Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 : Tania Diterpa Masalah Baru

Hari itu, pagi terasa lebih berat dari biasanya untuk Tania. Di tengah semilir udara sejuk yang biasanya menjadi penghibur, ia merasa napasnya berat. Surat-surat yang ia buka dari kotak pos menambah beban pikiran. Salah satunya, surat peringatan dari bank yang menjadi tamparan keras. Dalam bahasa formal, mereka mengancam akan menyita rumahnya jika utang yang telah jatuh tempo tidak segera dilunasi dalam waktu satu bulan.

Tania memegang surat itu dengan tangan gemetar. Rumah ini adalah tempat dia tumbuh besar, tempat kenangan manis keluarganya bersemi. Sekarang, ancaman kehilangan rumah itu menjadi nyata, dan ia merasa tidak berdaya melawan situasi ini. Ia menatap ruang tamu rumahnya, ruangan sederhana tapi penuh kenangan. Dindingnya masih dihiasi foto-foto keluarga, tanda kehidupan bahagia yang kini terasa seperti bayangan jauh.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisiknya pelan.

Tangannya memijat pelipisnya yang mulai berdenyut karena stres. Setelah ayahnya jatuh sakit beberapa bulan lalu, keadaan keluarga mereka perlahan-lahan runtuh. Semua tabungan telah habis untuk biaya rumah sakit dan pengobatan. Ibu Tania, yang dulunya membantu keuangan keluarga dengan membuka usaha katering kecil-kecilan, sekarang lebih fokus merawat suaminya di rumah sakit. Semua tanggung jawab keuangan kini berada di pundak Tania, dan beban itu terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

---

Tania duduk termenung di meja makan, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari solusi dengan memeriksa kembali pemasukan dari proyek desain yang tengah dikerjakannya bersama Dinda. Tapi, meskipun proyek itu memberikan penghasilan yang cukup baik, jumlahnya masih jauh dari cukup untuk melunasi utang keluarga.

“Aku tidak punya banyak pilihan,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Ia memutuskan untuk mengambil langkah yang paling ia hindari selama ini: menjual barang-barang berharga milik keluarganya.

Ia memulai dengan memeriksa gudang kecil di rumahnya. Di sana, ia menemukan berbagai barang yang disimpan selama bertahun-tahun—meja antik peninggalan kakek-neneknya, perhiasan tua milik ibunya, dan koleksi keramik unik yang pernah dibeli ayahnya saat bepergian. Tania memandang barang-barang itu dengan perasaan bercampur aduk. Barang-barang itu bukan sekadar benda mati, melainkan simbol kenangan dan cinta keluarga mereka. Namun, dalam situasi seperti ini, kenangan sepertinya harus dikesampingkan.

Dengan hati berat, Tania mengambil foto barang-barang itu dan mulai mengunggahnya ke situs jual beli online. Ia menuliskan deskripsi barang dengan detail, mencoba menarik perhatian pembeli. Setiap kali mengetik, matanya mulai basah. Rasanya seperti ia melepaskan bagian dari dirinya sendiri.

“Semoga ada yang mau membelinya dengan harga layak,” ujarnya pelan.

---

Beberapa hari berlalu, dan respons dari para pembeli mulai berdatangan. Namun, kebanyakan dari mereka memberikan tawaran yang jauh di bawah harga yang Tania harapkan. Salah satu pembeli bahkan mencoba menawar perhiasan tua ibunya dengan harga yang sangat rendah, seolah tidak menghargai nilai emosional barang itu.

“Maaf, tapi ini terlalu rendah,” tulis Tania dalam balasannya, meskipun dalam hati ia tahu ia tidak punya banyak pilihan.

Salah satu koleksi keramik ayahnya akhirnya terjual, tapi harganya hanya cukup untuk menutup sebagian kecil dari tagihan yang harus dibayar. Melihat angka-angka di rekening banknya yang tak juga bertambah signifikan, Tania merasa semakin putus asa. Ia mulai meragukan keputusan untuk menjual barang-barang itu. Apa gunanya jika hasilnya tidak sebanding dengan pengorbanan yang ia lakukan?

