Bab 9 Menendang Kingkong dari Pandangan
Bab 9 Menendang Kingkong dari Pandangan
“Haredang! Panas! Panaas!” gerutu Almera.
Almera melangkahkan kakinya ke arah dapur. Ia sangat kehausan, ia lupa meminta Bik Rina mengambilkan minuman untuknya.
Alhasil, dirinya yang harus mengambil sendiri. Dan tak setetes pun air keluar dari dispenser itu.
"Mengapa harus seperti ini?" kata Almera, ia mengusak kepalanya pelan, sungguh kesialan yang luar biasanya.
Air yang seharusnya mengalir di dispenser, ternyata tak bisa ia alirkan. Tentu saja karena galon yang berisi air nya kosong. Ia kesal, bagaimana Bik Rina se-teledor ini.
Ia membalikan badanya, ia sangat haus. Almera tak mungkin mengangkat sebuah galon yang mungkin sangat berat, dan akan melukai lengan lentiknya.
"Em ... pak Toni di mana, ya?" guman Almera. Ia meletakan telunjuknya di depan dagu, tanda ia sedang berpikir.
Seperti nya Almera tak melihat sosok supir pribadi ayahnya sedari tadi. Apa pak Toni sedang keluar? Almera mendengus lagi, dan lagi.
Srek! Tiba-tiba bulu kuduk Almera merinding. Dia seperti mendengar tapak besar, seperti Gorilla.
Almera menepuk dahinya. Sepertinya, karena panas yang begitu menyiksa dirinya, dia mulai berhalusinasi.
“Gorilla dari Hong Kong. Astaga! Kenapa aku berpikir yang tidak-tidak,”
Almera memutuskan untuk pergi ke kamar untuk meredakan panas tubuhnya, mandi sepertinya tidak terlalu buruk.
Sejenak, ia melihat ke arah kulkas. Dia tahu, ada beberapa botol air dingin, yang biasanya disediakan Bik Rina untuk ayahnya.
Namun, Almera menggeleng. Dia batalkan niat untuk mencoba air minum itu. Almera juga tak menyukai hal-hal yang dingin. Air dingin, bukan solusi yang baik untuk kerongkongannya.
Jreng! Tiba-tiba sesosok hitam besar terlihat di matanya. Almera terkejut bukan kepalang.
"Siapa kamu!" pekik Almera. Baru saja ia membalikan badannya, tapi sosok berkulit hitam itu menganggu penglihatan dirinya.
Almera mendengus, ia menatap tajam sosok yang berani masuk di rumah mewahnya. Meskipun rumah ayahnya, tetap saja kan rasanya tidak sopan.
Almera memindai lelaki ini. Dan dia ingat! Ini lelaki yang sok heroik menawarinya tumpangan di depan rumah sakit beberapa waktu lalu. Tidak salah lagi.
Dan lelaki ini pun tampak terperangah. Tentu saja, sadarlah Samson, bahwa perempuan di foto yang ditunjukkan Pak Arya ternyata bukan peri lemah lembut, melainkan Mak Lampir judes.
"Kenapa kamu bisa berada di sini!" pekik Almera kesal. Ia bergidig melihat mata belo, yang tentu saja ia pernah melihat mata itu sebelumnya.
"Astaga. Bisa pergi dari rumah saya sekarang?" kata Almera penuh penekanan.
Lelaki ini gemetar. Dan Almera yang tadi murka, nyaris saja tertawa.
Lelaki badan besar dengan kulit seperti pantat penggorengan ini ternyata bukan lelaki kriminal. Ah, iya! Dia kemarin membawa galon kan? Barangkali, dia adalah lelaki tukang galon suruhan ayah, kata Almera dalam hati.
Tapi, Almera jengah juga. Samson sedari tadi hanya ketakutan. Mundur dua langkah, dari posisinya semula.
Ia kesal, karena sosok di hadapannya hanya diam memandangi dirinya. Almera tahu, ia sangatlah cantik, tapi di tatap oleh sosok itu membuat dirinya mual seketika.
"Apa kau tuli, ha!" cetus Almera. Ia menyuarakan suaranya, menunjuk sosok itu dengan telunjuk lentiknya, membuat mata belo itu sedikit membulat.
"S-saya ta--"
"Jangan banyak alasan, deh!" kata Almera. Ia berdecak melihat penampilan sosok di depannya.
Dibanding Lucky yang modis, sungguh seperti pinang dibelah kapak, namun satunya hancur berkeping-keping.
Almera tatap Samson. Celana bahan yang sepertinya sudah koyak dengan baju lengan pendek yang sudah kusam.
Almera bergidik. Oh My God! Bagaimana sosok di hadapannya bisa tersangkut di rumah mewahnya.
