Bab 6 Kedatangan Salimar di Kota
Bab 6 Kedatangan Salimar di Kota
Salimar duduk diam di atas kursi kayu, di dekat jendela kaca besar. Mata Salimar mengikuti setiap pergerakan Rosalinda, yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
Tak!
Sepiring nasi goreng terhidang di depan Salimar. Namun kening Salimar berkerut dalam. Tatapan matanya tajam ke arah Rosalinda yang terlihat dingin.
"Makan dulu. Nanti baru kita bicara," tukas Rosalinda, ketika Salimar hendak membuka mulutnya.
Mata gadis itu melotot ke arah Salimar. Berdiri di sebelah meja makan dengan tangan terlipat di depan dadanya. Rosalinda seakan mengintimidasi Salimar di sana.
Menghela napas kesal, Salimar mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Rosalinda. Dia meraih sendok di samping piring dan mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya.
"Bagaimana?"
"Lumayan. Daripada mati kelaparan," ucap Salimar acuh.
Rosalinda membanting serbet di tangannya ke atas meja. Menoyor kepala Salimar kesal.
"Dasar kurang ajar kamu," sembur Rosalinda.
Rosalinda menarik kursi di depan Salimar dan duduk di sana. Menatap Salimar yang masih asik dengan nasi goreng buatannya. Menggelengkan kepalanya pelan.
"Lumayan, tapi habis ya. Lapar apa doyan?" ejek Rosalinda gemas.
Tangan Salimar terhenti di tengah jalan. Nasi yang hampir masuk ke dalam mulutnya, kini di letakkan kembali ke atas piring. Salimar menatap lurus ke arah temannya itu.
"Karena sekarang saya fakir, jadi terpaksa makan ini untuk menahan lapar," balas Salimar cuek.
Salimar kembali melanjutkan makannya dengan gaya mengejek Rosalinda. Sementara gadis itu tergelak, melihat tingkah Salimar yang menggemaskan.
"Kok ada ya, orang kayak kamu?!" ujar Rosalinda tertawa kecil.
"Tentu saja ada. Ini buktinya, aku!" jawab Salimar tak mau kalah.
Keduanya saling berpandangan, sebelum akhirnya tertawa bersamaan. Salimar sudah selesai makan. Nasi goreng buatan Rosalinda telah tandas di atas piringnya. Gadis itu berdiri membawa piring kotor ke tempat cuci piring.
"Jadi apa rencana kamu setelah ini, Salimar?" tanya Rosalinda memutar tubuhnya ke arah Salimar.
Mengedikan bahunya, Salimar mulai mencuci piring kotor tersebut.
"Aku belum tahu, Linda. Yang pasti aku harus segera mencari kerja. Karena itu adalah alasan aku datang ke kota ini," ucap Salimar tak yakin.
Rosalinda bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiri Salimar. Ditepuknya bahu kecil Salimar.
"Nanti aku bantu bilang sama managerku di sini. Untuk sementara kau bisa tinggal bersama ku di sini," ujar Rosalinda.
Salimar tersenyum sendu.
"Terimakasih banyak, Linda," ucap Salimar tulus.
Meletakkan piring yang sudah dicuci di atas rak piring, Salimar berbalik menghadap Rosalinda.
"Linda ... boleh aku tanya, tempat apa ini sebenarnya?"
Rosalinda tersentak kaget. Mata gadis itu bersinar redup. Ada rasa bersalah dan penyesalan yang terlihat di kedua bola mata sayu itu.
"Linda ..."
Yang dipanggil hanya bisa menunduk sendu. Sebelum akhirnya mendongak dengan wajah sedihnya. Rosalinda mencoba untuk tersenyum kecil.
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" Salimar terus mendesak temannya.
Rosalinda menggeleng kecil.
"Lalu ada apa? Aku bertanya karena waktu pertama kali datang, aku bertemu dengan seorang pria mabuk. Lalu kamu yang membawa sampah di belakang."
Salimar menatap Rosalinda dengan seksama.
"Juga ... banyak pria yang keluar masuk tempat ini, dalam keadaan yang tak jauh berbeda dengan pria yang mabuk itu. Ini bukan restoran biasa, bukan?" selidik Salimar penasaran.
Sejenak, Rosalinda tak memberikan jawaban apapun. Keduanya terdiam dan hanya keheningan yang mengisi ruang diantara mereka. Udara terasa berat di sana.
Rosalinda menarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskan dengan pelan.
"Ya, ini memang bukan restoran biasa. Tempat ini adalah klub malam," ucap Rosalinda pada akhirnya.
Mata Salimar membelalak lebar. Meskipun dia sudah menduga, bahwa ini bukan restoran biasa. Namun Salimar tak pernah berpikir, bahwa tempat ini adalah klub malam.
"Klub malam?" bisik Salimar cemas.
Rosalinda mengangguk pelan.
"Maaf ... aku tak mengatakan yang sebenarnya padamu, Salimar. Aku malu." Sesal Rosalinda menunduk kembali.
Salimar tak mendengar hal itu. Dia terlalu kalut dengan semua kenyataan ini. Walaupun selama ini Salimar hidup di daerah pantai yang jauh dari kota. Akan tetapi, Salimar paham ... apa artinya klub malam dan apa resiko kerja di sana.
Namun sekarang Salimar tak punya pilihan lain. Dia sudah terlanjur datang ke kota dan dia tak memiliki pengalaman apapun di sini. Lagipula, hanya Rosalinda yang dia kenal di sini.
"Jadi bagaimana Salimar? Apa kau masih mau bekerja di sini?" tanya Rosalinda pelan.
"Aku–"
Belum selesai Salimar berbicara, suara dobrakan pintu terdengar keras dari luar. Memotong ucapan Salimar. Kedua gadis itu seketika terkejut. Apalagi saat sebuah suara menyapa telinga mereka dengan kasar.
"Siapa gadis asing ini? Kenapa dia bisa ada di sini?" Suara seorang pria bertanya dengan lantang.
Salimar segera menoleh ke arah asal suara itu. Dahi Salimar berkerut dalam. Dia penasaran, tapi keringat dingin membasahi punggungnya.
"Rosa! Jawab aku! Siapa dia dan kenapa dia bisa ada di sini?!" bentak pria itu keras.
Tubuh Rosalinda tersentak kaget. Gadis itu tertunduk ketakutan. Dengan terbata, dia menjawab pertanyaan pria tersebut.
"D–dia ... dia temanku, Bang. Namanya Salimar. Dia baru datang dari kampung," jawab Rosalinda ketakutan.
"Lalu, kenapa dia bisa ada di sini? Siapa yang memberimu izin untuk itu, HAH?!" Pria itu kembali menghardik Rosalinda.
"Ma—maafkan saya, Bang. Ini salah saya," lirih Rosalinda.
Melihat temannya yang gemetar ketakutan, Salimar merasa bersalah. Dia juga ikut ketakutan. Salimar takut dipukul oleh pria besar tersebut.
"Linda! Kesini kamu!" teriak pria itu kasar.
***
Sementara itu di rumah Salimar, Aldof kebingungan mencari anak gadisnya. Aldof yang merasa aneh, karena Salimar tak kunjung keluar dari kamarnya, memutuskan untuk mendobrak pintu kamar tersebut. Namun tak ada Salimar di sana. KMr itu kosong melompong.
"Salimar! Salimar! Dimana kamu, Nak?" Aldof terus memanggil nama anaknya.
Pria itu mencari di seluruh rumah dan sekitarnya. Casvanian terbangun, mendengar suara Aldof yang masih mencari Salimar. Pria itu segera menghampiri Aldof.
"Apa yang terjadi, Aldof?" tanya Casvanian penasaran.
Menoleh ke arah Casvanian, raut wajah Aldof terlihat cemas. Pria itu menggeleng pelan.
"Salimar menghilang. Anak itu kabur dari rumah," ucap Aldof lelah.
Aldof duduk di kursi kayu di teras depan rumahnya. Tatapan mata pria baya itu menerawang jauh.
"Anak itu keras kepala. Tidak mudah untuk mengatur Salimar," lirih Aldof.
Casvanian berdiri di samping Aldof. Menepuk pundak pria baya itu.
"Tenanglah. Aku akan mencarinya dan menemukan dia. Akan ku bawa dia pulang, Aldof," ujar Casvanian datar.
"Entahlah. Dia akan memberontak jika terlalu dipaksa. Dia hanya menurut pada ibunya," keluh Aldof.
"Andai saja Bianca masih hidup, Salimar tak akan kabur. Anak itu hanya mendengarkan apa kata Ibunya saja," lanjut Aldof sedih.
Casvanian menatap ke arah laut di depan sana. Bayangan ombak dan awan yang bergelombang, membuat dirinya sedikit cemas.
"Kita tidak memiliki banyak waktu, Aldof. Kita harus secepatnya mencari Salimar. Kalau tidak ..." Suara Casvanian menghilang. Berganti dengan wajah gelisah.
Aldof mendongak, menatap pemuda itu dengan penasaran.
"Apa yang akan terjadi?" tanya Aldof lirih.
"Sesuatu yang tak akan bisa kita bayangkan. Negeri kami akan jatuh ke dalam tangan yang salah dan keselamatan Salimar akan jadi taruhannya," terang Casvanian.
Kedua pria itu terdiam. Keduanya menatap jauh ke depan. Gumpalan awan hitam nampak di atas lautan yang bergejolak. Seperti hati mereka yang kini dilanda kegelisahan yang hebat.
"Salimar, dimana kamu Nak?" bisik hati Aldof khawatir.
Aldof teringat dengan pesan sang istri. Bianca yang meminta dirinya untuk selalu mengerti keinginan Salimar. Aldof tahu, dia terlalu keras terhadap anaknya. Namun itu demi kebaikan Salimar. Demi janjinya pada sang istri.
"Bianca, Sayang. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Putrimu kabur dari rumah sementara di luar sana banyak bahaya yang mengintai, Bianca." Hati Aldof semakin merana membayangkan nasib anaknya.