Bab 5 Rencana Salimar
Bab 5 Rencana Salimar
Menunggu hingga tengah malam, Salimar akhirnya mengintip keluar. Ke arah ruang tamu. Salimar melihat Casvanian yang tertidur lelap di atas sofa ruang tamu. Namun selimut yang dia berikan tak digunakan oleh pria itu.
"Dasar pria aneh. Diberi selimut, tapi tak dipakai. Malah digunakan untuk bantal," lirih Salimar dengan nada menghina.
Lalu dia berpaling ke arah lorong. Melihat pintu kamar orang tuanya yang tertutup rapat. Berjingkat pelan, Salimar mendekat ke arah kamar tersebut. Menempelkan telinganya di daun pintu, Salimar mencoba mendengar suara dari kamar sang ayah. Tak terdengar apapun dari dalam kamar.
"Sepertinya Ayah juga sudah tidur."
Salimar menjauh dari kamar sang ayah. Kembali masuk ke kamarnya sendiri. Menutup pintu dengan pelan, Salimar memejamkan matanya sejenak. Membuka matanya kembali, Salimar berjalan ke arah tempat tidur.
Berjongkok, Salimar melongok ke kolong tempat tidur. Meraih tas yang dia letakkan di sana. Menepuk-nepuk tas itu sebentar untuk menghilangkan debu yang menempel, Salimar menggendong tas besar itu di punggungnya.
Membuka jendela kamarnya, Salimar sekali lebih menatap ke sekeliling ruangan itu. Kamar penuh kenangan.
"Maafkan aku, Ibu. Selamat tinggal Ayah, selamat tinggal kamar kesayangan," lirih Salimar berpamitan.
Memantapkan hati, Salimar berpaling ke kembali. Memejamkan matanya sebelum melompat dari jendela kamarnya. Salimar mendarat dengan aman di tanah. Sekali lagi menoleh ke arah rumahnya, sebelum berlari menjauh dari sana.
Salimar duduk menunggu dipinggir jalan besar. Dia berniat menumpang pada mobil ikan yang biasanya lewat jalan itu menuju ke kota. Mengeratkan jaketnya, Salimar menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat keadaan sekitar.
"Dingin sekali. Semoga truk ikan segera datang, agar aku bisa segera pergi dari sini," ucap Salimar tak sabar.
Salimar menggosok kedua telapak tangan untuk menghalau udara dingin yang menggigit tubuhnya. Tak berapa lama kemudian, terlihat truk ikan yang berjalan ke arah Salimar. Salimar segera bersiap untuk menumpang.
Melambaikan tangannya ke arah truk tersebut, Salimar berdiri agak ke tengah jalan. Truk itu berhenti di depan Salimar. Salimar segera mendatangi sang sopir.
"Maaf, Pak. Bolehkah saya ikut menumpang sampai ke kota?" tanya Salimar dengan sopan.
Pria tua itu menatap Salimar dengan seksama. Melihat wajah Salimar yang agak pucat karena kedinginan, membuat pria tua itu kasihan. Jadi Salimar diizinkan untuk ikut menumpang. Lagipula, sudah hal yang lumrah di sana jika ada yang menumpang truk ikan untuk pergi ke kota.
"Naiklah segera. Udara semakin dingin di luar sini, Nak," ujar pria tua tersebut pada Salimar.
Salimar tersenyum bahagia. Bergegas dia berlari menuju sisi lain truk tersebut. Salimar masuk dan duduk di depan. Bertiga dengan seorang pria tua lainnya dan juga sang sopir truk. Truk ikan itu segere melaju kembali. Meneruskan perjalanannya ke kota.
Sekitar tiga jam, mereka telah sampai di kota. Salimar turun di persimpangan jalan.
"Kita sudah sampai di kota. Maaf ... Bapak cuma bisa sampai di sini saja. Karena tujuan kita berlawanan arah," ujar sopir truk itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Tak jauh dari persimpangan di depan sana.
Salimar mengangguk. Memakai kembali tas ranselnya, dia turun dari truk tersebut.
"Tidak apa-apa, Pak. Sampai di sini saja. Bapak bisa lanjutkan perjalanan Bapak," sahut Salimar.
Sopir truk itu tersenyum.
"Alamat yang kau tuju sudah dekat. Tempat itu ada di belokan pertama setelah lampu merah ini. Ambil kanan dari sini. Gedungnya bertingkat tiga lantai," terang sopir itu menjelaskan pada Salimar
Senyum Salimar merekah. Mata gadis itu berbinar bahagia.
"Terimakasih banyak Pak, atas petunjuknya. Hati-hati di jalan." Salimar melambaikan tangan ke arah sopir truk itu.
"Sama-sama. Kamu yang harus hati-hati. Jaga diri baik-baik, Nak," pesan sopir itu bijak.
Salimar kembali mengangguk dengan cepat.
"Tentu, Pak. Sekali lagi terima kasih untuk tumpangannya, Pak. Sampai bertemu lagi." Salimar mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu berpamitan pada kedua pria tua itu.
Pria itu menjalankan truk ke arah tujuan mereka sebenarnya. Mengambil arah kiri, truk itu berbelok dengan hati-hati hingga tak terlihat lagi oleh Salimar, kini.
