Bab 7 Hari Pertama Bekerja
Bab 7 Hari Pertama Bekerja
Setelah kejadian pagi itu, akhirnya Salimar bekerja di tempat Linda. Keduanya menjadi pelayan di klub malam tersebut.
Malam ini adalah malam pertama Salimar bekerja di sana. Dengan mengenakan kemeja putih dan rok minim hitam, gadis itu berkeliling membawa nampan berisi minuman pesanan para pengunjung klub.
Sebenarnya Salimar merasa risih dengan pakaiannya tersebut. Namun dia tak bisa membantah. Ini adalah peraturan di tempat itu.
"Cantik, temani Abang minum dong," rayu seorang tamu pada Salimar.
Salimar berusaha untuk menghindari tangan-tangan nakal para pria di sana.
"Jangan jual mahal, Cantik. Sini sama Abang."
Seorang pria mabuk menarik tangan Salimar dengan keras. Hampir saja Salimar tersungkur ke lantai. Namun berhasil dia tahan meski harus menabrak meja.
"Lepaskan! Jangan ganggu aku!" Salimar berusaha melepaskan cekalan tangan pria itu.
Namun dia tidak bisa. Pria itu terlalu kuat, meskipun tengah mabuk. Alhasil terjadi kericuhan karena Salimar terus berontak dan membuat beberapa botol serta gelas pecah berjatuhan.
"Kamu bisa diam, tidak? Dasar pelacur kecil!" bentak pria itu pada Salimar.
Salimar terus berusaha untuk melepaskan diri dari pria itu.
"Lepaskan aku bilang," teriak Salimar ketakutan.
Rosalinda melihat keributan itu. Gadis itu segera berlari ke arah Salimar. Dia berusaha untuk menolong temannya itu.
"Lepaskan dia, Tuan. Tolong, lepaskan teman saya." Rosalinda berusaha menarik pria mabuk itu.
Keributan itu akhirnya menarik perhatian para penjaga di sana. Beberapa pria berbadan besar segera menghampiri mereka.
"Siapa yang berani membuat keributan di sini!" kata salah satu penjaga itu dengan dingin.
Wajah para penjaga itu sangar. Badan mereka juga besar. Membuat beberapa orang tak berani melawan mereka. Begitu juga pria yang mabuk itu. Dia masih memiliki sedikit kesadaran untuk merasa takut pada kekuatan para penjaga.
Melepaskan Salimar, pria itu mulai komplain dan mencari alasan tak masuk akal untuk menyalahkan Salimar.
Sontak saja Salimar marah karena dituduh oleh pria yang hampir saja memperkosa dirinya.
"Bohong! Saya tidak pernah melakukan hal itu," bantah Salimar tak terima.
Para penjaga itu segera membawa Salimar ke manager mereka. Penjaga itu tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Itu bisa membuat tempat tersebut bangkrut. Karena pria mabuk itu salah satu pelanggan tetap kelas VIP.
"Dengarkan saya, saya tidak bersalah. Tolong, saya benar-benar tak bersalah di sini," ucap Salimar memohon dengan takut.
Namun mereka tetap menyeret Salimar ke sebuah ruangan di lantai dua. Itu ruangan milik manager, atasan mereka.
Rosalinda berlari mengikuti mereka dari belakang. Bagaimanapun dia merasa khawatir dengan keadaan Salimar. Ada rasa takut dan juga rasa bersalah di dalam hatinya.
"Bukankah kau anak baru? Kenapa kau berani membuat keributan di hari pertama bekerja?!" ujar manager itu tajam.
Salimar menunduk. Dia tak berani menatap wajah manager yang sangat menakutkan.
"Jawab!" Manager itu berdiri sembari menggebrak meja dengan keras.
Hati Salimar semakin menciut ketakutan.
"Apa sekarang kau bisu, Hah?!" bentak pria itu kasar.
