Bab 5 Cantik Tapi Jutek
Bab 5 Cantik Tapi Jutek
“Ah, bapak berlebihan! Kalau kata anak jaman sekarang, bapak lebay, begitu,”
Samson kembali ke warung Pak Munajat. Dia mengantarkan pesanan galon yang biasa ia antarakan ke sini.
Terdengar teriakan lebay itu dari seorang lelaki, yang menurut Samson sangat tampan. Pasti banyak cewek yang mengantri, batin Samson.
Matanya melihat pak Munajat yang tengah berbincang dengan seorang pemuda yang Samson akui dia sangatlah sempurna dan rapi.
"Kamu sungguh murah hati, Nak Lucky. Meskipun kamu mempunyai mobil Alphard, tapi masih mau makan di warung saya," kata pak Munajat memuji Lucky.
Ia senang jika seseorang seperti Lucky datang ke warung miliknya yang masih terbilang kecil. Sudah begitu, lahap pula.
"Galonnya, Pak," kata Samson berteriak. Pak Munajat tak mengindahkan terikannya. Ia masih saja memuji Lucky setinggi langit.
Samson bukan iri, tapi dirinya hanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Tapi pak Munajat seperti tak melihat kehadirannya, karena terlalu fokus pada Lucky.
Tiba-tiba istri pak Munajat datang, ia membawakan sewadah sambal pecel lele, yang dia masak di rumah.
Melihat Samson, dia mengatakan bahwa dia suka dengan Samson yang pekerja keras. Pak Munajat langsung sewot dengan istrinya yang ngidam itu.
"Saya menyukai pemuda pekerja keras seperti kamu, Samson," kata istri pak Munajat. Ia mengusap-usap bahu Samson dengan senyuman, sementara tangan satunya sedang mengusap perut buncitnya.
"Apa-apaan Ibu, ini. Lebih baik mengidam mengusap Nak Lucky yang tampan dan kaya daripada si Samson ini!" kata pak Munajat kesal dengan tingkah istrinya yang tak bisa membedakan yang tampan dan tidak. “sori ya, Nak Samson. Tidak bermaksud menyinggung,”
"Terserah ibu, dong, Pa," ketus istrinya. Ia kembali melihat wajah pekerja keras Samson memenuhi rasa mengidamnya.
“Kok terserah ibu, sih? Bikinnya sama-sama. Pengen dong, bapak punya anak putih,”
“Walah, turunan darimana Pak? Kakek neneknya kulitnya sawo matang. Bapak malah sawo busuk. Saya juga sama. Realistis saja. Kulit gelap, tapi ganteng dan manis, kayak Samson saja,”
Samson hanya tersenyum kaku mendengar perdebatan kecil suami istri itu. Ia lebih baik pulang saja, daripada harus dalam situasi tak mengenakan ini.
"Maaf, Bu. Saya permisi, ya?" kata Samson sopan. Ia menundukan badannya sopan, pergi setelah mendapatkan izin dari istri pak Munajat.
Lucky hanya tertawa melihat ucapan pak Munajat yang memilih dirinya daripada lelaki berkulit hitam itu. Ia menatap tanpa ingin mencampurinya.
Lucky masih memikirkan Almera. Ternyata Almera tak se-killer yang ia pikirkan. Wajah dengan topeng killer itu terbuka saat ia berada di dekat ayahnya.
Beruntung, Lucky lah yang mengantar, menawarkan Almera untuk datang ke rumah sakit. Dan juga, usianya dan Almera hanya selisih lima tahun.
Umur Almera tidak terlalu tua juga, padahal. Tapi, mengingat apa yang sudah Almera lakukan untuk menghambat skripsinya, membuat ia meradang lagi.
Ia masih dendam dengan itu. Ia pasti akan membalas semua perlakuan Almera padanya, padahal ... ia sudah merencanakan untuk mendekati Almera sesuai apa yang temannya katakan.
Bukan untuk serius, tapi hanya sekedar permainan yang akan membuat Almera menyesal akhirnya. Biar dosen tua itu tahu rasa.
Tapi, lagi-lagi rencananya haruslah kandas. Jika ia mendekati Almera sedangkan ia sudah mempunyai calon, semua takkan beres.
Hm, siapa calonnya Almera? Pasti pengusaha, karena kata ayahnya Almera, calon menantunya sedang meeting. Guman Lucky dalam hati.
"Jangan melamun, Nak. Pamali," kata pak Munajat membawa kesadaran Lucky, ia menatap pak Munajat dengan canggung.
"Hhe, maafkan, Pak," kata Lucky. Ia melanjutkan memakan makanannya, tanpa memikirkan semua rencana yang ia susun debgan rapi.