Salimar mendesah lega. Menatap kepergian kendaraan besar itu dengan wajah ceria. Tak ada rasa kantuk di diri gadis tersebut. Justru Salimar sangat bersemangat. Tersenyum kecil, dia melangkah menuju ke tempat Rosalinda bekerja.
Berbekal secarik kertas berisi alamat Rosalinda. Juga petunjuk dari sopir truk baik hati tadi, Salimar mulai melangkahkan kakinya untuk mencari tempat kerja Rosalinda. Salimar berjalan sesuai dengan petunjuk yang dia terima. Sesekali melirik ke arah kertas di tangannya.
"Titan's bar and cafe." Salimar melafalkan kata itu berulang-ulang sembari menoleh ke kanan dan ke kiri jalan. Guna mencari gedung yang dimaksud.
Salimar menemukannya. Dia telah tiba di depan sebuah bangunan bertingkat tiga. Dengan papan nama yang bersinar terang dari lampu. Senyum Salimar kembali merekah. Dia bergegas menyeberang jalan ke arah tempat itu.
Namun Salimar merasa bingung, saat beberapa orang pria keluar dari sana dalam keadaan mabuk. Ada sedikit rasa takut dan was-was.
"Sudah kepalang tanggung. Ayo masuk dan cari Linda. Semangat Salimar!" seru Salimar menyemangati diri sendiri.
Salimar berjalan ke arah samping bangunan itu. Mencari pintu belakang. Tanpa sengaja, dia bertabrakan dengan pria lain yang tengah mabuk. Salimar jatuh terjungkal ke tanah. Sementara pria itu berteriak pada dirinya.
"Apa kau tak punya mata, Hah?! Kau sengaja, mencari masalah denganku, HAH?! JAWAB!" hardik pria itu terhuyung-huyung mendekati Salimar.
"M-maafkan saya, Tuan. Saya tak sengaja," ucap Salimar tergagap.
"Dasar gadis busuk! Seenaknya saja kau bilang tak sengaja. Kau harus menerima balasan dariku!" seru pria itu tak terima. Mata dan wajah pria itu terlihat berwarna merah menakutkan.
Salimar ketakutan. Menyeret tubuhnya mundur, seluruh tubuhnya gemetaran. Sementara pria mabuk itu berjalan mendekati dirinya. Air mata Salimar hampir saja menetes, ketika pria itu memaki Salimar kasar.
Salimar melihat tatapan pria itu nanar dengan wajah merah murka. Ketakutan Salimar semakin menjadi, saat pria itu mengangkat botol minuman di tangannya ke arah Salimar. Salimar memejamkan kedua matanya erat.
Salimar menunggu rasa sakit dari lemparan botol itu kepadanya. Akan tetapi tak kunjung dia rasakan. Justru Salimar mendengar suara berdebam yang keras. Namun dia tak berani membuka kedua matanya. Hingga seseorang mengguncang tubuhnya dengan pelan.
"Hei, apa kau tidak baik-baik saja?" Suara seorang pria bertanya pada Salimar dengan khawatir.
"Tenanglah, kau sudah aman sekarang," lanjut suara itu lagi.
Perlahan, Salimar mencoba membuka matanya. Dia menatap bingung ke arah pria yang berjongkok di depannya. Lalu melirik ke balik bahu pria tersebut. Salimar melihat pria mabuk yang tadi, kini terkapar di atas tanah tak berdaya.
Seakan tahu kekhawatiran Salimar, pria itu menjelaskan apa yang telah terjadi. Pria itu menenangkan Salimar.
"Tenanglah, dia hanya pingsan. Kau akan sekarang," ujar pria itu menjelaskan tanpa diminta.
Salimar menghela napas lega. Tatapannya beralih pada pria di depannya.
"Terima kasih banyak, Tuan," lirih Salimar pada pria tersebut.
Pria itu menggeleng pelan. Membantu Salimar untuk berdiri.
"Bukan masalah. Sekarang, berdirilah. Di sini sangat kotor," kata pria itu lagi.
Salimar mengangguk. Dengan bantuan pria itu, Salimar beranjak berdiri. Ketika Salimar menatap pria itu lagi, Salimar melihat seseorang yang dia kenal dari sudut matanya. Seseorang yang baru saja keluar dari pintu belakang gedung tersebut. Dengan kedua tangannya menenteng dua buah trasbag besar.
"Linda!" seru Salimar memanggil sosok di belakang pria tersebut.
Sosok itu menoleh ke arah Salimar. Terlihat raut terkejut di wajah sosok itu yang tak lain adalah Rosalinda, teman masa SMA Salimar dulu.
"Salimar?" Rosalinda menatap tak percaya ke arah Salimar.
Salimar tersenyum senang. Akhirnya dia bisa bertemu dengan temannya itu. Dia tak salah alamat. Sementara Rosalinda terlihat cemas, saat melihat Salimar ada di tempat itu.
Keduanya melupakan pria yang ada di sana. Yang menatap kedua gadis itu penasaran. Pria yang menolong Salimar, juga seorang lagi yang terkapar di tanah tak berdaya.