Bab 7 Ditolak Kingkong
Bab 7 Ditolak Kingkong
"Saya sudah melihat kamu dengan mata dan hati saya, Nak. Saya ingin sekali jika kamu menjadi suami putriku," kata Arya. Ia menepuk pundak Samson dengan pelan, ia tau jika ini terburu-buru, tapi tak ada salahnya, kan?
"Saya tidak bisa, Pak. Maaf," kata Samson penuh penyesalan. Ia tak mau mengambil resiko jika nanti menikahi putri pak Arya. Ia juga tak thau, jika putri pak Arya menerima perjodohan ini. Ia sungguh merasa tak enak, jika memang itu terjadi.
Jger! Pak Arya melongo, yang jika dilempar pisang goreng, maka masuklah pisang itu ke dalam mulutnya.
What? Aku ditolak pemuda tukang galon? Batin Arya tak percaya
"Bagaimana kamu bisa menolak putriku, Samson?" kata Arya penuh penekanan.
Ia sungguh tak percaya, jika Samson, seorang tukang galon menolak pesona putrinya yang sangat ia sayangi. Ia menawarkan dengan penuh pengharapan, tapi Samson malah menolaknya.
Mukanya memerah. Namun, ini malah membuat Arya semakin yakin, bahwa lelaki ini adalah lelaki yang sangat baik dan tulus.
"Maafkan saya, Pak," kata Samson. Ia semakin menundukkkan kepalanya, apa yang ia katakan itu salah?
Arya menghela nafas panjang. Tidak ada jalan lain, selain menunjukkan wajah Almera yang penuh pesona, dan pernah menjadi putri kecantikan pula.
ia menolehkan kepalanya, menatap ponsel miliknya. Untung saja Almera menyimpan ponsel miliknya yang sebelumnya diberikan oleh seseorang yang menemukan itu di area street food.
"Kenapa kamu menolak putriku?" tanya Arya.
Ia memegang ponselnya, mengotak-atik ponselnya. Dia ingin menunjukan sebuah foto ke hadapan Samson.
"Lihatlah, Nak," kata Arya. Samson mendongkak, melihat Arya yang tersenyum melihat ponsel di depannya.
"Siapa dia, Pak?" tanya Samson. Ia melihat sosok wanita yang begitu cantik, membuat dirinya tersenyum melihatnya. Kulit putih seputih salju, mata bulat dengan bola mata kecoklatan membuat dirinya semakin cantik.
Tapi, rasanya, kok tidak asing, ya, dengan wajah ini? Di mana aku melihatnya? Batin Samson.
Samson menatap Arya dan Foto itu bergantian. Hidung mancung bak perosotan itu mampu membuat Samson lupa diri. Bibir merah yang sepertinya sangat lembut membuat jantungnya berdetak kencang.
"Bagaimana, Nak?" kata Arya yang membuat Samson tersadar jika dirinya terlalu lama melihat foto itu. Ia mengerutkan kening, maksud Arya ini apa, Samson tak mengerti.
"Maksud bapak?" tanya Samson tak mengerti. Ia menatap ponsel Arya yang sekarang padam, yang Arya tarik, dan menyimpannya lagi di nakas.
"Foto tadi adalah Foto putri saya, Almera. Dia adalah seorang dosen. Bagaimana, apa dirinya sangatlah cantik?" kata Arya terkekeh. Ia melihat Samson yang terus saja menatap Foto putrinya tadi dengan senyum manis yang terlihat dari wajahnya.
"Benarkah?" kata Samson ta percaya. Ia memejamkan matanya, sepertinya wajah itu sangatlah tak asing di matanya, tapi dirinya lupa.
Siapa perempuan ini? Wajahnya teduh dan lembut. Ya, pasti orangnya sangat lembut. Batin Samson. Andai ia tahu, bahwa kejudesan Almera melebihi Mak Lampir.
"Benar, Nak. Sangat cantik, seperti ibunya," kata Arya mendongak.
Samson mengangguk, ia mengakui jika sosok Almera itu sangatlah cantik. Ia tak menyangka jika Arya akan menjodohkan dirinya kepada sosok yang sangat-sangat seperti Almera, berbeda dengan dirinya.
"Saya akui, dia memanglah sangat cantik, Pak," kata Samson. Ia menatap Arya yang sepertinya merasa puas jika dirinya memuji kecantikan putrinya.
"Tentu saja, putriku sangatlah cantik, apalagi jika kalian bertemu," kata Arya. Ia sungguh mengharapkan jika Samson dan Almera di pertemukan.
"Putri Bapak sangatlah cantik, saya tidak yakin jika ia mau menerima saya yang hanya tukang galon. Rasanya, itu seperti sinetron saja."
“Putri saya orangnya baik, kok, Nak,” Arya mencoba meyakinkan.
Arya menggeleng. “Tetap saja, dia pasti tidak mau. Lagipula, di Sinetron kan judulnya pasti Tukang Galon Tampan Ketemu Jodoh. Sementara saya?”
“Kamu tampan, Nak. Manis dan gagah,” kata Arya.
“Tidak, Pak. Saya tahu diri. Jadi, biarlah putri bapak yang cantik menikah dengan lelaki tampan. Sebelum Bapak dituduh gila, oleh putri Bapak,” kata Samson, yang spontan disambut riuh tawa oleh Arya.
"Putri saya bukan lah orang seperti itu, Nak," kata Arya penuh penekanan. Ia yakin, jika Almera akan menerima Samson dengan sepenuh hatinya, seperti dirinya yang menyukai Samsons sejak pertemuan nya dengan Samson.
"Saya tidak pantas untuknya, Pak. Putri Bapak terlalu cantik untuk bersanding dengan saya. Maaf," kata Samson masih saja menolak.
Ia menghela nafas panjang, bagaimana mungkin dirinya yang hanya seorang tukang galon menikahi wanita secantik Almera, dan seorang dosen pula. Logikanya di mana?
"Jadi ... kamu menolak putriku? Yakin, nih?" Dada Arya terasa sesak.
***
"Saya terlalu lama menunggu, lanjut Minggu depan," kata Almera. Ia berdiri, mengambil tasnya tanpa mempedulikan para mahasiswanya yang menatap dirinya dengan ternganga.
Apa Almera salah? Ia sudah lama menunggu presentasi kelompok ketiga, tapi mereka malah sibuk dengan kegiatannya di depan, tanpa mempedulikan Almera yang sudah sangat kesal menunggu.
Sebenarnya, mereka panik. Mereka hendak presentasi, sementara file-nya ada di laptop anggota mereka yang terlambat datang. Dan sialnya, saat ini teman mereka tidak bisa dihubungi.
"Apa tidak bisa sekarang, Bu? Hanya sedikit lagi, sebentar," kata salah satu mahasiswa yang tergugup menunggu temannya yang belum datang juga.
"Sebetar menurut kamu itu lama, membuang waktu saya saja," kata Almera. Ia membereskan buku-buku nya, menetegnya di tangan kirinya dengan anggun.
"Saya mohon, Bu," katanya memelas. Almera hanya diam, tak berminat. Ia sangat tak menyukai orang yang tak bisa menepati janji, tidak disiplin dan plin-plan.
"Apa kamu tak mendengar apa yang baru saja saya katakan? Saya telah lama menunggu, apa kamu tak mengerti juga?" kata Almera penuh penekanan.
Ia menatap mahasiswa itu dengan tatapan jengah. Mereka tahu, jika dirinya tak menyukai itu, tapi mereka selalu saja melakukan kesalahan.
"Tapi, Bu--"
“Seharusnya, kalian punya back up file-nya. Jadi, tidak tergantung pada satu orang. Apa salahnya, sebelumnya dikirim dulu ke teman-teman. Apa kalian tidak punya WA, email, dan sebagainya?”
“Iya, Bu. Maaf. Kami kelupaan, karena kami mengerjakannya kemarin sampai larut malam.”
"Cukup. Ulangi Minggu depan ... semuanya."
"Diulang, Bu? Bagaimana bisa? Kita sudah melakukannya tad--"
"Tidak ada penolakan. Semuanya di ulang lagi!"
"Tapi--"
"Atau ... nilai kalian di mata kuliah saya ... D."
"A-apa?"
Almera melengos, menatap lurus ke depan, ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, meninggalkan para mahasiswa nya yang ia samar-samar mendengar gerutuan di sana, ia tak peduli dengan itu tentu saja.
"Dosen menyebalkan!"
"Aku tak peduli," gumam Almera.
Almera melangkah mantap, hari ini tugasnya sudah selesai. Saatnya pulang, menjemput ayahnya untuk pulang ke rumahnya dengan perasaan riang. Tumpukan buku di tentengannya sangat menganggu, dirinya tak bisa bergerak bebas karena buku-buku yang sangat banyak dan lumayan berat.
"Apa aku ke ruanganku dulu, ya?" tanya Almera pada dirinya sendiri.
Ia lupa melepaskan kacamata bacanya. Ia terlalu kesal karena ulah mahasiswanya. Membenarkannya juga sangat tak mungkin dengan kedua tangannya yang sangat ribet.
"Sepertinya langsung pulang saja, aku juga takut terjadi apa-apa kepada ayah," gumam Almera. Ia melanjutkan jalannya, setelah tergugu tadi di pijakannya.
"Iss ... sangat mengganggu kacamata ini," gerutu Almera. Melihat-lihat sekeliling jika ia menemukan sebuah kursi panjang untuk menyimpan buku-bukunya tapi sepanjang lorong ia tak menemukan satupun kursi yang tersedia di sana.
"Eh."
Almera terhenti seketika, ia memejamkan matanya refleks saat sebuah tangan terulur dari sampingnya, mengambil kacamata yang sedari tadi ia gerutukan karena sangat menganggu.
Seorang lelaki tampan paripurna, yang menolong Almera itu adalah Lucky. Seorang lelaki yang saat itu berguman pada hatinya. “Cantik sekali perempuan ini. Andai ia menjadi milikku.”