Bab 10 Keputusan Salimar
Bab 10 Keputusan Salimar
Menepuk-nepuk kedua tangannya, Casvanian menatap ke sekitarnya dengan tatapan mencemooh. Berdecih, pria itu melangkahi tubuh yang terkapar di depannya. Berjalan ke arah tempat persembunyian kedua gadis tadi.
"Apa kau akan tetap berjongkok di sana, Salimar?!" ujar Casvanian skeptis.
Sontak saja Salimar dan Rosalinda terlonjak kaget. Keduanya segera berbalik ke arah Casvanian. Setelah memastikan bahwa itu Casvanian, seketika mata Salimar melotot marah.
"Jangan mengangetkan kami, bodoh! Kau hampir saja membunuh kami," hardik Salimar marah.
Mendapat reaksi seperti itu, Casvanian berdiri diam di tempatnya. Melipat kedua tangannya di dada, pria itu merubah raut wajahnya menjadi datar. Begitu pula dengan tatapan matanya yang berubah dingin.
Rosalinda yang menyadari hal itu, segera membungkuk berterima kasih pada Casvanian.
"Terima kasih banyak karena telah membantu kami, Tuan. Jika tidak ada anda, entah bagaimana jadinya kami. Sekali lagi ... terima kasih banyak," ucap Rosalinda tulus kepada Casvanian.
Casvanian menganguk kecil sebagai balasannya. Lalu tatapannya beralih pada Salimar. Casvanian tak habis pikir dengan gadis itu. Bukannya berterima kasih seperti temannya, Salimar justru membentak dirinya.
Merasa tatapan tajam Casvanian, Salimar tak terima. Walau hatinya sedikit berdetak kencang, tapi Salimar berusaha untuk mempertahankan wajah marahnya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku tak akan berterima kasih kepadamu. Aku anggap kita impas karena aku pernah menolongmu dulu," kata Salimar angkuh.
Casvanian menghela napas lelah. Menurunkan kedua tangannya, sorot matanya perlahan melunak. Menyerah pada Salimar yang keras kepala.
"Baiklah, terserah kau saja," sahut Casvanian tak acuh.
Salimar berdiri tegak. Begitu juga dengan Rosalinda yang tak pernah lepas menatap wajah Casvanian yang tampan. Bahkan lebih tampan dari pria manapun yang pernah Rosalinda temui. Membuat gadis itu linglung karenanya.
Melihat temannya yang terpesona pada Casvanian, Salimar menggeleng pelan. Dia menyikut lengan Rosalinda dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"Berhenti bertingkah bodoh, Linda. Kau terlihat konyol sekarang," desis Salimar tak suka.
Rosalinda tersadar karena rasa sakit yang dia rasakan di lengannya. Melotot marah pada Salimar, Rosalinda balas mengumpat gadis itu.
"Sialan! Ini sakit tahu?!"
Casvanian yang melihat keduanya saling beradu mulut, mencoba menghentikan mereka. Dia juga penasaran dengan kejadian yang baru saja terjadi.
"Hentikan! Kalian seperti anak kecil," potong Casvanian ketika dia melihat Salimar yang hendak membalas umpatan Rosalinda.
"Kenapa kalian dikejar oleh mereka? Siapa mereka?" Karena penasaran, Casvanian akhirnya bertanya juga.
"Mereka anak buah dari bos Dony. Lalu kau sendiri, kenapa kau bisa ada di sini?" jawab Salimar bertanya balik pada Casvanian.
Sikap ketus dan angkuh yang diperlihatkan oleh Salimar, membuat Casvanian mengeryit tak suka. Dia tak terbiasa dengan orang yang melawan dirinya. Di negerinya, semua orang selalu berkata penuh hormat pada Casvanian. Namun di sini, Salimar terus saja melawan dirinya dengan sombong dan angkuh. Benar-benar menyulut emosi di dalam diri Casvanian.
"Aku datang ke sini untuk mencari dan membawamu pulang ke rumah. Aldof ... Ayahmu menunggu kau pulang ke rumah," terang Casvanian jujur.
Mengungkit tentang ayahnya, membuat Salimar merasakan rasa rindu dan bersalah. Seandainya saja dia tak kabur dari rumah. Mungkin semua ini tak akan terjadi. Akan tetapi jika mengingat alasan utama dirinya kabur, Salimar seketika berubah benci.
Salimar benci dikekang. Dia benci jika harus diatur seumur hidupnya. Salimar ingin bebas, tapi ayahnya selalu memasung kebebasan Salimar. Bahkan ayahnya memaksa Salimar untuk menikah dengan pria di depannya ini tanpa alasan.
"Aku tidak mau!" tolak Salimar tegas.
Rosalinda melihat tatapan sendu di mata pria tampan itu. Karena tak tega, Rosalinda lalu membujuk Salimar.
"Hei, Salimar. Kenapa kau begitu? Kenapa tak ingin pulang?" tanya Rosalinda.
"Jangan ikut campur, Linda. Ini urusanku dengan dia," sergah Salimar menunjuk Casvanian.
"Bukan begitu ... tapi, apa kau masih akan tinggal di kota ini? Kau akan tinggal di mana? Kau tak punya tempat bernaung di sini. Begitu juga aku." Ucapan Rosalinda menyadarkan dirinya yang tak lagi punya tujuan. Namun dia enggan mengakuinya di depan Casvanian.
"Aku akan mencari pekerjaan lain," kata Salimar tegas.
"Pekerjaan lain? Kau pikir gampang, mencari pekerjaan di kota? Apalagi kau tak punya pengalaman dan keterampilan apa pun yang berguna di sini," sergah Rosalinda kejam. "Atau kau mau kembali ke klub itu dan bertemu dengan Bos Dony? Benar begitu?" desak Rosalinda menyudutkan Salimar.
Salimar merasa tertohok dengan semua ucapan Rosalinda. Dia menyadari bahwa hal itu tak mungkin. Harapan untuk tinggal dan bekerja di kota telah lenyap. Salimar merasa lemas seketika.
Rosalinda tahu bahwa dirinya terlalu kasar pada Salimar. Namun dia tak ingin membuat gadis itu jatuh terlalu dalam pada kehidupan kotor di kota ini. Salimar gadis yang baik menurut Rosalinda. Jadi dia tak ingin temannya itu merasakan pahitnya hidup di kota. Lebih baik Salimar menjalani hidup tenang di desa kecil mereka.
Melangkah mendekat, Rosalinda menepuk lembut bahu gadis itu.
"Pulanglah ke rumahmu, Salimar. Kasihan ayahmu di rumah. Beliau pasti cemas dan khawatir memikirkan dirimu," bujuk Rosalinda lembut.
"Dia benar, Salimar. Lagi pula waktuku semakin sempit di sini. Sebaiknya kita bergegas pulang," sahut Casvanian yang terlihat gelisah.
Salimar menyadari kegelisahan pria itu. Entah kenapa, dia juga ikut khawatir pada sesuatu yang tak dia ketahui. Hanya saja, Salimar memiliki firasat buruk mengenai hal ini. Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya mengangguk setuju.
"Baiklah, aku pulang sekarang," kata Salimar.
Rosalinda tersenyum tulus. Dia memeluk temannya itu.
"Baguslah kalau kau akhirnya sadar, Salimar. Kau akan bahagia di sana," bisik Rosalinda di telinga Salimar.
"Lalu kau sendiri? Bagaimana dengan dirimu, Linda? Apa kau akan ikut pulang bersamaku?"
Rosalinda menggeleng pelan. Melepaskan pelukannya.
"Tidak. Aku akan tetap di sini." Rosalinda tersenyum kecil memandang Salimar lembut.
"Tapi–"
"Kau tenang saja, Salimar. Aku akan baik-baik saja di sini. Karena aku memang suka hidup di kota ini. Lagipula aku sudah lama di sini, jadi mudah untukku beradaptasi," ucap Rosalinda dengan entengnya.
Namun tak juga membuat Salimar lega. Salimar masih mengkhawatirkan keselamatan temannya itu. Setelah semua yang terjadi tadi malam.
"Tenanglah, Salimar. Apa kau lupa? Aku punya tunangan di sini, dan dia seorang pengusaha yang lumayan sukses. Jadi kau tak perlu khawatir dengan diriku. Aku akan menemui tunanganku itu," terang Rosalinda menenangkan Salimar.
Akhirnya Salimar setuju. Meskipun masih tersisa kekhawatiran untuk sahabatnya itu, tapi Salimar percaya bahwa Linda bisa melakukannya lebih baik.
"Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Kau juga segera pergi ke tempat tunanganmu itu, Linda," kata Salimar.
"Tentu. Hati-hati dijalan." Rosalinda memeluk kembali Salimar.
Keduanya saling berpelukan sebagai salam perpisahan. Salimar merasa sedih, karena mimpinya untuk bisa hidup di kota kini pupus. Dia juga akan berpisah dengan temannya yang baik itu.
"Kau juga. Hiduplah dengan bahagia di sini. Jauhi klub malam dan bis Dony," sahut Salimar.
Tidak lama, sebuah bus kota berhenti di halte dekat taman. Rosalinda segera melepaskan pelukannya. Melambaikan tangannya, gadis itu berlari ke arah bus kota. Naik ke dalam bus tersebut.
Casvanian meraih tangan Salimar dan mengajak gadis itu pulang.
"Sekarang giliran kita untuk pulang. Atau mereka akan kembali untuk menangkap kau lagi," ujar Casvanian tak acuh.
Keduanya berjalan bersama. Dengan jemari tangan saling bertautan. Menelusuri jalanan pagi di kota yang mulai sibuk itu. Kali ini mereka naik bus antar kota untuk kembali ke desa tepi pantai. Desa tempat kelahiran Salimar.
Dengan kejutan yang sudah menunggu keduanya di sana. Kejutan yang akan membuat hidup keduanya berubah seratus delapan puluh derajat.