Di tengah semua itu, proyek desain bersama Dinda menjadi satu-satunya pengalih perhatian. Meski sibuk dengan pekerjaannya, pikiran Tania terus kembali pada ancaman kehilangan rumah dan kondisi ayahnya di rumah sakit. Semua ini terasa seperti lingkaran masalah yang tidak pernah berujung.

---

Malam itu, setelah seharian bekerja keras, Tania kembali ke rumah dengan tubuh lelah. Ia duduk di ruang tamu, menatap tumpukan tagihan yang tersusun rapi di meja. Semakin ia melihatnya, semakin ia merasa putus asa. Setiap angka di tagihan itu terasa seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan ia semakin dekat dengan kehilangan segalanya.

Tania memandangi foto keluarganya yang terletak di meja. Foto itu diambil saat liburan terakhir mereka ke pantai, sebelum ayahnya jatuh sakit. Dalam foto itu, mereka semua tersenyum bahagia, tanpa menyadari betapa cepat hidup bisa berubah. Air mata mulai mengalir di pipi Tania, dan ia tidak lagi berusaha menahannya. Ia membiarkan dirinya menangis, melepaskan semua rasa frustrasi yang telah ia pendam selama ini.

“Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku benar-benar tidak tahu lagi,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tangis.

Ia merasa begitu sendirian, meskipun ia tahu keluarganya juga merasakan beban yang sama. Tapi sebagai tulang punggung keluarga, ia merasa bertanggung jawab untuk menemukan solusi. Malam itu, Tania menangis hingga ia tertidur di sofa, kelelahan secara fisik dan emosional.

---

Pagi berikutnya, Tania terbangun dengan kepala yang masih berat. Matanya bengkak akibat tangisan semalam, dan tubuhnya terasa lemas. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk bangkit. Meski harapannya tipis, ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini, apa pun risikonya.

Hari itu, Tania mencoba menghubungi beberapa orang yang ia kenal, mencari peluang baru untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Salah satunya adalah Dinda, yang selama ini menjadi mentor sekaligus teman baiknya dalam dunia desain interior. Tania tidak ingin mengungkapkan masalah pribadinya terlalu banyak, tetapi ia berharap Dinda bisa membantunya menemukan lebih banyak pekerjaan.

“Dinda, kalau ada proyek lain, sekecil apa pun, tolong kabari aku, ya,” katanya dalam percakapan telepon mereka.

Dinda tampak mengerti, meskipun ia tidak menanyakan lebih jauh. “Tentu, Tan. Aku akan usahakan. Jangan ragu menghubungiku kalau butuh bantuan.”

Mendengar respons itu, Tania merasa sedikit lega. Setidaknya, ia masih punya seseorang yang peduli padanya.

---

Sementara itu, di tempat lain, Galih, pria yang pernah ditemui Tania di proyek desain, secara tak sadar mulai memikirkan Tania. Dalam pertemuan pertama mereka, Galih sudah merasa ada sesuatu yang berbeda dari wanita itu. Tidak seperti orang-orang di sekitarnya yang selalu berusaha mendekatinya karena harta, Tania tampak tulus dan fokus pada pekerjaannya.

Di tengah tekanan keluarga yang memintanya untuk segera menikah, Galih mulai memikirkan rencana yang aneh: menjadikan Tania sebagai istri kontrak untuk menyelesaikan masalahnya. Meski ide itu terasa tidak masuk akal, Galih tahu bahwa ia membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya, dan Tania tampak seperti pilihan yang tepat.

Namun, ia menyadari bahwa ini bukan keputusan yang bisa diambil begitu saja. Ia harus mencari cara untuk mendekati Tania lebih jauh dan meyakinkannya tanpa membuat wanita itu merasa diperalat. Galih tahu ini akan menjadi tantangan, tetapi ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi tekanan yang ia hadapi.

--

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel