Bab 10 Ternyata Ada yang Mau Panci Hitam
Bab 10 Ternyata Ada yang Mau Panci Hitam
Samson melanjutkan kegiatan sehari-harinya seperti biasa, mengantarkan galon-galon kepada pelanggan nya dengan senang hati. Kenangang diusir Almera sudah ia buang jauh-jauh.
Dia tak marah, karena maklum. Perempuan mana yang tak kaget, melihat dia tiba-tiba ada di rumahnya.
Dia juga tak sempat bilang, bahwa dia menjenguk Ayahnya Almera. Perempuan ini terlanjur mencap dirinya tukang galon yang menyetok galon di sana.
“Hem, lelaki ganteng itu lagi,” desis Samson getir.
Sejenak, ia lihati kulit legamnya, lalu melihat Lucky yang putih dengan sedikit kemerahan terbakar matahari, pertanda rajin olahraga. Sempurna! Batin Samson dalam hati.
Ia tak sengaja melihat lagi sosok Lucky yang sedang menikmati makanan di street food warung Pak Munajat. Samson berandai-andai, jika dirinya setampan Lucky tentunya dia akan cukup pede menerima tawaran Pak Arya.
Jika dirinya se-kaya Lucky dengan mobil mewahnya pasti ia akan dengan langsung bisa memikat hati dan paras cantik Almera.
Samson hanya bisa berandai-andai. Dirinya tak mungkin bisa melakukan itu semua. Ia hanya bisa pasrah dengan apa yang Tuhan berikan padanya. Begini saja, dia sudah bersyukur. Dia bisa membiayai ibunya hidup, sesekali berobat, di kampung sana.
Cukup dengan lamunannya, Samson di kejutkan dengan sosok wanita yang menatapnya penuh minat. Samson bergidig melihat tatapan manja yang bersinar di mata wanita itu.
Ting! Wanita itu mengedipkan matanya. Lalu menjulurkan lidahnya dengan sensual, membuat jantung Samson berdetak kencang.
Samson memalingkan wajahnya, selalu saja ia seperti itu jika bertemu dengan Bu Tate-- pelanggan setia warung pak Munajat. Bu Tate adalah seorang janda tua yang sepertinya tertarik pada Samson.
"Hei, tukang galon," pekiknya. Ia melambaikan tangannya, bermaksud agar Samson mendekati dirinya.
Samson ingin menolak, apalagi saat ia melihat mata Bu Tate yang berkedip tak beraturan membuat dirinya dirundung kata sabar.
"Ada perlu apa, Bu?" tanya Samson berusaha ramah. Ia akan bertamah-ramah kepada semua orang, meskipun orang itu berniat jahat sekalipun.
"Saya ingin memasang galon, air galon di rumah saya habis. Bisakah kamu mengantarkannya ke rumah saya, sekitar ... satu jam lagi?" kata Bu Tate penuh harap. Ia mengedipkan kedua matanya, terus menerus.
Kenapa lah Bu Tate ini, apa perempuan itu cacingan? Kata Samson dalam hati.
Samson sampai berpikir, jika bu Tate ini mempunyai riwatan penyakit cacingan, yang selalu saja berkedip-kedip tak beraturan.
Tap! Ditariknya tangan Samson, diremasnya sedikit telapak tangan liat itu.
Samson kaget bukan kepalang. Dengan tergesa, ia berusaha melepas tangan itu.
“Tenang aja, saya tidak terkena penyakit kulit, macam kadas atau panu, kok. Takut sekali, saya pegang,” kata Bu Tate kenes.
“Eh, bukan begitu, Bu. Saya hanya tidak enak, Bu,” kata Samson takut.
“Saya hanya mau menyerahkan uang galonnya. Ini!” kata Bu Tate seraya mengulurkan dua lembar uang lima ribuan.
“Oh, nanti saja, Bu Tate! Setelah galonnya datang, baru Ibu bayar,” tolak Samson sungkan.
“Eit, tapi benaran, lho. Galonnya diambil satu jam lagi,” pinta Bu Tate.
Samson akhirnya mengangguk." Baiklah, Bu, saya siap."
Bu Tate tersenyum ke arah Samson, Samson tergugu, ia mengusap tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Ia hanya tak mau terlibat dalam perbincangan ini, sungguh.
"Saya tunggu di rumah, ya, Mas," katanya. Ia membalikan badannya, setelah memberikan kedipan mata kanannya untuk Samson.
"Apa-apaan, ibu itu," guman Samson. Ia masih melihat sisi lain, tanpa mau melihat Bu Tate yang sepertinya menyukai dirinya.
