Bab 12 Saya Lelaki Baik-Baik
Bab 12 Saya Lelaki Baik-Baik
"Ayo ikut saya, Mas," kata Bu Tate. Ia menggandeng tangan Samson paksa, ia tersenyum penuh arti, apalagi merasakan Samson yang akhirnya tak memberontak sama sekali.
Bu Tate berpikir jika Samson juga menginginkan dirinya, bukan hanya Bu Tate saja yang menginginkan itu. Tak sia-sia usahanya, pikirnya.
Padahal, lelaki ini sedang linglung. Antara menghormati wanita tua atau berontak, karena tak ingin dipegang-pegang.
"Saya harus pulang, Bu," kata Samson. Ia memegang lengannya yang di tarik Bu Tate menuju sebuah kamar di dekat dapur, hanya beberapa langkah dari dapur.
"Tidak. Kamu harus bersama saya dulu," kata Bu Tate memaksa. Ia menolehkan kepalanya, menyibak rambut sebahunya dengan gerakan slow mottion.
“Tidak, sa ...,”
“Ssut!” Bu Tate menempelkan telunjuknya tepat ke bibir Samson. “biar, aku bikin kamu nyaman. Mau kan?”
“Apa maksud, Bu Tate? Apa ibu menganggap saya pemuda yang bisa melayani tante-tante,” selidik Samson.
Bu Tate terpana mendengar sergahan Samson. Bu Tate memindai wajah garang itu.
Mungkinkah dia salah sangka? Mungkinkah Samson adalah lelaki baik-baik?
“Apa kamu perjaka?” tanya Bu Tate.
Samson mengangguk. Bukannya mundur, Bu Tate malah kesenangan. Berarti, dia yang akan merasakan legitnya yang dipunya Samson untuk pertama kali.
“Oh, baguslah. Maaf, membuatmu kaget. Mari kita mulai dari nol, ha ha. Seperti isi bensin saja, ya?”
Samson mengernyitkan dahi. Dia masih menunduk, namun kali ini dia beranikan tatap wanita ini. Mencoba mencari tahu maksud perempuan ini.
“Kamu masih tak mengerti? Baik! Kamu masih muda, pasti hendak mencoba hal enak-enak itu, kan? Sementara aku adalah perempuan yang membutuhkan itu. Mari kita coba.”
“Tidak!” kata Samson tegas.
“Ini pasti menyenangkan. Percaya sama Tante, Sayang!”
"Saya har--"
"Cukup, saya akan membayar kamu, jika perlu," kata Bu Tate. Ia membalikan badannya, menatap Samson dengan dalam, mengikis jarak di antara mereka.
Mata belo' Samson terbelak, saat lengan yang semula di tarik Bu Tate kini bertengger di pinggang Bu Tate dengan sengaja, tentu oleh sang pemilik pinggang.
Samson tak mungkin melakukan itu semua, ia segera melepas paksa tangannya yang masih di timbun oleh lengan Bu Tate. Dia dorong Bu Tate.
"Saya harus pulang, Bu." Samson kembali menyeruakan suaranya, ia bergetar, ia takut.
"Kamu harus menemani saya, dulu, tukang galon!" pekik Bu Tate. Ia menyibak rambutnya lagi, memeperlihatkan kulit mulus terawat miliknya.
"Saya akan pu--"
"Diam." Bu Tate membungkam mulut Samson dengan lengan kirinya, ia berdiri beberapa centi di depan Samson, menatap tajam mata belo itu.
"Tapi saya ingin pu--"
"Pulang, pulang, pulang. Tak ada kata lain, ya!" kata Bu Tate marah. Ia semakin menjadi, mendekatkan dirinya, mengalungkan kedua tangannya di leher Samson.
"Lepaskan, Bu," kata Samson berusaha sabar. Ia melepas paksa lengan Bu Tate yang sembarangan bertengger di pundaknya.
"Iss," desis Bu Tate kesal. Ia mencebikan bibirnya, ia menarik paksa lengan Samson, membawanya ke dalam kamar, dengan paksa.
Jger! Ia tutup pintu tergesa. Lalu lingerie itu hendak ia buka.
“Astaga! Jangan Bu! Ini zina!” Samson gemetar. Dia berusaha untuk kabur dari kamar itu.
Bu Tate tak tinggal diam. Dia pegang pergelangan tangan Samson, lalu berusaha menyentuhkannya ke bagian sensitifnya. “Kamu cobain dulu!”
“Tidak!” teriak Samson.
Dia setengah ketakutan, setengah kasihan dengan Bu Tate. Dia jadi ingat dengan ibunya di kampung, yang mungkin seumuran Bu Tate. Bedanya, perempuan kota ini pandai berhias make up.
“Lepaskan!”
"Bisa diam tidak, kamu!" bentak Bu Tate. Ia berusaha menahan pergelangan tangan Samson yang tenaganya berkali lipat di atasnya membuat dirinya kewalahan.
"Maaf, Bu."
Samson berusaha melepaskan genggaman Bu Tate dengan paksa, menghempaskan lengan yang masih saja berusaha menggapai lengan Samson dengan cepat.
Brak! Kali ini, Samson terpaksa menendang bokong perempuan itu, hingga Bu Tate terjatuh ke belakang.
Kesempatan ini dimanfaatkan Samson untuk membuka pintu kamar itu. Dia segera berlari tunggang langgang.
"Tolong! Tolong!" pekik Bu Tate. Ia berusaha mengejar Samson dan berteriak seolah Samson yang bersalah di balik kejadian itu.
Bu Tate tak mungkin bisa terkalahkan begitu saja. Ia ditolak mentah-mentah oleh sang tukang galon! Membayangkan itu membuat kepala Bu Tate mendidih.
"Tolong!" Bu Tate terus berteriak, bak kesetanan. Ia melihat Samson yang sebentar lagi mendekati pintu rumahnya, membuka nya dengan tergesa.
Bu Tate tersenyum miring, inilah akibatnya jika seseorang berani menolak dirinya. "Tolong!"
Bu Tate terduduk dengan rambut yang sengaja di acak-acak olehnya, membuat beberapa bapak-bapak yang mendengar teriakan Bu Tate langsung memukuli Samson, selaku lelaki yang satu-satunya berada di sana.
"Tolong, pak!" kata Bu Tate dengan nada dibuat menjadi di sedih-sedihkan.
"Pria tak punya moral. Bagaimana bisa kamu melakukan itu pada tetangga kami!" cerca salah satu dari mereka yang memukuli Samson.
Samson hanya bisa menelungkupkan kepalanya di sela-sela tangannya, menangkis serangan bruntal yang membuatnya terjongkok seketika.
"Apa kau tak malu, hah!"
"Dasar tak tau diri."
"Sudah jelek, hitam, masih saja berulah!"
"Harusnya kamu sadar diri, tukang galon!"
***
Rumah Mewah berkonsep Mediterania
Rumah Arya, Pengusaha Restoran Martabak Kari
Arya masih beristirahat. Almera – anak tunggal bawelnya menyuruh dia banyak istirahat.
Lalu, bayangan Samson melesak. Entah kenapa, sedari tadi dia merasa ada sesuatu dengan lelaki ini. Samson, apa kamu baik-baik saja?
"Pak Tino, saya mau memerintahkan bapak, apa tidak masalah?" tanya Arya sopan. Ia membenarkan letak bantal di bawahnya, mengaturnya dengan nyaman.
"Saya bersedia, Tuan," kata pak Tino. Ia menundukan kepalanya, menghormati Arya selaku majikannya.
"Saya ingin bapak mencari siapa itu Samson. Dia yang sudah menolong saya waktu itu," kata Arya. Ia bisa melihat jika pak Tino mengangguk, keluar setelah berpamitan.
Sudah satu jam lamanya. Dia masih setia menunggu kabar dari Pak Tino.
Arya masih penasaran, mengapa Samson bisa menolak lamarannya untuk putrinya Almera. Ia masih tak yakin dengan apa yang Samson katakan tempo dulu.
Arya berpikir, Samson hanyalah malu mengakui itu. Dirinya terlalu polos dalam memberikan permintaan yang ia berikan tempo lalu.
"Mengapa dia bisa menarik sekali? Apalagi jika bersanding dengan Almera."
Arya memijat kepalanya pelan, rasa pening dan ngantuk datang bersamaan. Mungkin ini efek obat yang ia konsumsi.
Blip! Tiba-tiba Pak Tino mengiriminya sebuah video.
Bergegas Arya menelepon Pak Tino, setelah melihat video itu. Bagaimana, pak?" tanya Arya. Ia mendekatkan ponselnya pada daun telinganya.
"Samson dipukuli, Pak. Ini saya dapat videonya dari langganan pecel lele kita – Pak Munajat di taman street food. Katanya dia melecehkan perempuan ibu-ibu.”
"Apa!" pekik Arya. Ia tak percaya jika yang di bicarakan pak Toni itu benar adanya.
“Samson, benarkah seperti itu? Saya juga tak percaya. Tapi, katanya pemuda itu sudah lama mengincar Bu Tate, Pak,” kata Pak Tino.