Bab 2 Laki-laki Asing
Bab 2 Laki-laki Asing
Malam telah jatuh dan melingkupi seluruh daerah pantai. Kerlip bintang di langit dan lampu perahu nelayan di laut, adalah pemandangan yang indah untuk dinikmati saat malam tiba. Namun malam ini, angin menderu dengan kencang. Membuat siapapun engan untuk keluar dari kehangatan rumah mereka.
Pun begitu dengan Salimar dan ayahnya. Keduanya tengah duduk berhadapan di meja makan. Menikmati menu makan malam yang sederhana. Dengan sang ayah yang bersemangat untuk melahap makanan itu.
Setelah selesai, Salimar menumpuk semua piring bekas mereka di ruang belakang.
"Salimar," panggil ayahnya keras.
Meletakkan piring kotor itu, Salimar berbalik ke arah ayahnya.
"Ada apa, Yah?" tanya Salimar malas.
"Kalau dipanggil orang tua itu, datang dan temui. Jangan seperti itu," tegur ayahnya.
Memutar matanya malas, Salimar menuruti sang ayah. Dengan langkah ogah-ogahan, dia mendekat ke arah ayahnya.
"Iya, Ayah. Ada apa?" ulang Salimar bertanya.
"Duduk. Ada sesuatu yang mau Ayah bicarakan dengan kamu," kata pria baya itu lagi.
Salimar duduk di kursi yang tadi dia tinggalkan. Menatap ayahnya dengan tatapan bertanya.
"Salimar, Ayah sudah mendaftarkan kamu untuk kursus les menjahit. Jadi besok kamu pergi untuk membeli peralatan yang diperlukan. Nanti Ayah kasih uangnya," kata ayah Salimar.
Terkejut, Salimar menatap ayahnya datar. Tak ada respon lain. Salimar balas menatap ayahnya datar.
Melihat tak ada balasan dari Salimar, pria itu pikir Salimar setuju. Jadi dia melanjutkan ucapannya.
"Kalau kamu bisa menjahit, hidup kamu akan lebih baik nanti. Jadi kamu bisa menggunakan keterampilan itu saat kamu sudah menikah nanti," ujar ayahnya kembali.
Menggebrak meja, Salimar berdiri dengan marah.
"Aku tidak mau, Ayah. Aku ingin bekerja di kota seperti teman-temanku yang lain," bantah Salimar kesal
"Tidak. Ayah tak akan mengizinkan kamu untuk pergi ke sana. Kau harus ikut les menjahit, lalu bekerja di sini. Di kampung ini!" tolak pria itu marah.
"Tapi aku tidak mau hidup seperti ini terus, Ayah. Aku bosan!" Teriak Salimar membangkang.
"Jangan keterlaluan kamu, Salimar! Aku tidak pernah kasar padamu, bukan berarti aku tidak bisa memukulmu. Dasar anak kurang ajar!" sembur pria itu emosi.
"Ayah selalu seperti itu. Dulu aku diam karena masih ada Ibu yang menjadi alasanku untuk tinggal. Namun sekarang semuanya berbeda. Aku tidak suka diatur-atur, Ayah!" Teriakan Salimar yang keras, dibalas dengan bantingan gelas dari sang ayah.
Pria itu melemparkan gelas berisi kopi panas ke arah dinding di belakang Salimar. Membuat gadis itu membeku di depannya.
Tatapan mata Salimar, membelalak tak percaya. Mengusap wajahnya yang terkenal cipratan kopi panas, Salimar memandang marah ke arah ayahnya.
*Aku benci Ayah!" Teriak Salimar keras.
Salimar berlari keluar dari rumah dengan kemarahan yang membakar dadanya. Dia tak mengindahkan panggilan dari sang ayah yang menyuruh dirinya untuk kembali. Salimar terus berlari tanpa tujuan. Hingga dia tiba di tepi pantai yang jarang didatangi oleh orang lain.
Ini adalah tempat rahasia Salimar bersama mendiang ibunya. Dulu Salimar sering diajak ke sini oleh sang ibu, saat ayahnya pergi melaut. Banyak kenangan indah bersama ibunya di sini.
Salimar duduk termenung di atas batu karang. Menangis tersedu. Dia mengadu pada ibunya.
"Ibu ... Salimar tidak suka dengan Ayah. Ayah selalu otoriter, Ibu. Salimar tak suka, Salimar benci Ayah!" teriak Salimar diantara deru ombak yang menerjang batu karang.
"Salimar ingin bebas dari kampung terpencil ini. Salimar ingin menikmati hidup seperti burung yang terbang di langit, Ibu. Salimar tidak suka terkurung di sini." Tangisan Salimar pecah, mengadu pada sang ibu yang tak lagi ada di sana.
Gadis itu larut dalam kesedihan dan kemarahannya sendiri. Menumpahkan segala keluh kesahnya terhadap sikap ayahnya yang tak masuk akal.
Ayahnya selalu melarang Salimar untuk menjalin hubungan dengan pemuda di kampungnya. Namun pria itu juga melarang Salimar pergi dari sana. Membuat hidup Salimar terkekang.
Sebuah ide merasuk ke dalam pikiran Salimar. Menghapus air matanya, gadis itu mantap untuk menjalankan rencananya. Namun sudut matanya menangkap sesuatu yang tergeletak diantara karang di tepi pantai.
Karena penasaran, Salimar mendekati benda itu. Alangkah terkejutnya Salimar, saat mendapati itu adalah sesosok tubuh manusia. Salimar bergegas menghampiri sosok itu dan membalikkan badannya.
"Astaga!" pekik Salimar terkejut.
Itu seorang pria dengan bertelanjang dada. Pria itu hanya memakai celana dengan model unik, yang belum pernah Salimar lihat sebelumnya. Berwajah tampan dan berambut panjang untuk ukuran seorang pria.
"Hei Tuan, bangunlah. Hei ... bangun." Salimar menepuk pelan wajah pria itu, tapi tak ada respon sama sekali.
Melihat kedua matanya terpejam erat, Salimar ketakutan. Salimar memeriksa detak jantung pria itu dengan menempelkan telinganya di dada pria tersebut.
"Syukurlah dia masih hidup. Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Salimar kembali panik.
Salimar menekan dada pria itu beberapa kali. Namun tetap tidak ada reaksi. Jadi tanpa pikir panjang, Salimar mencoba memberikan napas buatan untuk pria tersebut. Dengan menjepit hidung dan mulut pria itu, Salimar mulai memberikan napas buatan.
Setelah tiga kali hembusan napas, pria itu batuk pelan. Sebelum membuka mata birunya dengan perlahan. Pria itu menatap Salimar yang masih duduk di sebelah dirinya.
"Salimar? Kau menyelamatkan aku, Salimar."
Salimar terkejut. Gadis itu mundur ketakutan, saat pria itu menyebut namanya.
"K-kau ... bagaimana, kau. Bagaimana kau tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?" Salimar bertanya dengan ketakutan.
Bagaimana bisa, pria itu tahu namanya. Sedangkan mereka baru saja bertemu. Salimar semakin curiga dan waspada pada pria itu, ketika pria itu bangkit untuk duduk. Salimar mundur dan menjaga jarak aman.
"Kau tak perlu takut atau curiga. Aku tahu dirimu dengan sangat jelas, Salimar. Namun sekarang, aku harus bertemu dengan Ibumu terlebih dahulu. Ada hal yang harus aku katakan kepadanya," ujar pria itu menatap Salimar yang masih terkejut.
"Siapa kamu? Apa maksudnya dengan Ibuku? Apa kau mengenalnya?" tanya Salimar semakin curiga.
"Namaku Casvanian de Constain. Aku berasal dari North folksnow. Negeri indah yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran disepanjang tahun," jawab pria berkulit putih itu.
Salimar mendengarkan dengan seksama. Menatap pria itu dengan teliti. Kulit pria itu memang putih, bahkan sangat putih dan bersih jika dibandingkan dengan kebanyakan orang di daerah Salimar. Juga, pria itu tidak bisa berenang. Sama seperti mendiang sang ibu. Namun Salimar tak langsung percaya.
"Kalau kau memang mengenal Ibuku, seharusnya kau tahu nama lengkap beliau. Katakan, agar aku bisa percaya pada cerita khayalanmu itu," tukas Salimar datar.
Menganguk pelan, pria itu menyebutkan nama ibunya dengan lengkap. Juga nama Salimar dan ayahnya. Hal itu semakin membuat Salimar bingung.
"Jadi, bisakah kau membawaku untuk bertemu dengan Ibumu, Salimar?" pinta pria itu dengan memelas.
Menelan ludahnya gugup, Salimar balas memandang pria itu.
"Kau terlambat. Seharusnya kau datang dua bulan yang lalu. Mungkin saja kau bisa bertemu dengan Ibu. Karena sekarang Ibu sudah meninggal," sahut Salimar tercekat.
Pria itu membelalak kaget. Dia tak menyangka akan mendapatkan kenyataan seperti itu.
"Apa?! Apakah itu benar? Bianca sudah mati?" Casvanian terdengar sedih, saat mengetahui kenyataan itu.
"Benar. Dia meninggal karena sakit parah. Jadi maaf, kau terlambat Tuan Canvas," ujar Salimar santai.
"Casvanian! Bukan Canvas. Ingat itu," tegur Casvanian kesal.
"Terserah." Salimar mengangkat bahunya tak acuh.
"Baiklah. Kalau begitu, bawa aku ke rumahmu. Aku harus bertemu dengan Ayahmu. Ada sesuatu yang harus aku katakan pada dia," kata pria itu tegas.
Salimar menatap pria itu sejenak. Sebelum mengangguk setuju. Dia membantu pria itu berdiri lalu memapah Casvanian menuju ke rumahnya.
"Namun aku tak akan tanggung jawab, jika Ayahku marah dan mengusir kamu dari rumah kami. Dia sangat pemarah," gumam Salimar kesal.
"Yakinlah, dia tak akan melakukan hal itu. Apalagi setelah dia mendengar apa yang akan aku katakan padanya," sahut pria itu percaya diri.
"Huh, kita lihat saja nanti," dengus Salimar sinis.
Keduanya kini berjalan kembali ke rumah Salimar. Sementara hati Salimar masih penasaran dengan pria itu. Seumur hidupnya, baru kali ini Salimar melihat seseorang yang memiliki kesamaan dengan ibunya. Salimar tahu, ibunya bukan orang dari daerah sini. Pun begitu pria ini. Itu sebabnya, meskipun Salimar masih curiga, tapi dia tetap membawa pria itu ke rumahnya untuk bertemu dengan sang Ayah.
"Lagi pula, Canvas bisa apa sekarang? Tubuhnya saja masih lemah dan butuh bantuan untuk berjalan kaki," lirih Salimar di dalam hati.