Samson kembali berpikir, apa dirinya yang terlalu percaya diri? Apa Bu Tate memang seperti itu kepada semua orang yang ia temui? Mengingat, ada beberapa orang yang memiliki kelainan mata, yaitu matanya suka berkedip-kedip tak wajar.
Samson membalikan badannya, sebelum suara tadi mengalun sangat tak enak di pendengaran Samson. Ia tak membalikan badannya, ia masih menatap lurus ke depan.
"Bagaimana dengan nomormu, Mas? Bagaimana caraku untuk menghubungi dirimu," kata Bu Tate.
Samson refkeks membalikan badannya, menatap bu Tate yang semakin melebarkan senyumnya.
"Saya akan menanyakan alamat Ibu kepada pak Munajat saja," tolak Samson. Ia menolak dengan cara halus, dirinya tak mau menyakiti semua orang, apalagi pelanggannya seperti itu. Bagaimanapun, Bu Tate calon pelanggan barunya.
Namun, feelingnya tak enak, jika dia harus memberikan nomor telepon ke perempuan paruh baya ini. Entah kenapa. Tidak enak saja.
"Iss ... menyebalkan," gerutu bu Tate yang masih bisa di dengar Samson dengan agak keras.
"Cie ... Mas nya disukain ibunya, tuh," celetuk Lucky. Ia terkikik melihat tingkah manja Bu Tate kepada Samson.
"Masnya bisa aja. Bu Tate itu tetangga beda RT saya, Mas. Mudah-mudahan jadi pelanggan baru," kata Samson membalas. Ia tersenyum canggung, tak mempedulikan apa yang diucapkan Lucky barusan.
"Benar, loh, Mas. Mas harus hati-hati sama modelan ibu tadi," kata Lucky serius.
Samson hanya mengangguk ragu, ia juga berpikiran jika Bu Tate ada sesuatu, dan ia haruslah berhati-hati dengan itu. Tapi dirinya tak boleh berburuk sangka, 'kan?
"Saya akan berhati-hati, Mas. Terimakasih," kata samson. Ia mengangguk ragu, berjalan menjauhi stand pak Munajat.
"Lihatlah, betapa lugunya orang itu," gumam Lucky saat melihat kepergian Samson di depan matanya.
***
Lucky tersenyum dalam diamnya, ia mengenggam gemas stir kemudi mobil kesayangannya. Ia akan pulang ke rumahnya, tanpa sekalipun berharap.
[Terimakasih, Lucky atas tumpangannya.]
Lucky terus saja menatap pesan itu dengan senyuman mengembang. Ia gemas melihat percakapan chatnya bersama dosennya, Almera.
[Ok.]
Lucky membalas, singkat memang. JAGA IMAGE alias jaim.
Padahal, aslinya Lucky berteriak seperti seorang suporrter bola, berteriak dengan pukulan gemas di lututnya. Dia bahagia.
Rasanya akan berbeda jika ia dichat dosen mata kuliah lain, tapi jika chat Almera, jujur Lucky merasa sangat bahagia.
Ia melamun, membayangkan wajah cantik Almera yang sangat-sangat cantik. Jika Lucky tak mengetahui berapa umur Almera, mungkin ia akan bersiap layaknya pemuda yang memulai pendekatatan pada gadis umumnya.
“Aish, kenapa umur lagi, yang kubahas? Bukankah, aku dan Almera hanya terpaut beberapa tahun saja. Dia dosen muda dan aku mahasiswa nyaris abadi. Pas kan?”
Hidung mancung Almera masih saja berkeliaran di pikirannya. Lucky menyentuh hidungnya yang mancung, tapi tak terlalu mancung seperti Almera.
Ia semakin berangan-angan, jika dirinya bisa menikahi Almera, pasti akan mendapatkan keturunan yang sangat waw.
Lucky menggelengkan kepalanya pelan, senyumnya masih belum luntur, seakan tak mau meluturkan, meskipun Lucky pun heran mengapa dirinya bisa tersenyum hanya karena Almera.
Sikap ketus Almera memiliki makna lain, Almera akan berkali-lipat lebih cantik jika dirinya sedang marah, pikir Lucky.
"Ada apa denganku?" gumam Lucky.
Ia tak bisa menghapus bayangan-bayangan Almera di pikirannya. Ia tak tahu mengapa ia bisa memikirkan orang yang sudah memperlambat kelulusannya.
"Sepertinya aku kurang tidur," kata Lucky. Ia mengusak rambutnya hingga berantakan.
"Aku sudah gila, astaga." Lucky menggelengkan kepalanya ribut, ia memutuskan untuk tak terus melamuni Almera, seseorang yang jauh di atasnya.