Bab 11 Tante Horor yang Mau Buat Nyaman
Bab 11 Tante Horor yang Mau Buat Nyaman
“Almera, kenapa kamu cantik sekali? Itu pipi atau porselen, sih? Kenapa mulus sekali?”
Hidung mancung Almera masih saja berkeliaran di pikirannya. Lucky menyentuh hidungnya yang mancung, tapi tak terlalu mancung seperti Almera.
Ia semakin berangan-angan, jika dirinya bisa menikahi Almera, pasti akan mendapatkan keturunan yang sangat waw.
Lucky menggelengkan kepalanya pelan, senyumnya masih belum luntur, seakan tak mau meluturkan, meskipun Lucky pun heran mengapa dirinya bisa tersenyum hanya karena Almera.
Sikap ketus Almera memiliki makna lain, Almera akan berkali-lipat lebih cantik jika dirinya sedang marah, pikir Lucky.
"Ada apa denganku?" gumam Lucky.
Ia tak bisa menghapus bayangan-bayangan Almera di pikirannya. Ia tak tahu mengapa ia bisa memikirkan orang yang sudah memperlambat kelulusannya.
"Sepertinya aku kurang tidur," kata Lucky. Ia mengusak rambutnya hingga berantakan.
"Aku sudah gila, astaga." Lucky menggelengkan kepalanya ribut, ia memutuskan untuk tak terus melamuni Almera, seseorang yang jauh di atasnya.
Umur mereka berbeda. Prinsip Lucky awalnya tak mungkin menyukai seseorang yang lebih tua, apalagi itu Almera, sangat tak mungkin.
Namun, sekarang prinsip itu berbelok dengan alasan alay : dia dan Almera hanya terpaut beberapa tahun. Khusus Almera yang sangat menarik dan menawan.
"Ais. Almera ... keluar dari pikiranku!"
Lucky melupakan jika tadi ia berpesan kepada tukang galon, agar berhati-hati dengan seorang wanita, apalagi usianya berada di atasnya. Padahal, dia sendiri tertarik pada Almera.
“Aish, seperti menjilat ludah sendiri,” keluh Lucky pada dirinya sendiri.
***
Rumah asri yang sangat menyejukan. Samson mengetuk pelan pintu yang beraksitektur indah itu, dengan lengan berototnya.
Badannya tegap dengan mata yang nanar menatap pintu indah. Dalam hati, Samson berharap Bu Tate tidak ada atau pergi ke mana.
Jadi, sewaktu-waktu dia bertemu dengan Bu Tate, dia bisa beralasan bahwa sudah ke rumah, tapi Bu Tate tak ada. Samson benar-benar dalam pusaran gundah.
Tok ... tok ... tok
"Masuk saja!"
Samson terkejut dengan teriakan itu, ia mengusap pelan peluh yang membasahi dahinya, membuka pintu dengan gerakan pelan.
"Sa--"
"Oh, kamu. Silahkan masuk," kata nya mempersilahkan Samson masuk.
Samson tentu terkejut, ia melihat Bu Tate-- orang yang sedang ia datangi rumahnya, memakai pakaian yang sungguh modis, meskipun usianya sudah melebihi.
"Terimakasih, Bu," kata Samson. Ia menundukan badannya sopan, ia juga tak mau melihat pakaian terbuka Bu Tate. Sebuah lingerie yang nyaris menerawang, memperlihat lekuk dalam yang ternyata tidak memakai ‘pengaman’.
Celana pendek di atas lutut dengan lingerie polkadot itu, membuat Samson bergidig melihatnya. Bu Tate sangatlah mengenal gaya – seperti anak muda saja, tak seperti dirinya, pikir Samson.
"Ada apa, Mas?" kata Bu Tate dengan suara yang terdengar menggelikan di telinga Samson.
Suara cempreng dengan nada-nada manja membuat Samson menggeleng tak suka, tapi apa boleh buat, ia harus menyegerakan tugasnya.
"Tidak, Bu."
"Oke," kata Bu Tate. Ia menelisik Samson, dari atas ke bawah, menatapnya penuh minat.
“Gelay! Yang begini, biasanya punyanya jumbo,” celoteh perempuan ini, seraya meneguk ludahnya.
“A ... apa, Bu?” tanya Samson, remang-remang, dia dengar suara Bu Tate yang tak jelas.
"Ah, tidak! Ya sudah, ayo kita ke dapur," kata Bu Tate. Ia melambaikan tangannya, mengajak Samson mengikuti dirinya dengan segera.
Samson menurut, ia juga tak mau terus berada di sini. Bersama Bu Tate yang sangatlah menggelikan, sok kemudaan.
"Saya tinggal sebentar, ya, Mas," kata Bu Tate. Samson kembali menganguk, ia segera menyimpan galon berisi air yang sedari tadi ia bawa-bawa.
Mengganti galon yang lama dengan galon yang baru, itulah tugas Samson selama ini. Asal bekerja, Samson dengan ikhlas menerimanya.
Samson meneliti dengan baik, ia mengusap galon yang sedikit kusam itu, sembari menunggu Bu Tate yang belum kembali sejak tadi.
Samson jadi bingung, dalam benaknya ia bertanya-tanya. Apa Bu Tate hanya tinggal di rumah mewah ini sendirian? Tanpa anak? Apa itu mudah dipercaya?
"Mas," kata Bu Tate. Samson dengan refleks membalikan badannya, melihat Bu Tate yang bersandar di tembok dekat pintu, dengan santainya. “Aku hot, Mas!”
Samson menaikan kedua alisnya, tak mengerti apa yang Bu Tate bicarakan, ia tak mengerti sama sekali.
"Mas Samson," rengeknya.
Samson semakin menyeritkan keningnya. Mengapa Bu Tate semakin menjadi? Ia semakin takut kepada sikap Bu Tate.
"Iya, bu? Kenapa?" tanya Samson pelan. Ia meraup udara sebanyak-banyaknya, dengan tangan yang saling bertautan.
Samson takut, apalagi dengan pakaian Bu Tate yang semakin membuat dirinya takut.
"Sini, Mas," ajak bu Teti. Ia mengulurkan lengannya di hadapan Samson. Samson hanya tersenyum saja, melihat tindakan Bu Tate.
"Saya sedang kesepian, Mas mau menemani saya?" bujuk Bu Tate. Dia pikir, lelaki yang berwajah pas-pasan ini pasti mau dengannya.
Bu Tate membuat gerakan-gerakan yang menjurus pada erotis. Dia tatap Samson dengan penuh kehausan.
“Bibirmu tebal sekali. Biasanya, yang seperti itu gampang pro-nya,” kata Bu Tate kembali memberikan kiasan.
Dia tidak tahu, jika Samson bukanlah lelaki brengsek, yang bisa saja berlabuh pada banyak tante, karena tubuhnya yang begitu atletis. Tidak! Samson tak sekali pun melakukan itu.
"Maksud Ibu ... apa?" kata Samson tak mengerti. Ia mengerutkan keningnya, saat Bu Tate yang semakin mendekat kearah tempat dirinya berdiri.
"Mas pasti pura-pura tidak paham, 'kan?" kata Bu Tate. Ia mengedipkan sebelah matanya, menatap Samson yang sepertinya kebingungan.
Bu Tate melorotkan satu tali lingerienya. “Ah, aku suka pemuda yang pura-pura suci. Biasanya, ahli membuat aku berdenyut-denyut. Argh! Sini, Mas!”
Samson ketakutan. Seperti melihat hantu.
"Saya benar tak paham, Bu. Apanya yang berdenyut-denyut. Saya mau pamit," Samson mundur, ia tak mau di dekati dengan cara seperti ini, Bu Tate yang semakin mendekat dan memegang lengannya dengan gesit.
Samson berusaha memberontak, tapi ia juga tak mengeluarkan tenaganya, ia masih ingat jika Bu Tate ini seorang wanita, yang harus ia hormati. “Lepaskan saya, Bu!”
"Ayo ikut saya, Mas," kata Bu Tate. Ia menggandeng tangan Samson paksa, ia tersenyum penuh arti, apalagi merasakan Samson yang akhirnya tak memberontak sama sekali.
Bu Tate berpikir jika Samson juga menginginkan dirinya, bukan hanya Bu Tate saja yang menginginkan itu, tak sia-sia usahanya, pikirnya. Padahal, lelaki ini sedang linglung. Antara menghormati wanita tua atau berontak, karena tak ingin dipegang-pegang.
"Saya harus pulang, Bu," kata Samson. Ia memegang lengannya yang di tarik Bu Tate menuju sebuah kamar di dekat dapur, hanya beberapa langkah dari dapur.
"Tidak. Kamu harus bersama saya dulu," kata Bu Tate memaksa. Ia menolehkan kepalanya, menyibak rambut sebahunya dengan gerakan slow mottion.
“Tidak, sa ...,”
“Ssut!” Bu Tate menempelkan telunjuknya tepat ke bibir Samson. “biar, aku bikin kamu nyaman. Mau kan?”