Bab 4 Pernikahan Paksa
Bab 4 Pernikahan Paksa
Salimar diam di atas tempat tidurnya. Gadis itu masih tidak terima dengan keputusan sang Ayah. Berjalan mondar-mandir, Salimar akhirnya menemukan ide. Dia ingin pergi dari rumah itu. Salimar memilih kabur dari rumah dan kampungnya. Lagipula dia sudah mendapatkan alamat tempat kerja Rosalinda tadi sore. Salimar akan menyusul Linda ke kota. Dia akan meminta tolong pada Linda, untuk mencarikan pekerjaan bagi dirinya.
"Ya, lebih baik aku pergi ke kota dan menyusul Linda. Daripada aku harus menikah dengan orang asing itu. Aku tidak ingin hidupku berakhir di sini," gumam Salimar pada dirinya sendiri.
Berjalan ke arah pintu, Salimar membuka pintu itu untuk menciptakan celah bagi dirinya. Salimar mengintip ke ruang tamu, lewat celah pintu yang tadi terbuka. Melihat ayahnya yang masih berbicara dengan pria asing bertelanjang dada itu.
Salimar akui, pria itu memang tampan. Bahkan lebih tampan bila dibandingkan dengan kebanyakan pemuda di daerah sini, tapi itu tidak bisa membuat Salimar menerima pernikahan paksa itu. Salimar sudah lama bermimpi untuk hidup bebas, jauh dari kekangan Ayahnya. Jauh dari kehidupan monoton di daerah pantai ini. Yang pasti, jauh dari kemiskinan dan kesulitan di kampung nelayan ini.
Menutup pintu itu dengan pelan, Salimar berbalik menuju ke tempat tidur. Duduk di tepi tempat tidur, Salimar menunduk berpikir. Dengan kedua tangan menopang wajah dan siku tangan berada di atas kedua pahanya.
Hanya sejenak, sebelum gadis itu terlonjak berdiri. Menarik tas besar miliknya, Salimar mulai memasukan baju dan beberapa barang serta uang tabungannya ke dalam tas. Salimar hanya memasukan sedikit barang ke dalam tas. Karena barangnya memang sedikit.
Setelah selesai, dia meletakkan tas itu di bawah kolong tempat tidur. Mata Salimar tertumbuk pada bingkai foto di atas meja kecil, di samping ranjang. Salimar meraih foto itu.
"Bu, maafkan Salimar. Salimar tidak suka terkekang di sini, Bu. Salimar ingin pergi." Salimar mengajak bicara wanita yang ada di dalam foto tersebut.
Wanita cantik berkulit putih yang sedang tersenyum bahagia. Menatap teduh ke arah kamera. Dengan kedua tangannya menggendong seorang bayi perempuan yang tak kalah cantiknya. Itu adalah foto Salimar saat bayi bersama Ibunya, Bianca.
Air mata Salimar menetes turun. Membasahi kaca bingkai foto tersebut. Salimar sedih, teringat akan sosok ibunya yang penyayang tetapi tegas. Wanita itulah yang selalu membela Salimar, ketika sang ayah marah besar pada Salimar. Dia juga yang selalu memaksakan makanan enak untuk Salimar setiap hari. Salimar rindu pada ibunya.
"Ayah tidak sayang Salimar lagi, Bu. Sejak Ibu pergi, Ayah selalu saja melarang Salimar melakukan apapun. Salimar terkekang di sini, Ibu. Ayah selalu memaksakan kehendaknya," adu Salimar pada foto di tangannya.
"Sekarang, bahkan Ayah memaksa Salimar untuk menikah dengan pria asing yang tidak jelas. Salimar tidak mau, Ibu ... maafkan Salimar yang tidak berbakti ini," ucap Salimar tercekat diantara isakan tertahan.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu kamarnya, membuyarkan tangisan Salimar. Menoleh ke arah pintu, Salimar menghapus air matanya dari pipi. Salimar mencium foto itu sebelum mengembalikan foto itu ke tempatnya semula.
Ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini di susul oleh suara berat sang ayah yang memanggil dirinya.
"Salimar? Kau sudah tidur, Nak?" panggil sang ayah bertanya pada Salimar.
"Belum Ayah, ada apa?" balas Salimar balik bertanya.
"Boleh Ayah masuk? Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan sama kamu," sahut ayahnya lembut.
Hening. Hingga akhirnya Salimar berjalan ke arah pintu. Membuka pintu itu untuk sang Ayah. Dia melihat ayahnya yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Apa yang ingin Ayah bicarakan? Kalau masih soal pernikahan, Salimar menolak keras, Ayah. Kalau Ayah mau, Ayah saja yang menikah dengan Canvas," tukas Salimar ketus.
Aldof menggelengkan kepalanya. Melihat anak gadisnya berdiri dengan melipat kedua tangan di dadanya. Sungguh tidak sopan. Namun Aldof tak perduli dengan hal itu.
"Tidak. Ayah hanya minta, kau berikan selimut dan bantal untuk Casvanian. Dia akan menginap malam ini," kata Aldof tenang.
"Menginap? Di mana dia akan tidur, Ayah? Berdua dengan Ayah, di kamar?" Salimar bertanya heran.
"Di sofa ruang tamu. Sudah ... jangan banyak bertanya. Berikan saja pada dia, karena Ayah lelah. Ingin istirahat secepatnya," tukas Aldof sedikit kesal.
"Dan soal pernikahan ... Ayah tetap ingin kau menikah dengan pria itu. Dia adalah pilihan yang tepat untukmu, Salimar. Percayalah pada Ayah," ujar Aldof dengan keras meyakinkan anaknya.
Tatapan Salimar berubah tajam. Dengan tegas dia menolak keinginan ayahnya itu.
"Tidak! Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Titik!" bantah Salimar keras.
Mendesah lelah, Aldof menggelengkan kepalanya pelan.
"Berikan selimut dan bantal untuk Casvanian. Ayah istirahat dulu." Setelah mengatakan itu, Aldof berbalik pergi meninggalkan Salimar di tempatnya.
Salimar kesal bukan main. Namun saat melihat punggung ayahnya yang sedikit membungkuk, rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam hati Salimar. Gadis itu melihat kesepian dan kelelahan dalam setiap langkah kaki ayahnya, yang berjalan menuju kamar pria baya itu. Mata Salimar menyorot sendu.
"Ayah," lirih Salimar.
Salimar masuk ke kamarnya. Membuka lemari kayu yang ada di pojok, dia mengambil selimut serta bantal tambahan yang sengaja di simpan di sana. Itu kebiasaan dari sang Ibu, Bianca. Salimar masih teringat setiap kata yang diucapkan ibunya tentang selimut dan bantal ini.
Kata Bianca, mereka harus memiliki selimut cadangan agar setiap ada tamu yang menginap, mereka bisa menyediakan tempat sedikit lebih layak. Itulah kenapa, ada dua bantal dan satu selimut tambahan di rumah mereka. Tersimpan rapi di dalam lemari kayu di kamar Salimar.
Mengambil kedua benda itu, Salimar menutup kembali lemari kayu tersebut. Kemudian berjalan keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruang tamu. Di sana, Casvanian terlihat menatap sekelilingnya dengan bingung. Hal itu menerbitkan rasa usil di dalam hati Salimar. Tersenyum licik, Salimar mendekati pria tersebut.
"Nih ... selimut dan bantal untuk teman tidurmu nanti malam." Salimar melemparkan kedua benda di tangannya ke arah pangkuan pria tersebut.
Secara refleks, Casvanian menangkap bantal dan selimut dari Salimar. Mendongak ke atas, dia menatap Salimar heran. Namun tetap mengucapkan terima kasih kepada Salimar.
"Terima kasih banyak, Salimar." Casvanian tersenyum lembut kepada gadis itu, tapi Salimar melengos.
Salimar yang tak menyangka akan melihat senyuman dari Casvanian, merasa terkejut dan tersipu malu. Untuk menutupi rasa malunya, Salimar membuang wajahnya ke arah lain. Menggigit bibirnya untuk menanam senyum yang mulai terbit di wajahnya.
"Kata Ayah, malam ini kau boleh menginap. Tidurlah di sofa," ucap Salimar tersendat.
"Oh ... Tetap saja. Terima kasih banyak, karena sudah mengizinkanku untuk menginap di sini, Salimar." Casvanian tetap berterima kasih dengan tulus.
Salimar tertegun melihatnya. Sejenak gadis itu terpaku di tempatnya berdiri. Seakan tersadar dari hipnotis, Salimar batuk kecil. Berbalik, Salimar melangkah meninggalkan pria itu dan berjalan menuju kamar tidurnya sendiri.
Ada rasa aneh yang menyusup masuk ke dalam hatinya. Membuat hati Salimar berdegup sedikit lebih keras dari biasanya. Juga wajahnya yang terasa oanas. Salimar segera menutup pintu kamarnya. Gadis itu merosot jatuh dan bersandar pada pintu tersebut.
Sementara itu, Casvanian mengunakan bantal dan selimut itu sebagai bantal. Dia tak terbiasa tidur memakai selimut. Apalagi malam ini udara terasa panas. Casvanian tak terbiasa dengan cuaca di sini. Namun dia mencoba untuk membiasakan diri beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Pria itu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Meletakkan kepalanya di bantal dan selimut yang diberikan oleh Salimar. Tatapan Casvanian menerawang jauh ke negerinya yang ada di seberang sana. Sedangkan benak Casvanian, tak hentinya memikirkan tentang pertarungan yang mungkin akan segera terjadi.
"Aku harus bisa membawa pergi Salimar dari sini. Bagaimanapun caranya, Salimar harus jadi istriku," lirih Casvanian pada keheningan malam.
"Hanya itu satu-satunya cara yang bisa aku pikirkan. Maafkan aku, Yang Mulia. Aku terlambat datang," bisik Casvanian menyesal.
Salimar menunggu di dalam kamar dengan jantung berdebar kencang. Seakan dia ikut lomba lari maraton. Melihat ke arah jam dinding yang tergantung di tembok, di dalam kamarnya. Menghitung setiap detik yang berlalu.