Kedua mata Salimar terpejam erat. Dia yang tak pernah dibentak seperti itu, merasa sangat ketakutan. Biasanya dialah yang berteriak di depan sang Ayah.
Mengingat ayahnya, membuat Salimar merasa bersalah dan ingin kembali pulang.
"Ayah, aku ingin pulang," bisik hati Salimar sedih.
Sebuah tangan menjepit dagu Salimar dengan kasar. Membuat gadis itu memekik kesakitan. Salimar membuka kedua matanya. Melihat sepasang mata yang berkilat marah.
"Kau sudah berani membantah, ya. Padahal kau masih sangat baru di sini." Manager itu memperhatikan Salimar dengan seksama.
Ada seringai menakutkan yang terbentuk di ujung bibir pria itu. Apalagi tatapan pria itu yang terlihat lapar, saat menatap tubuh Salimar yang masih ranum.
"Karena kau begitu liar ... mungkin sedikit pelajaran bisa membuat dirimu jinak," bisik pria itu di telinga Salimar.
Salimar merasa takut juga jijik, saat mendengar suara pria itu yang bernada penuh nafsu. Salimar melangkah mundur beberapa langkah. Namun seringai pria itu semakin lebar.
Belum sempat manager itu melaksanakan niatnya pada Salimar, suara ketukan di pintu membuat dia mengurungkan niatnya.
"Siapa?" teriak manager itu bertanya.
"Maaf, Bos. Di bawah ada Tuan Roland ingin bertemu dengan Anda," jawab penjaga yang ada di luar pintu.
Dengan rasa kesal yang luar biasa, manager. Itu mendengus tak suka. Namun tak urung juga, dia menjawab dengan datar.
"Baiklah. Tunggu aku sebentar lagi ke sana," sahut manager itu akhirnya.
Tatapan manager itu tajam ke arah Salimar yang menunduk takut.
"Kau selamat kali ini. Jadi cepat kembali bekerja dan jangan buat kekacauan lagi di sana," usir manager itu datar.
Salimar mengembuskan napas lega. Akhirnya dia bisa dari bahaya. Salimar keluar dari ruangan itu setelah manager itu menyuruhnya pergi.
Di luar, ada Linda yang menunggu Salimar dengan gelisah dan khawatir. Begitu melihat Salimar, gadis itu segera mendekat.
"Apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi di dalam? Apa manager melakukan sesuatu yang kasar padamu?" Berondong gadis itu dengan banyak pertanyaan pada Salimar.
Salimar tersenyum kecil. Dia menggeleng untuk menghilangkan kekhawatiran sang sahabat.
"Tidak. Aku baik-baik saja, Linda. Sekarang sebaiknya kita kembali ke bawah. Atau manager akan memarahi kita," jawab Salimar enteng.
Mendengar jawaban dari temannya, Rosalinda mendesah lega.
"Syukurlah. Aku pikir kau kenapa-kenapa. Karena manager itu orangnya sedikit kejam, Salimar," ujar Linda penuh syukur.
Salimar tersenyum miris. Namun dia memilih mengandeng tangan Rosalinda untuk kembali bekerja. Dia tak mau berurusan lagi dengan manager tempat itu. Mengerikan.
Kedua gadis itu kembali ke lantai bawah. Mereka bekerja seperti biasa. Salimar terus berusaha untuk menghindari beberapa pelanggan yang nakal. Tangannya tak henti-hentinya menepis tangan pelanggan yang sering berbuat ulah.
Sementara Rosalinda yang sudah terbiasa, lebih gampang menepis godaan para pelanggan pria di sana. Kedua gadis itu terus melakukan pekerjaannya hingga fajar menjelang.
Mereka baru berhenti, setelah tamu terakhir pulang dalam keadaan mabuk. Salimar meletakkan nampan dan serbet di atas meja bartender. Mendesah lelah.
"Akhirnya selesai juga," lirih Salimar.
Disusul oleh Linda dan beberapa pelayan yang lain. Mereka beristirahat sebentar, sebelum kembali ke kamar mereka masing-masing.
"Tadi aku benar-benar ketakutan. Saat melihat kau dibawa oleh para penjaga itu ke ruangan manager, Salimar." Rosalinda melemparkan dirinya ke atas tempat tidur.
Menutup pintu kamar mereka, Salimar menyusul duduk di atas tempat tidur.
"Aku bahkan lebih ketakutan," sahut Salimar lelah.
"Bagaimana bisa kau terlibat kekacauan dengan salah satu pelanggan, Salimar?" tanya Rosalinda.
Diam sejenak, Salimar menatap lurus pada Rosalinda. Sebelum menceritakan semua dari awal kejadian. Rosalinda mendengarkan dengan seksama.
Mendesah, Rosalinda memeluk Salimar erat.
"Kerja di sini harus siap mental. Kamu jaga diri baik-baik. Banyak pria seperti itu di sini. Jadi berhati-hatilah, Salimar," ujar Rosalinda berpesan pada Salimar.
Salimar mengangguk patuh. Membalas pelukan temannya tersebut. Keduanya lalu bersiap untuk istirahat. Tak ada yang tahu, jika esok akan terjadi hal yang membuat hidup keduanya berubah. Terutama Salimar.
Di sebuah ruangan di lantai dua. Duduk seorang pria gendut yang tengah menghisap rokok. Kepulan asap dari rokok itu memenuhi udara di dalam ruangan. Beberapa pria bertubuh besar yang ada di ruangan yang sama, berdiri dengan kepala tertunduk patuh.
Pria gendut itu memutar kursinya. Menatap ke arah lima pria lain di sana dengan tatapan tajam. Menjentikkan abu rokok dengan ujung jarinya, pria itu membuka suara.
"Jadi ... siapa gadis yang membuat kekacauan tadi? Kenapa aku belum pernah melihat wajah gadis itu?" tanya pria gendut itu ingin tahu.
Satu diantara lima pria bertubuh besar itu menjawab.
"Dia adalah pelayan baru di klub, Bos," jawab pria berkulit hitam tersebut.
"Pelayan baru ya ... pantas saja terasa asing untukku." Menoleh ke arah pria hitam itu, Bos klub kembali melanjutkan pertanyaannya, "Siapa namanya? Kenapa tidak ada laporan yang masuk ke mejaku?"
Kelima pria itu kembali menunduk dalam. Mereka takut berbicara di depan Bos mereka yang terkenal kejam.
"Kenapa kalian diam?" Suara tajam itu membuat ke-lima pria tersebut bergidik ngeri.
"I–itu Bos ... anu, itu manager yang menerima gadis itu di sini. Karena dia teman dari Rosa, Bos," jawab pria berkulit hitam itu gelagapan.
"Edo, panggil manager ke sini. Sekalian bawa Rosa dan gadis itu kemari!" Perintah sang Bos dingin.
Pria hitam bernama Edo segera membungkuk dan keluar dari sana. Mematuhi perintah dari sang Bos besar. Walaupun tubuhnya lebih kuat dari pria gendut itu, tapi Bosnya lebih berkuasa dibandingkan dia.
***
Di desa dekat pantai, seorang pemuda berbadan tinggi dan berkulit putih bersih tengah menatap lurus ke arah laut. Ada kegelisahan dalam raut wajah pemuda itu. Seakan dia takut sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Casvanian, apa kau sudah memikirkan ulang niatmu untuk mencari Salimar ke kota?" tanya Aldof membuyarkan konsentrasi pemuda itu.
Pemuda itu, Casvanian, menoleh ke arah belakang. Menatap Aldof dengan yakin.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Sementara di sana, negari kami membutuhkan kami berdua," kata Casvanian penuh tekad.
Menghela napas berat, Aldof memberikan bungkusan kepada pemuda itu. Menyuruh Casvanian menerimanya.
"Terimalah. Bawa itu sebagai bekal untuk menjemput Salimar. Aku titip dia padamu," ujar Aldof menyodorkan bungkusan itu ke dalam tangan Casvanian.
"Kau tidak perlu melakukan hal ini, Aldof. Aku pasti bisa menemukan dan membawa Salimar kembali bersamaku," sahut Casvanian pelan.
Aldof tersenyum kecil. Dia tahu, dia bisa memercayakan Salimar pada pemuda di depannya ini. Pilihan istrinya tak mungkin salah. Jadi Aldof juga tak punya pilihan lain, selain memercayai Casvanian.
"Ambillah. Kau akan membutuhkannya nanti. Kau belum pernah datang ke sini, jadi kau tidak tahu apapun tentang dunia ini. Bawalah sebagai bekal perjalananmu," kata Aldof bijaksana.
Casvanian melihat ke arah bungkusan di tangannya. Membuka bungkusan itu. Dia melihat beberapa lembar uang dan juga roti serta minuman. Mendongak, Casvanian melihat Aldof yang tersenyum getir kepada dirinya.
Menutup kembali bungkusan itu, Casvanian berterima kasih kepada Aldof.
"Terimakasih. Aku akan membawanya," ucap Casvanian tulus.
Aldof mengangguk kecil. Menepuk bahu pemuda itu pelan.
"Pakailah baju yang sudah aku siapkan untukmu. Kau tidak bisa berkeliaran dengan keadaan seperti ini di sini." Aldof berbalik, berjalan kembali ke rumahnya.
Casvanian mengikuti pria itu. Keduanya berjalan dalam diam. Di antara debur ombak yang menghantam karang, di tengah kegelapan malam. Ada tekad yang kuat, yang meronta untuk segera bebas.
Casvanian menumpang mobil ikan menuju kota. Mobil ikan terakhir yang akan menuju kota. Duduk di depan, berdesakan dengan sopir dan kernet mobil.
Di tengah perjalanan, ban mobil itu pecah. Membuat mereka terpaksa berhenti untuk menganti ban. Casvanian membantu mereka. Meskipun dia tak tahu caranya, tapi dia punya tenaga untuk mengangkat ban mobil yang berat itu.
Keadaan yang gelap, membuat pemasangan ban ini memakan waktu sedikit lebih lama dari seharusnya. Sementara menunggu, hati Casvanian semakin gelisah.
Seakan pria itu memiliki firasat buruk. Casvanian terus saja melihat ke arah langit malam yang gelap gulita. Ini di tengah hutan. Jarak desa pesisir dengan kota memang tak terlalu jauh. Namun jalannya melewati hutan yang masih rimbun.
Maklum saja, desa pesisir tempat kelahiran Salimar termasuk desa yang terpencil dan tertinggal. Karena itu, banyak pemuda pemudi di sana yang memiliki keinginan untuk kerja di kota. Begitu juga Salimar.
"Apakah belum selesai, Pak?" tanya Casvanian gelisah.
Supir mobil itu meletakkan peralatannya di atas tanah. Mendongak, melihat ke arah Casvanian yang terlihat cemas akan sesuatu.
"Ini hampir selesai. Tenanglah, di sini lumayan aman. Meski terkadang ada babi liar yang lewat, tapi itu jarang terjadi," jawab Pak supir menenangkan Casvanian.
Casvanian tersenyum samar. Dia tak mungkin mengatakan, bahwa sumber kekhawatiran dirinya adalah firasat jelek yang dia rasakan. Casvanian memilih untuk mengangkat ban bekas mobil tersebut dan memasukkannya ke dalam mobil.
Setelah selesai, ketiga pria itu kembali masuk ke mobil. Mobil itu kembali melaju menuju kota. Tempat Salimar berada.
'Ya Tuhan, semoga masih ada waktu tersisa untukku membawa dia pulang ke rumah.' Doa Casvanian di dalam hati.
Dua jam kemudian, mereka telah tiba di kota. Casvanian turun di perempatan jalan dekat lampu merah. Pemuda itu kelimpungan, saat melihat keadaan kota yang jauh berbeda dengan desa pesisir pantai.
"Maafkan aku, Anak muda. Aku hanya bisa mengantarkan kau sampai di sini. Karena arah kita berbeda. Semoga kau menemukan apa yang kau cari di sini," ucap supir dengan lembut.
Casvanian menoleh ke arah pria tua tersebut. Membalas senyum tulus dari bibir yang mulai kering karena usia.
"Terima kasih banyak, Pak. Semoga menghasilkan banyak rezeki hari ini," balas Casvanian tulus.
Pria tua itu tersenyum. Melambaikan tangan, pria itu melajukan mobilnya menuju arah yang berlawanan dengan Casvanian. Meninggalkan pemuda itu di tepi jalan yang masih lumayan ramai.
Setelah mobil ikan itu tak terlihat lagi, Casvanian melanjutkan perjalanan. Dengan berjalan kaki, pemuda itu menyusuri jalanan kota sendirian. Dini hari, tak membuat jalanan itu sepi dari pengguna.
Begitu juga dengan gedung bertingkat di seberang jalan. Terlihat ramai oleh beberapa kendaraan yang parkir di halaman depannya. Bahkan beberapa orang terlihat keluar masuk dengan riangnya.
Casvanian bisa menebak, tempat apa itu. Meskipun dia tak hidup di sini, tapi di negerinya juga ada tempat seperti itu. Walaupun dengan suasana yang berbeda. Di negerinya, kebanyakan pengunjung tempat itu adalah laki-laki.
Hanya wanita penghibur yang berani masuk ke sana. Tak seperti di sini, perempuan dan laki-laki keluar masuk dengan bebasnya di tempat itu. Apalagi waktu sudah menunjukkan dini hari.
'Lebih baik aku ke sana lebih dulu," batin Casvanian.
Langkah kaki pemuda itu terlihat mantap menuju bangunan bertingkat tersebut. Tanpa keraguan sedikitpun, dia berjalan masuk ke dalam klub malam itu.
"Berhenti! Apa yang kau lakukan di sini?" seru seorang pria berbadan besar menghentikan langkah Casvanian.
Casvanian berhenti di depan pintu masuk. Menoleh ke arah pria tersebut.
"Apa maksudnya ini?" tanya Casvanian tenang.
Pria itu mendekati Casvanian dengan dua orang temannya. Menatap Casvanian dengan teliti. Dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Maafkan kami, tapi kami tidak bisa membiarkan Anda masuk ke sini. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam. Kecuali anda memiliki kartu anggota, Tuan," ujar pria hitam itu datar.
Kerutan nampak di kening Casvanian. Untuk sejenak dia bingung. Namun segera dia tersenyum kecil.
"Aku adalah pendatang di kota ini. Aku ingin mencari hiburan. Jadi aku belum memiliki kartu anggota. Apakah kau bisa membantuku untuk mendapatkannya?" ujar Casvanian dengan santai.
Ketiga pria di sana saling bertukar pandang. Menatap kembali pada Casvanian. Mereka sedang menilai pemuda asing itu. Meskipun pakainya sederhana, tapi melihat perawakan Casvanian, mereka tak berani sembarangan.
Casvanian terlalu bersih untuk ukuran orang miskin. Juga terlalu berwibawa untuk ukuran orang biasa. Jadi mereka memutuskan untuk membawa Casvanian ke counter pendaftaran anggota baru.
"Silahkan ikuti saya, Tuan. Anda bisa mendaftarkan nama anda di sini," kata pria berkulit hitam kepada Casvanian.
Seringai kecil terbentuk di ujung bibir Casvanian. Raut menghina nampak di wajah pemuda itu, ketika dia melihat ke sekeliling ruangan. Dimana banyak orang mabuk dan bertingkah menjijikkan menurut dirinya.
"Benar-benar memuakkan. Hanya sekumpulan sampah," cibir Casvanian jengah.