Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 : Galih dan Tekanan Keluarga

Galih duduk di ruang kerjanya yang luas, di kantor perusahaan keluarga yang megah. Pemandangan kota Jakarta yang sibuk tampak jelas dari jendela besar di balik meja kerjanya. Ruangan itu tertata rapi, penuh dengan buku-buku manajemen dan laporan keuangan yang tersusun rapi. Meja kerjanya sendiri, meskipun tidak besar, terlihat sangat elegan dengan kursi kulit hitam yang nyaman.

Sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, Galih sudah mencapai banyak hal yang diimpikan orang seusianya. Pada usia 29, ia sudah memimpin perusahaan keluarga yang bergerak di bidang manufaktur dan distribusi bahan bangunan. Laporan keuangan perusahaan selalu menunjukkan angka positif, dan hampir setiap tahun, perusahaan ini mencatatkan kenaikan yang signifikan. Galih adalah orang yang pekerja keras, sangat fokus pada karier dan masa depannya. Namun, di balik kesuksesannya itu, ada satu hal yang selalu mengusik pikirannya—tekanan yang datang dari keluarganya, terutama dari ibunya.

Hari itu, seperti biasanya, Galih disibukkan dengan rapat-rapat bisnis, presentasi untuk investor, dan evaluasi proyek-proyek perusahaan. Tetapi, semua itu terasa tidak begitu berarti saat ia mendapat telepon yang sangat penting, yang datang dari ibunya.

---

Saat ponselnya berdering, Galih hanya melihat nama "Ibu" yang muncul di layar. Ia menghela napas, sedikit ragu untuk mengangkatnya. Galih sudah terbiasa dengan telepon-telepon yang datang dari ibunya, dan sebagian besar percakapan mereka selalu berakhir dengan percakapan yang sama. Tentang bisnis, tentu saja, tapi lebih sering lagi tentang kehidupan pribadinya—terutama tentang pernikahan.

“Galih, ibu ingin bicara,” suara ibunya terdengar di ujung telepon dengan nada yang sangat serius.

“Ibu, ada apa lagi?” Galih mencoba terdengar tenang, meskipun di dalam dirinya ia sudah bisa menebak arah percakapan ini.

“Ibu sudah berbicara dengan pengacara keluarga,” suara ibunya terdengar lebih berat. “Seperti yang ibu katakan sebelumnya, kamu harus menikah sebelum ulang tahunmu yang ke-30, jika tidak, warisan perusahaan ini akan beralih ke adikmu, Andi.”

Galih menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Ini bukan kali pertama ibunya mengingatkan hal ini, tetapi hari ini terasa lebih berat. Seperti ada beban tambahan yang harus ia tanggung.

“Bu, kita sudah bahas ini berkali-kali. Saya tidak akan menikah hanya karena alasan warisan,” jawab Galih, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. “Saya ingin menikah karena cinta, bukan karena tekanan.”

“Tapi kamu tahu, Galih, ini sudah menjadi ketentuan keluarga sejak dulu. Kamu adalah pewaris tunggal perusahaan ini, tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi. Ini adalah tradisi yang sudah berlangsung lama. Ibu tidak ingin perusahaan ini jatuh ke tangan yang tidak bisa mengelolanya dengan baik,” suara ibunya kembali terdengar lembut, meskipun tetap penuh dengan tekanan.

Galih meremas tangan di meja, merasa terjepit antara kewajiban keluarganya dan keinginannya sendiri. Ia sudah lama tahu bahwa warisan perusahaan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, ia tidak pernah membayangkan bahwa ketentuan ini akan menjadi batu sandungan terbesar dalam hidupnya.

---

Galih adalah tipe orang yang selalu terfokus pada tujuannya. Sejak muda, ia dididik untuk menjadi seorang pemimpin. Ayahnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu adalah sosok yang keras, selalu menuntut yang terbaik, dan menekankan pentingnya keluarga dan bisnis. Tidak ada ruang untuk kegagalan, tidak ada ruang untuk kesalahan. Galih tumbuh besar dengan tekad kuat untuk membuat perusahaan ini lebih besar, lebih sukses, dan lebih dihormati.

Namun, di balik kesuksesan itu, ada bagian dari hidupnya yang terkadang terasa kosong. Sejak lulus kuliah, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada dengan teman-temannya. Hubungannya dengan wanita pun hampir tidak ada. Ia merasa tidak punya waktu untuk itu, apalagi untuk memikirkan pernikahan. Semua yang ada dalam pikirannya adalah bisnis dan karier.

