Bab 11 Kepulangan Salimar
Bab 11 Kepulangan Salimar
Salimar dan Casvanian tiba di rumah Salimar. Aldof menunggu keduanya di kursi di teras depan rumah. Melihat kedatangan mereka, Aldof segera berdiri dan menghampiri keduanya.
Awalnya Salimar takut dan bersembunyi di balik punggung Casvanian. Mencengkeram erat kemeja yang digunakan oleh pria itu. Menunggu dengan cemas semburan kemarahan dari sang Ayah.
Casvanian juga menduga seperti itu. Apalagi melihat tingkah Salimar yang bersembunyi di belakangnya. Namun dugaan itu segera hilang, saat Aldof semakin dekat dengan mereka. Casvanian bisa melihat raut gelisah dan khawatir di wajah pria itu.
"Kalian sudah pulang?" tanya Aldof sebagai sambutan untuk keduanya.
Casvanian semakin waspada. Wajah Aldof yang pucat juga kegelisahan yang tergambar jelas di wajah tuanya, membuat Casvanian bertanya-tanya di dalam hati. Bukannya menjawab pertanyaan Aldof yang terkesan basa-basi, Casvanian justru balik bertanya pada pria tersebut.
"Apa yang terjadi, Aldof?" Pikiran buruk mulai memenuhi kepala Casvanian.
Aldof hendak mengatakan semuanya. Namun sudut matanya menemukan sang putri yang masih memejamkan matanya dengan tubuh gemetar samar. Membuat Aldof mengurungkan niatnya tersebut. Aldof memberi isyarat pada Casvanian untuk membawa Salimar masuk ke rumah mereka.
Casvanian segera memahami hal itu. Dia menarik tangan Salimar dan menggandengnya masuk ke rumah. Mengikuti Aldof yang terlah lebih dulu masuk ke rumah.
Salimar membuka kedua matanya perlahan. Dia heran, saat tak mendengar ceramah dari sang ayah seperti biasanya. Padahal Salimar sudah ketakutan lebih dulu. Namun demikian Salimar bersyukur. Gadis itu menghela napas lega.
"Syukurlah ... tak ada pidato panjang yang harus aku dengarkan dari Ayah," lirih Salimar merasa beruntung.
Namun Casvanian masih bisa mendengarnya. Pria itu tersenyum kecil. Merasa lucu dengan tingkah gadis itu.
"Konyol sekali," sindir Casvanian menohok.
Sontak saja, Salimar menatap tajam pria itu dengan mata yang berkobar penuh amarah. Salimar tak terima diejek oleh pria bodoh seperti Casvanian.
"Kau bilang aku konyol? Huh, apa kau tak bercermin? Lihat dirimu sendiri, bodoh!" hina Salimar sinis pada pria yang sudah meremehkan dirinya.
"Salimar ..."
Suara ayahnya yang bernada memperingatkan, membuat Salimar seketika menutup mulut. Namun matanya masih menyorot tajam ke arah Casvanian.
Ketiganya kini duduk di ruang tamu. Casvanian yang pertama kali membuka suara.
"Apa yang terjadi?" tanya Casvanian langsung.
Aldof gelisah. Ada perasaan bimbang yang menggelayuti hatinya. Melihat Aldof yang tak tenang duduk di kursinya, Casvanian kembali mengucapkan sesuatu.
"Katakan, Aldof. Jangan menyembunyikan apapun dariku. Jika itu masalah serius, maka–"
"Orang dari seberang sudah datang ke sini. Mereka sudah tiba kemarin dan sekarang mereka tengah mencari dirimu," sergah Aldof memotong ucapan Casvanian.
Seketika pria itu membeku di tempatnya. Casvanian sudah menduga hal ini akan terjadi. Namun dia tak menyangka, bahwa waktunya begitu sempit. Dia pikir masih punya waktu beberapa hari lagi untuk menyusun rencana menghadapi mereka.
"Kalau begitu, kita tak bisa lagi menunda rencana." Casvanian menoleh ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. "Salimar ... menikahlah denganku sekarang," pinta Casvanian tegas.
Salimar terbelalak, mendengar ucapan Casvanian. Emosi gadis itu tersulut dengan cepat. Berdiri dari kursinya, Salimar murka.
"Aku tidak mau! Jangan harap kau bisa menikah denganku. Sampai kapanpun aku tak akan pernah mau menikah denganmu! Brengsek!" Salimar menolak keras keinginan Casvanian.
Melihat putrinya yang berbicara kasar. Aldof memperingatkan Salimar. Aldof merasa malu, karena tak becus mendidik Salimar. Dia merasa telah gagal untuk merawat anak semata wayangnya itu.
"Salimar ... jaga bahasamu. Jangan bertingkah seperti–"
"Apa? Seperti apa, Ayah? Apa Salimar harus terus menuruti semua perkataan Ayah? Apa Salimar tak boleh memiliki keinginan sendiri?" cerca Salimar memotong ucapan ayahnya.
"Bukan begitu maksud Ayah, Salimar." Aldof melembutkan suaranya.
"Lalu apa? Dari dulu Salimar selalu menuruti keinginan Ayah. Bahkan saat Ayah melarang Salimar untuk bergaul dengan pemuda di daerah sini, tapi apa yang Salimar dapatkan? Ayah selalu saja–"
Perkataan Salimar terpotong oleh dobrakan keras di pintu. Seketika pintu depan rumah itu lepas dari engselnya. Kemudian masuklah beberapa pria bertelanjang dada ke rumah tersebut. Tampang mereka sangat ganas.
Seketika itu Salimar meloncat ke arah pangkuan Casvanian. Gadis itu terkejut dan bergetar ketakutan. Salimar merasa hidupnya tak baik-baik saja sejak bertemu dengan pemuda ini. Bahkan ini belum setengah hari berlalu. Namun Salimar harus dihadapkan pada situasi yang hampir sama, dua kali.
Casvanian segera mendekap erat tubuh Salimar. Tatapan tajam pria itu tertuju kepada para tamu tak diundang. Rahang Casvanian mengerat keras. Sementara Aldof beringsut di atas kursinya.
"Apa kalian tak punya sopan santun?!" Casvanian berdesis tak suka pada mereka.
Mendengar teguran itu, mereka segera berpaling pada Casvanian. Sejenak mereka terdiam, sebelum menyerigai kecil.
"Oh ... ternyata ada Tuan Muda di sini. Maafkan atas kelancangan kami, Tuan Muda. Kami tak tahu kalau anda juga ada di sini," sahut salah seorang dari mereka dengan sinis.
"Oreon," desis Casvanian penuh kebencian pada pria itu.
Oreon tersenyum sinis memandang Casvanian dan juga Salimar yang ada di pangkuannya.
"Tuan Muda, lebih baik kau serahkan gadis yang ada di pangkuanmu itu padaku. Aku tak ingin ada pertikaian tak penting yang terjadi di sini," celoteh Oreon dengan enteng.
Mata Casvanian berkobar. Seakan mampu membakar seluruh yang ditatap olehnya. Jika tatapan bisa membunuh, kemungkinan besar orang-orang asing itu telah mati terkapar di sana.
"Itu tidak akan pernah terjadi. Langkahi dulu mayatku, jika kau ingin mengambil Salimar," sergah Casvanian dingin.
"Kalau itu yang kau inginkan, Casvanian. Maka jangan salahkan aku. Aku tak akan segan lagi untuk membunuhmu!" Oreon memberikan isyarat dengan lambaian tangan. "Bunuh dia!" seru Oreon memberikan perintah.
Sekelompok pria itu segera menyerbu Casvanian. Pertarungan tak lagi terelakkan. Casvanian menurunkan Salimar dan menyembunyikan gadis itu di belakang tubuhnya. Sementara dia menghadapi para pria dari seberang.
Kekuatan mereka seimbang. Namun Casvanian adalah keturunan murni dari bangsawan kuno negeri mereka. Jadi dia memiliki kekuatan rahasia yang lebih kuat dibandingkan mereka.
Menghadapi lima orang sekaligus, tak membuat Casvanian lelah. Hanya saja dengan adanya Salimar dan Aldof, perhatian Casvanian terpecah. Apalagi Oreon mengambil kesempatan untuk menyeret Salimar, disaat dirinya tengah bertarung dengan tiga orang lainnya.
"Lepaskan aku! Aku tidak tahu apapun. Lepaskan!" teriak Salimar saat memberontak dari Oreon.
Aldof segera berlari ke arah Salimar. Saat dia melihat putrinya itu diseret oleh pria bertelanjang dada yang memakai ikat kepala hitam. Aldof berusaha untuk melepaskan Salimar dari cengkraman pria itu. Dengan seluruh kekuatannya sebagai manusia biasa, Aldof tak menyerah sedikitpun.
"Lepaskan dia! Mau kau bawa kemana anakku? Lepaskan atau aku akan membunuhmu, bajingan!" seru Aldof marah.
Aldof meraih tangan Salimar yang dekat dengan dirinya. Menarik Salimar ke arahnya. Namun Oreon segera menyentak kembali tubuh Salimar hingga terjatuh ke arah pria itu. Oreon menatap Aldof penuh penghinaan.
"Jangan ikut campur, manusia busuk! Lebih baik kau pergi, jika tak ingin mati sia-sia di sini," usir Oreon memaki Aldof dengan kejam.
Aldof tak menyerah. Dia terus saja mengejar Salimar yang ditarik ke luar rumah oleh Oreon. Bahkan pria baya itu hampir terjatuh saat tersandung batu ketika berlari mengejar mereka.
"Ayah! Ayah! Tolong aku, Ayah!" teriak Salimar diantara ketakutan yang menyelimuti gadis itu.
"Salimar! Jangan bawa putriku! Kembalikan dia. Salimar!" Aldof terus berlari dengan kaki yang berdarah.
Casvanian berhasil mengalahkan semua pria itu. Mengedarkan pandangannya, dia mencari keberadaan Aldof dan Salimar. Suara teriakan Aldof, membuat Casvanian bergegas keluar rumah. Dia melihat Oreon yang menyeret Salimar beserta kedua anak buahnya.