Dia rasakan, bau kelelakian yang sangat kuat. Dan dia meremang. Kebersihan yang di jaga di rumahnya akan terkotori jika lelaki itu masih saja berada di sana.
"Kamu sekarang sebaiknya pergi dari sini. Saya anggap, kamu tukang galon yang lagi membawakan galon minuman, lalu pamit minta uang dengan ayah saya,” Almera mengoceh tiada henti.
Benar, jika foto ternyata menipu. Dia bukan gadis lembut. Tapi, memang sangat cantik. Lebih cantik dari fotonya. Samson berkata dalam hati.
“Eh, masih budeg ya? Saya bilang, cepat tinggalkan rumah ini! Kamu hampir saja membuat aku jantungan. Kupikir tadi Gerandong atau Buto Ijo,"
Samson - sosok di depan Almera hanya mampu menahan rasa pelik di hatinya. Ia merasa terhina dengan semua kata yang terucap dari bibir tipis Almera, tapi ia juga sadar dirinya siapa.
"Apa kamu tak mengerti juga?" tanya Almera. Ia melipat kedua lengannya, menatap Samson dengan sebelah alis terangkat.
"Maaf, saya akan pergi sekarang," kata Samson rendah. Ia membungkukkan tubuhny di depan Almera. Ia tak mampu lagi melihat kecantikan Almera yang terlihat sangat cantik aslinya.
Samson berpikir, bagaimana pak Arya bisa menjodohkan putrinya yang sempurna itu dengan dirinya, hanya si tukang galon yang sangat kumal.
"Bagus." Almera memalingkan kepalanya, menggeser dirinya, memberi jalan untuk tubuh besar Samson.
Tanpa berniat lagi menoleh, Samson meninggalkan Almera dalam diamnya. Kedua tangannya mengepal, tapi hatinya tak mampu berbuat apapun.
"Sebentar!"
Almera teringat sesuatu, ia membalikan badannya, melihat bahu tegap Samson, menatapnya kagum, sebentar.
"Sebelum kamu pergi, angkatkan galon itu," kata Almera tak tahu malu. Ia meminta tanpa menyematkan kata tolong dalam perkataannya.
Ia melihat bahu itu berbalik. Almera segera memalingkan badannya, tak mau di lihat menatap sosok itu, meskipun hanya sebatas punggung.
"Di sebelah mana?" tanya Samson sabar. Ia sudah terbiasa di perlakukan seperti ini, ia berpikir, karena Almera cantik, jadi ia bisa semaunya memerintah dan menghina.
Samson memakluminya, tak semua orang dapat menganggap kehadiran dirinya itu. Jangankan Almera, anak-anak dari Ibu-ibu langganan galonnya juga sering berteriak. “Ma, takuuuut! Ada Kingkong!”
“Di sana! Kamu tidak lihat dispensernya di sana?”
Samson mengangguk, memberanikan menatap wajah tirus Almera dengan tatapan dalam. Namun, dia tidak melihat posisi dispenser di dapur maha luas rumah mewah itu.
"Ikuti saya," kata Almera. Ia masih dengan kedua lengan yang terlipat, dagu terangkat tanpa mau menurunkan bahkan sedetikpun.
Samson mengikuti dalam diam. Ia melihat sekeliling, luasnya rumah Arya membuatnya terpukau. Ia baru saja menginjakan kakinya di sini, tapi rumah ini seakan memberikan ia magnet untuk tetap berada di sini.
"Tuh, cepat kamu ganti," kata Almera. Ia menunjuk galon yang masih tersegel, tanpa melihat reaksi yang ditunjukan Samson.
"Baik, Mbak," kata Samson menurut. Ia segera mengambil galon kosong itu dan menggantinya dengan galon yang baru.
Dengan penuh kehati-hatian, Samson melakukan itu semua. Ia mengusap peluh yang meluncur di dahinya dengan baju lengan kanannya.
Almera yang melihat itu mengangkat kedua bahunya, menatap Samson dengan bergidik geli melihat itu.
"Kamu sungguh jorok sekali! Iss," cerca Almera. Ia menatap otot-otot Samsoj yang terawat, mungkin karena pekerjaannya yang mengharuskan dirinya bekerja keras.
Almera menggelengkan kepalanya, ia memutar bola matanya malas, kemudian meninggalkan Samson yang masih menatap dirinya heran.
"Apa tak ada yang lain, Mbak?" tanya Samson hati-hati.
Almera mengangguk dalam perjalanan menuju tangga yang mengubungkan ke kamarnya di lantai dua. Ia tak sekalipun menatap Samson di belakangnya.
"Baiklah, saya permisi, Mbak," kata Samson berpamitan. Almera hanya mengedikan bahunya malas.
"Tidak usah berpamitan juga, kali! Aku sudah ingin menendangmu pergi jauh,” kata Almera ketus.