Galih tahu bahwa ibunya ingin melihatnya bahagia, tetapi ia juga tahu bahwa ibunya sangat terikat dengan tradisi keluarga. Tidak ada yang lebih penting bagi ibunya selain memastikan perusahaan tetap dalam kendali keluarga mereka. Dan untuk itu, ia merasa bahwa menikah adalah jalan satu-satunya agar Galih bisa memenuhi ekspektasi itu.

Galih menggigit bibir bawahnya, merasa terhimpit oleh pilihan yang ada. “Jadi, jika saya tidak menikah, saya harus menyerahkan perusahaan ini?” tanyanya, suara penuh penekanan.

“Itulah yang akan terjadi, Galih. Kamu tahu itu, kan?” jawab ibunya dengan nada yang tegas, tapi tidak bisa menutupi keprihatinan yang terdengar di suaranya. “Ini bukan hanya soal warisan. Ini soal masa depan keluarga kita.”

Galih terdiam sejenak, meresapi kata-kata ibunya. Namun, perasaan cemas dan tidak nyaman semakin menguasainya. Ia tidak ingin menikah hanya untuk memenuhi kewajiban, untuk mendapatkan haknya sebagai pewaris perusahaan. Menikah adalah keputusan besar, bukan hanya sekadar langkah untuk mengamankan masa depan finansial.

---

Setelah percakapan dengan ibunya berakhir, Galih kembali duduk di kursinya. Kepalanya pening. Ia tahu bahwa ibunya hanya ingin yang terbaik, tetapi ia merasa tertekan. Menikah hanya karena ketentuan warisan bukanlah hal yang ia inginkan. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin kehilangan perusahaan yang telah menjadi bagian besar dari hidupnya.

Ia mengingat beberapa hubungan yang pernah ia jalin dengan wanita-wanita yang ditemuinya di dunia kerja. Namun, semuanya berakhir begitu saja. Mungkin karena ia tidak bisa memberikan komitmen penuh, atau mungkin karena ia lebih memilih untuk fokus pada bisnis daripada pada hubungan pribadi. Ia selalu merasa bahwa waktu untuk cinta akan datang nanti, setelah semuanya berjalan lancar. Tapi sekarang, masalah itu datang dengan cara yang berbeda. Menikah atau kehilangan perusahaan? Itu adalah pilihan yang sulit.

“Apakah aku harus menikah dengan seseorang hanya untuk memenuhi syarat itu?” Galih bertanya pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jawaban dari pertanyaan itu bukanlah jawaban yang mudah. Ia ingin hidup sesuai dengan pilihannya sendiri, bukan karena tuntutan keluarga yang mengikat.

Malam itu, setelah menyelesaikan beberapa tugas pekerjaan yang harus diselesaikan, Galih melangkah keluar kantor. Angin malam yang sejuk menyambutnya. Pikirannya terasa semakin kacau, dan ia merasa seolah-olah tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Ia tahu bahwa ia harus segera mengambil keputusan, tetapi keputusan itu tidak akan mudah.

Apakah ia akan memenuhi keinginan ibunya dan menikah dengan siapa saja yang dianggap pantas? Atau ia akan menanggalkan tanggung jawabnya sebagai pewaris perusahaan dan menjalani hidup sesuai dengan keinginannya sendiri?

---

Ketika Galih sedang berjalan menuju mobilnya di area parkir kantor, ponselnya berbunyi. Itu adalah pesan dari temannya, Rio, seorang pengusaha muda yang juga sahabat dekat Galih. Rio mengajak Galih untuk bertemu malam ini, berbicara tentang hal-hal yang lebih santai—tentang bisnis, hidup, dan segala sesuatu yang terjadi di dunia mereka.

Galih memutuskan untuk memenuhi ajakan Rio. Mungkin saja ini bisa menjadi kesempatan untuk melepas penat dan sedikit mengalihkan pikirannya. Di tengah perjalanan, ia berpikir sejenak. Tak disangka, pertemuan malam ini mungkin saja bisa memberinya pencerahan tentang arah hidupnya. Ia perlu waktu untuk merenung—untuk menentukan jalan yang akan diambil, antara menjalani hidup sesuai ekspektasi orang tua, atau mengejar impian yang ia inginkan.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel