarin Tyas juga. Maaf, ya, Sayang.” Naren yang kini berdiri di sebelah Tyas mengecup pipi sang istri.

“Ih, nakal kamu, Mas.”

“Udah … udah. Ayah udah lapar ini, mau nungguin kalian pacaran lagi apa?” kesal sang Ayah langsung ke meja makan ditemani ibu.

“Kamu mau mandi dulu, Mas?” bisik Tyas seraya menemani sang suami ke meja makan.

“Mabar, ya-” kedip Naren dengan genitnya,

“Ma-bar?” Tyas menoleh menatap sang suami sambil mengerutkan keningnya.

“Mandi bareng.” Senyum genit Naren langsung mendapat cubitan kencang di perut datarnya.

“Ouch!” serunya.

“Kenapa kamu” tanya sang Ayah yang telah duduk di kursi kebesarannya.

“Tak ada apa-apa, Ayah. Kita makan, yuk. Naren juga udah lapar.” Kilah lelaki berotak mesum itu.

“Oh, ya.Tyas, besok ikut Ibu anter kue ke tetangga baru kita, ya.” 

‘Tetangga baru?’ batin Naren langsung bergejolak.

“Tetangga baru yang mana, Bu?” tanya Tyas penasaran.

“Itu, yang jaraknya dua rumah dari rumah kita. Dia pindahan dari Jakarta. Denger-denger, sih habis dicerai sama suaminya. Selingkuh apa, ya-”

“Ibu ini kaya lambe turah banget, ya! Tau info dari mana sampe ngomong kaya gitu.” Celetuk sang suami mendelik ke arah Ibu.

“Ibu cuma denger-denger aja, kok, Yah. Lagian, bener enggaknya Ibu juga ga tau.”

“Kalo g tau, diem aja! Nanti malah jadi fitnah!” tegas Ayh.

‘Rumah dua blok dari rumah ini? Apa jangan-jangan rumah wanita yang tadi pagi aku jumpai, ya?’ pikir Naren tak habis-habis

Naren tak bisa tidur nyenyak setelah mendengar ucapan sang ibu mengenai si pemilik rumah yang katanya hanya terpisah dua rumah dari kediaman mereka. Pikiran dan alam fantasi liarnya menjadi satu kala si suami mesum kembali teringan akan tubuh molek sang tante Vina. Bahkan, ketika di ranjang pun, sewaktu sang istri dengan malu-malu kucingnya mengenakan piyama seksi transparan warna hitam dan berdiri tepat di hadapan sang suami, Naren seolah acuh dan malah asik dengan fantasi liarnya bersama wanita lain.

“Mas, gimana menurut kamu? Bagus ga?” tanya Tyas sambil memamerkan lekuk tubuhnya yang seksi dan kulit putih bak porselen.

“Bagus, kamu seksi, Sayang. Tapi, Mas baru liat itu piyama. Baru, ya?” pancing Naren langsung menarik tangan sang istri ke pangkuannya, tepat di atas ‘burung’ tercintanya.

Malu-malu kucing, Tyas sambil menutup wajah dengan kedua tangannya mengangguk dan disambut dengan kecupan manis di kening sang istri.

“Makasih, ya. Kamu udah sampai sejauh ini berusaha buat aku puas dan bahagia. Malam ini, aku yang akan buat kamu puas dan lemas, Sayang.” Bisik Naren di telinga sang istri dan mulai menjilati cuping serta leher jenjang sang istri yang mulai mengeluarkan desahan sambil menggeliat bak kobra.

“Mas-” desah Tyas sambil memejamkan matanya.

“Sayang-” Naren mulai menjamah tali tipis yang mengikat piyama hitam milik sang istri, menariknya dan melepas pengait yang menopang dua gundukan putih kenyal yang membal.

Perlahan dan menegang, Naren mulai meremas dan memijat dengan lembut dua gundukan milik Tyas hingga wanita itu selalu mendesah dan menahan teriakan kenikmatan. Naren memasukkan jari-jarinya ke mulut sang istri seraya bermain dengan alam fantasi liarnya hingga tanpa sadar, sang suami memanggil nama,

“Vina oh Vina-”

“Vina? Siapa itu Vina!?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel