Bab 3 Asal Usul Salimar yang Sebenarnya
Bab 3 Asal Usul Salimar yang Sebenarnya
Mengetuk pintu rumah, Salimar melirik ke belakang tubuhnya. Dimana pria bertelanjang dada itu berdiri sembari menatap ke sekitar rumahnya. Saat mata keduanya bertemu, Salimar memalingkan wajahnya ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
"Ayah!" seru Salimar mengetuk pintu lebih keras.
Tak lama pintu itu dibuka dari dalam. Terlihat ayahnya yang menatap tajam Salimar. Masih ada sorot emosi di dalam mata pria baya itu.
"Apa kau sudah puas menangis di luar sana? Sudah puas marah dan sekarang butuh tempat untuk tidur, huh?!" sembur ayahnya begitu melihat Salimar.
Berjengit kaget, Salimar melangkah mundur. Namun dia berani membalas tatapan mata sang ayah.
"Aku tidak ada niat untuk pergi, kalau saja Ayah tak memaksaku. Lagipula, aku pulang karena ada seseorang yang ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu," sahut Salimar angkuh, tak mau kalah.
Casvanian melongok dari balik bahu Salimar. Memandang bingung ke arah ayah Salimar.
"Apa maksudmu gadis nakal?" Ayah Salimar kembali tersulut amarah, mendengar jawaban dari putri tunggalnya.
Mengangkat salah satu tangannya, pria itu hampir saja menampar mulut lancang Salimar. Namun terhenti di udara, kala menyadari adanya orang lain di sana. Ayah Salimar menatap Casvanian dengan curiga. Menoleh kembali ke arah putrinya.
"Dasar bocah kurang ajar. Kau berani membawa seorang pria ke rumah ini? Benar-benar minta dihajar kamu, Salimar?!" teriaknya murka.
"Dia ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu!" pekik Salimar keras.
Tangan yang hampir mengenai pipinya, kini kembali berhenti di udara. Pria baya itu menatap Salimar bingung.
"Bertemu aku dan Ibumu?" lirih ayah Salimar memastikan.
"Benar. Bukankah tadi aku sudah bilang, bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu. Itu adalah dia." Tunjuk Salimar pada Casvanian yang tersenyum ramah pada ayah Salimar.
"Siapa pria itu?"
Salimar sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Namun Casvanian maju ke depan lebih dulu. Mengulurkan tangannya ke arah ayah Salimar.
"Selamat malam, Tuan Aldof. Saya Casvanian de Constain. Saya dari North Folksnow, negeri seribu salju." Casvanian memperkenalkan dirinya pada ayah Salimar.
Aldof, –ayah Salimar – menatap lurus ke arah Casvanian. Lalu turun ke arah tangan yang terulur kepada dirinya. Aldof tak berniat untuk membalas uluran tangan itu. Alih-alih menjabat tangan Casvanian, kening pria baya itu justru berkerut dengan dalam.
"Kau bilang, kau dari North Folksnow? Apakah itu benar?" tanya Aldof memastikan.
"Benar, dan saya ke sini ingin bertemu dengan Putri Bianca Roddit. Ada hal penting yang harus saya katakan pada beliau," ujar Casvanian.
Aldof akhirnya yakin dengan pemuda itu. Tanpa membuang waktu, dia menyuruh Casvanian untuk masuk ke rumahnya.
"Sebaiknya kita ke dalam dulu. Tidak baik berbicara sambil berdiri di depan pintu seperti ini," kata Aldof menyuruh kedua anak muda itu untuk masuk ke dalam.
Salimar masuk ke dalam rumah dengan langkah menghentak kesal. Sementara Aldof mempersilahkan Casvanian untuk duduk di kursi, di ruang tamu.
"Salimar, ambilkan minum untuk tamu kita."
Melengos, Salimar pergi ke dapur tanpa menjawab perintah dari ayahnya itu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan nampan berisi dua gelas teh panas untuk kedua pria tersebut.
Meletakkan gelas itu di atas meja, Salimar lalu duduk di dekat ayahnya. Ikut mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh kedua lelaki tersebut.
"Casvanian, kau bilang kau ke sini karena ingin menyampaikan sesuatu pada istriku. Namun dia sudah meninggal dua bulan yang lalu," kata Aldof membuka percakapan lebih dulu.
Casvanian mengangguk kecil.
"Saya sudah tahu. Tadi Salimar sudah mengatakannya pada saya saat di pantai," sahut Casvanian datar.
"Lalu, apa yang ingin yang ingin kau katakan pada istriku? Kau bisa mengatakan semuanya padaku, Anak muda," timpal Aldof penasaran.
"Sebelum itu, ada satu hal yang harus aku lakukan di sini," tukas Casvanian
"Apa itu?"
"Salimar harus menikah denganku. Secepatnya."
"Apa?" Aldof terperangah mendengarnya.
"Sebelum itu terjadi, aku tidak bisa mengatakan apa pun kepada kalian berdua. Karena ini menyangkut tentang negeri darimana kami berasal," terang Casvanian menjelaskan.
"Maksudmu ... apakah itu tentang negeri asal istriku, Bianca?" Aldof bertanya penasaran.
Casvanian mengangguk dengan mantap. Dia menatap lurus ke arah Aldof, sebelum beralih ke arah Salimar yang diam terpaku di tempatnya. Casvanian tahu, garis itu pasti terkejut dengan semua ini.
"Negeri tempat Ibuku berasal?" lirih Salimar berucap.
Casvanian yang masih bisa mendengar suara Salimar, mengangguk sekali lagi.
"Ya, negeri kami. Tempat dimana kami dilahirkan. Negeri indah bernama North Folksnow," sahut Casvanian pelan.
Suara pria itu melembut, saat menyebutkan nama tempat dirinya berasal. Memperlihatkan, betapa besar kecintaannya terhadap negeri itu. Bahkan tatapan mata pria itu bersinar lembut.
Salimar dan Aldof bisa merasakannya. Namun mereka tak terlalu memahami hal itu. Terlebih untuk Salimar yang tak tahu apapun tentang negeri itu. Dia buta informasi tentang ibunya sendiri. Membuat Salimar kesal pada dirinya sendiri.
"Baiklah, aku setuju. Salimar akan menikah denganmu besok," kata Aldof tegas.
Sontak Salimar gemetar hebat. Mendengar jawaban persetujuan dari ayahnya. Bukankah ayahnya tidak suka dengan orang asing? Bukankah dulu Salimar dilarang berdekatan dengan seorang pria? Lalu kenapa sekarang dengan mudahnya Aldof menyetujui permintaan pria asing itu.
"Terima kasih. Itu akan membuat semuanya lebih baik. Karena sudah saatnya Salimar pulang ke North Folksnow kini," ujar Casvanian mengangguk kecil.
"Lagipula, jika anda menolak sekalipun ... itu tak akan berpengaruh. Karena takdir Salimar adalah dengan diriku," tandas Casvanian angkuh.
Bagai mendapat lemparan bom atom, tubuh Salimar seketika menegang. Gadis itu berdiri dari duduknya dengan tergesa.
"Jangan mimpi! Aku tidak ingin hidup bersama denganmu, Canvas," tukas Salimar marah.
Tatapan mata Salimar tajam, menatap ke arah pria bertelanjang dada itu. Salimar menolak dengan tegas pernikahan itu.
"Aku tidak mau menikah denganmu! Aku tidak sudi!" teriak Salimar menolak keras keinginan pria asing tersebut.
"Salimar!" bentak Aldof.
Berpaling pada sang Ayah, raut wajah Salimar mengeras. Bertahan dengan pendiriannya.
"Ayah jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak aku inginkan. Aku tidak suka dipaksa, ayah!" pekik Salimar bersikeras melawan sang ayah.
"Kau ... dasar gadis bodoh! Kau tidak tahu apapun tentang hal ini. Jadi sebaiknya kau menurut saja, Salimar." Perintah Aldof melunak.
"Aku tidak perduli. Aku tidak ingin tahu apapun itu, jika itu artinya aku harus menikahi pria aneh seperti dia." Jari telunjuk Salimar menunjuk tak sopan ke arah Casvanian.
Aldof merasa malu dengan sikap Salimar yang tak tahu sopan santun. Pria itu menatap Casvanian dengan menyesal.
"Maafkan dia. Salimar memang tak tahu apapun tentang hal ini," ujar Aldof menyesal.
"Dia tak tahu apapun tentang Bianca? Kau tidak memberi tahu Salimar tentang hal ini?" Casvanian terbelalak kaget.
Aldof menggeleng pelan. Pandangan pria baya itu menunduk, menatap ke arah lantai di bawah kakinya. Seakan lantai ubin itu lebih menarik daripada apapun di dunia ini.
"Kenapa?" Suara Casvanian datar.
Mendongak, Aldof menatap bergantian antara Casvanian dengan putrinya, Salimar. Tatapan Aldof menerawang jauh ke masa lalu. Dimana waktu pertama kali dirinya pertama kali bertemu dengan Bianca, mendiang istrinya.
Aldof ingat, hari itu dia baru saja pulang dari melaut. Perahu mereka membawa banyak ikan saat pulang. Hal itu membuat semua orang bergembira. Mereka membantu menurunkan ikan-ikan itu dan menjualnya ke pelelangan ikan.
Ketika semua orang telah pergi, Aldof yang hendak melepaskan penat, memilih pergi ke pantai karang. Di sanalah Aldof bertemu dengan Bianca yang tenggelam dan meminta tolong. Aldof segera menolong wanita itu dan membawanya ke tepi pantai.
Itulah awal dari perjalanan kisah Aldof dan Bianca. Yang meminta Aldof untuk menikahi Bianca karena telah menyelamatkan wanita itu. Namun dengan satu syarat, bahwa Aldof tidak boleh mengatakan pada siapa pun tentang darimana Bianca berasal. Aldof berjanji akan menyimpan rahasia itu sampai mati.
Tatapan Aldof beralih menatap putrinya. Aldof menceritakan semua tentang Bianca yang dia tahu. Tak ada satu pun yang dia tutupi.
"Itulah sebabnya aku tidak pernah mengatakan apapun tentang Ibumu. Dia juga memintaku untuk menikahkan kau dengan seorang pria yang berasal dari dunianya," terang Aldof menutup ceritanya.
Namun Salimar masih tak percaya. Gadis itu tak terima, jika hidupnya terus saja dikekang dan diatur oleh ayahnya. Meskipun dia tahu alasannya.
"Aku tidak perduli dengan semua itu. Aku tetap tidak ingin menikah dengan pria asing itu!" Salimar berlari menuju kamarnya. Menutup pintu kamar dengan kencang, gadis itu menguncinya dengan rapat.