'Aku akan membalasnya! Liat saja, Almera'
***
Sebuah Rumah Sakit Mewah
Rumah Sakit Hinnata
"Ayah, bagaimana keadaan Ayah sekarang?" tanya Almera. Ia membuka pintu, tersenyum ramah melihat ayahnya yang sedan menatap dirinya.
Arya mengangguk. Ia melambaikan tangannya, mengajak Almera ke arahnya, mendekap dirinya dengan sayang.
"Ayah sudah mendingan, sayang," kata Arya sambil mengusap-usap pucuk rambut hitam legam Almera.
Almera mengangguk. Melepas pelukannya, menatap sayang ayahnya yang masih terbaring lemah, meskipun ayahnya bilang keadaannya membaik.
Almera tahu, itu hanyalah alasan ayahnya, bukan benar-benar sembuh. "Apa Ayah tidak apa-apa Almera tinggal?"
Almera memijat pelan lengan ayahnya, sembari meminta izin. Ia seorang dosen, yang perlu kehadirannya setiap hari, jika meminta izinpun akan susah.
"Tidak apa, sayang." Arya menggenggam lengan lentik nan putih Almera. "Ayah baik-baik saja." Arya mengangguk mantap, ia yakin dirinya sudah baik-baik saja.
Rasa nyeri yang kemarin menjalar pun tak ia rasakan lagi sekarang. Ia sedang masa pemulihan, tak perlu dalam pengawasan Almera.
"Beneran, Yah?" tanya Almera ragu.
Ia masih khawatir. Ia takut ayah nya kenapa-napa. Rasa khawatir itu tak bisa ia hilangkan dengan mudah.
Arya mengangguk gemas. Putri kesayangannya selalu saja seperti ini, ia tau dirinya khawatir, tapi memang ini keadaanya, baik-baik saja.
"Ya sudah, nanti Almera panggilkan suster untuk berjaga di sini. Kalo ada apa-apa, langsung hubungi Almera, ya, Yah," kata Almera.
Ia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukan pukul tujuh kurang lima menit. Dan ia akan terlambat.
"Iya, sayang. Ayah tak mungkin kenapa-napa," kata Arya. Almera mengangguk, ia segera membenarkan kemeja yang ia pakai, merapikan rambutnya.
"Baiklah, Almera pergi, ya, Ayah," kata Almera lagi. Ia menggenggam lengan ayahnya, berdoa dalam hati agar tak terjadi apa-apa pada ayahnya.
"Iya. Sudah sana! Sudah terlambat, kan?" kata Arya mengingatkan. Almera menepuk dahinya pelan, ia lupa.
Almera kembali mengucapkan salam perpisahan untuk sang ayah. Membuka pintu dengan sembarang, ia segera berjalan dengan agak berlari, ia tak ingin terlambat.
Hari ini ia kembali sial. Mobil kesayangannya masih dalam masa perawatan, alias masih berada di bengkel. Dan sekarang Almera harus menghentikan taksi dengan segera.
Almera berjalan terburu. Berusaha untuk keluar dari lorong rumah sakit secepat mungkin.
Tiba-tiba seorang lelaki nyaris menyerempetnya. Bukan salah pria itu, salah Almera.
Almera masih mengerutuki sosok itu, tak mau salah. "Apa kamu tak mempunyai mata, hah!"
Almera menatap sosok jangkung di hadapannya dengan bergidik. Ia ingin sekali mengumpat karena bertabrakan dengan seseorang seperti dia.
Mata belo' nya melirik Almera dengan telisikan. Membuat Almera dirundung rasa marah seketika. Jiwa pemarahnya langsung kambuh melihat tingkah lelaki itu.
"Jangan menatap saya seperti itu. Apa kamu sudah berkaca, sebelum menatap saya seperti itu!" ketus Almera.
Ia kembali bergidik saat melihat lengan sang lelaki membawa sebuah galon kosong.
Almera berdecak, apa sebuah galon itu tak bisa ia simpan di luar? Apa dirinya tak malu? Itu akan sangat malu, jika Almera yang membawa-bawa galon itu.
"Maafkan saya," katanya sambil menundukan kepalanya takut melihat tatapan tajam Almera yang meremehkan dirinya.
"Ck, sungguh menyusahkan." Almera melengos, meninggalkan sang lelaki itu dengan ketus.
Ia takkan mau lagi melihat lelaki seperti dia, kulit hitam, mata belo', bibir yang sangat tebal dan hitam itu membuat dirinya bergidik.
Dan lelaki itu memberanikan diri melihat Almera dari belakang.
“Cantik!” desis Samson – lelaki yang hampir ditabrak Almera. “pantasan jutek!”