Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Dua Mahluk Jangkung bagi Almera

Bab 8 Dua Mahluk Jangkung bagi Almera

"Iss ... sangat mengganggu kacamata ini," gerutu Almera. Melihat-lihat sekeliling jika ia menemukan sebuah kursi panjang untuk menyimpan buku-bukunya tapi sepanjang lorong ia tak menemukan satu pun kursi yang tersedia di sana.

"Eh."

Almera terhenti seketika, ia memejamkan matanya refleks saat sebuah tangan terulur dari sampingnya, mengambil kacamata yang sedari tadi ia gerutukan karena sangat menganggu.

Seorang lelaki tampan paripurna, yang menolong Almera itu adalah Lucky. Seorang lelaki yang saat itu berguman pada hatinya. “Cantik sekali perempuan ini. Andai ia menjadi milikku.”

"Selesai. Terima kasih ya," katanya. Almera tersadar, ia menoleh ke arah kirinya dengan kening berkerut.

“Lucky?”

"Sama-sama, Bu." Almera kembali dibuat terperangah, saat tumpukan buku di lengannya di renggut sosok di sampingnya. Membawa buku itu di tangannya, tersenyum manis ke arah Almera.

"Ngapain kamu, Lucky!" kata Almera garang, ia berusaha membawa tumpukan buku-buku itu dari lengan Lucky, tapi Lucky dengan sengaja menjauhkan itu darinya.

"Ibu simpan saja ini kacamata nya," kata Lucky. Ia menyodorkan kacamata milik Almera yang tadi ia lepaskan tanpa aba-aba, membuat Almera semakin bingung dengan kelakuan Lucky.

"Terimakasih, tapi--"

"Tapi apa, Ibu? Saya cuma mau membantu calon saya," kata Lucky dengan suara di buat-buat.

Ia terkekeh melihat ekspresi Almera yang horor saat mendengar kata-kata nya. “Ibu tambah cantik, jika marah begitu,”

"Jaga bicara kamu, ya, Lucky!" desis Almera.

"Saya hanya berbicara, Bu. Memangnya saya salah ... membantu calon istri saya?"

"Saya bilang jaga sikap kamu--"

"Tadi bicara, sekarang sikap. Saya jadi bingung. Jangan baper, ya, Bu."

"Kamu di bilangin malah ngelunjak, ya!" geram Almera.

Ia memutuskan untuk berjalan di depan Lucky, meninggalkan Lucky dengan tumpukan buku yang berat di lengannya. Kesal ia, tapi hatinya sedikit berbunga.

Lucky, mahasiswa jangkung dengan tinggi seratus delapan puluh dua centimeter. Tampan, dan terlihat dewasa. Satu lagi, hanya terpaut beberapa tahun saja dari Almera, yang dosen muda.

Mungkinkah, jika mereka bersama, maka itu akan baik-baik saja? Toh, keduanya tidak ada yang punya dan sama-sama dewasa.

“Gelay! Pikiran apa itu?” monolog Almera, seraya mempercepat langkahnya.

"Bu, kok saya malah di tinggalin, sih!"

"Bu, ibu mau tidak jadi istri saya," kata Lucky dengan tangan kanan yang memukul-mukul lututnya dengan gemas.

"Kurang ajar," gerutu Almera. Ia tak membalikan badannya, terlalu malas untuk menyahuti Lucky yang sangat menyebalkan.

"Ibu beruntung loh saya yang minta langsung. Banyak perempuan yang saya tolak mentah-mentah,"

"Diam kamu, Lucky!"

“Kalau saya diam, apa Ibu mau menerima? Atau haruskah saya mulai dengan menyapa Ibu dengan Almera saja. Atau mungkingkah saya panggil Dek?” Lucky tak mau kalah.

“Diam!” kata Almera kesal.

“Almera, sepertinya kamu kerepotan. Bagaimana jika aku antar?”

“In your dream! Mimpi aja, sana!” ketus Almera.

Bergegas, ia masuk ke dalam mobil. Lalu, ia pacu begitu saja, meninggalkan lelaki jangkung itu.

“Dasar perempuan cantik! Pasti sedang malu-malu kucing, tapi mau, kan?” guman Lucky.

***

Almera menginjakan kaki jenjangnya di teras rumah minimalis milik ayahnya. Ia menghela nafas, seperti tadi, kedua lengannya sangat kerepotan dengan buku dan tas.

Lucky menawarkan untuk mengantar dirinya, tapi Almera langsung menolak saat itu juga, tidak mungkin memberi izin Lucky masuk ke dalam rumahnya. Tidak! Jangankan izin, hanya berdiri di depan pagar saja tak boleh.

"Berat sekali," keluh Almera. Ia sedikit menyesal karena membawa buku-buku ini sendirian, dalam waktu bersamaan, tanpa membawanya setengah-setengah.

Almera mengetuk pintu dengan kesusahan, semoga pembantunya mendengar suara ketukan yang nyaris lembut itu.

Tok ... tok ... tok

"Bi! Buka dong, pintunya," teriak Almera. Ia menempelkan daun telinganya ke pintu, mendengarkan apa di dalam rumah terdapat Bik Rina, pembantu yang selalu ada di dalam.

"Sebentar, Non!"

Almera menghela nafas lega, ia menyingkir, menyandarkan punggungnya di tembok. Ia kembali menyesal, saat ia memutuskan membawa beberapa buku tebal ke rumah, tanpa bantuan asisten atau apapun.

Tadi, buku-buku itu terjatuh. Andai saja, Lucky sedikit berkeras mengantar, mengacuhkan penolakannya. Tentu, ia bisa duduk manis di dalam mobil, sembari menjaga buku-buku itu.

“Lho, kok aku malah menyalahkan Lucky? Memangnya dia suamiku? Aneh kamu, Almera!” maki Almera pada dirinya sendiri.

Clek!

"Maaf, ya, Non, lama," kata Bik Rina. Ia membungkuk sedikit di depan Almera, menggeser dirinya agar Almera bisa memasuki rumah dengan tenang.

"Apa mau saya bawakan, Non?" tawar Bik Rina. Almera mengangguk, ia menyodorkan setengah buku yang ia bawa, memberikan juga tas nya agar di bawa sekalian.

"Makasih, Bi."

Sementara Bik Rina pergi ke kamar Almera, ia dengan santainya menduduki sopa yang sangat nyaman, ia merasakan pegal di seluruh tubuhnya.

Melepas sepatu haknya, menyibak rambut hitamnya dengan gerakan lembut, ia sungguh kepanasan saat ini. Almera butuh sesuatu yang menyegarkan.

Rasanya, dia ingin minum. Barangkali, segelas air mineral bisa melegakan tenggorokannya.

"Non."

"Astaga, Bi, mengagetkan saja, deh," kata Almera memekik pelan. Ia baru saja memejamkan kelopak matanya, tapi Bik Rina mengacaukan semua itu.

"Maaf, Non," kata Bik Rina dengan gugup, ia menundukan kepalanya semakin menjadi. Ia takut dengan aura yang di pancarkan dari wajah cantik Almera.

"Ada apa?" kata Almera. Ia kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, memejamkan kedua kelopak matanya lagi.

"Saya izin pulang dulu, ya, Non. Em ... saya ingin izin ke tuan, tapi tuan sedang bersama tamunya," kata Bik Rina yang mampu membuat Almera kembali membuka matanya.

Ia menatap Rina dengan penuh penasaran, ia ingat, ayahnya belum pulang dari rumah sakit. Tapi, mengapa Bik Rina mengucapkan hal itu.

"Maksud bibi? Lho, barusan saya mau jemput Beliau. Kok ... sudah pulang?"

Almera melihat wajah Bik Rina yang seperti kebingungan. Kebingungan yang terpancar di wajahnya, membuat dirinya semakin mengkerutkan keningnya.

"Non tidak tau? Tuan sudah pulang, Non," kata Bik Rina. Almera terbeliak.

Bagaimana ayahnya bisa pulang secepat ini. Sulit dipercaya sekali, rumah sakit yang Almera percayakan malah tidak menghubunginya.

"Sekarang ayah di atas, Bi?" tanya Almera. Bergegas, ia kuncir kuda rambutnya sekenanya.

Bik Rina mengangguk, ia menundukan dirinya, di tangan kanannya terdapat sebuah paper bag, seperti dugaan Almera, jika pembantunya akan pulang.

"Baiklah, bibi bisa pulang," kata Almera. Ia menganggukan kepalanya, berdiri dengan perlahan, melihat kepergian pembantunya.

Bik Rina adalah seorang wanita yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Almera. Ia seorang janda dengan kelima putrinya, dan ia selalu datang di jam enam pagi dan pulang jam lima sore.

Almera melangkahkan kakinya ke arah dapur. Ia sangat kehausan, ia lupa meminta Bik Rina mengambilkan minuman untuknya.

Alhasil, dirinya yang harus mengambil sendiri. Dan tak setetes pun air keluar dari dispenser itu.

"Mengapa harus seperti ini?" kata Almera, ia mengusak kepalanya pelan, sungguh kesialan yang luar biasanya.

Srek! Tiba-tiba bulu kuduk Almera merinding. Dia seperti mendengar tapak besar, seperti Gorilla.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel