Bab 4 Menantu sedang Meeting
Bab 4 Menantu sedang Meeting
Tuhan, aku tahu Samson ini hitam. Maksudku, berkulit indah eksotik. Dan dia tampan.
Dia seperti Aldebaran, yang kerap digosipkan karyawanku di resto kari milikku. Entah kenapa, aku berharap dia menjadi suami buat Almera. Aku ingin dia menjadi anak lelakiku, tepatnya sebagai menantuku.
Masih saja, lamunan itu berkembang. Arya terheran sendiri. Dia merasa, perasaannya tidak salah, bahwa Samson adalah anak yang baik.
Dan putaran itu semakin nyata. Dia diantar oleh Samson dengan selamat di Rumah Sakit, tadi.
"Ayo, Pak," katanya merangkul Arya dengan pelan. Arya menurut, ia mengalungkan sebelah tangannya pada bahu lebar milik Samson.
"Terima kasih, Nak ... "
"Samson. Panggil saya Samson, Pak," katanya tersenyum. Ia membuka pintu taksi, menurunkan Arya dengan pelan.
Senyuman tulusnya masih saja ia tampilkan membuat Arya semakin merasa tertolong dengan lelaki baik dan tulus seperti Samson.
Arya tak tau harus berbicara apa. Semua ini sudah di rencanakan oleh Tuhan, ia berpikir jika skenario-Nya akan membuat sesuatu yang mengejutkan.
Samson-- nama yang ia ketahui itu sangatlah cocok untuk pribadi Samson sendiri. Arya bersyukur dipertemukan dengan Samson.
"Ayah!" pekik seseorang mengejutkan Arya yang masih melamunkan tentang kebaikan Samson.
Ia membuka matanya, menatap pintu yang terbuka dengan sembarang. Arya menghembuskan nafasnya lega, ia bisa melihat raut wajah Almera yang menghawatirkan dirinya.
"Ayah! Apa kata aku, Ayah tidak usah pergi-pergi lagi. Ayah di rumah aja!" pekik Almera marah. Ia memeluk ayahnya dengan tangis yang meluncur tanpa bisa bisa ia cegah.
"Sayang ... jangan nangis. Ayah tidak apa, kok," kata Arya. Ia menepuk-nepuk pungguh Almera dengan sayang.
"Tidak apa bagaimana, Ayah! Ayah hampir kena stroke lagi, kan!" tebak Almera kesal. Ia melepaskan pelukan itu, menatap Ayahnya dengan kesal.
Ia khawatir dengan kesehatan ayahnya yang belum stabil. Dirinya hanya memiliki ayahnya saja, apa ayahnya tak pernah menghawatirkan dirinya sendiri.
"Apa kamu tidak malu dengan dia?" kata Arya menunjuk tepat kepada seseorang di belakang Almera. Almera mengerutkan keningnya, ia masih tak sadar keberadaan Lucky.
Almera tersadar, ia ke sini bersama Lucky. Itu setelah dia tak tahan lelaki ini mengedip-ngedipkan mata seperti kucing persia, memohon untuk ikut membesuk.
Ia segera menolehkan kepalanya. Lalu, Almera melambaikan tangan agar Lucky mendekat ke arahnya.
"Selamat sore, Om," kata Lucky.
Ia menundukan kepalanya sopan. Melirik Almera yang sedang menatap dirinya juga. Menggaruk pipinya yang tak terasa gatal sama sekali.
"Sore," kata Arya singkat. Ia memfokuskan dirinya pada putri kesayangannya, yang terlihat masih merajuk.
Arya hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Almera yang kekanak-kanakan. Kedua tangan melipat dan wajah dipalingkan.
"Sayang, apa kamu marah pada Ayahmu, ini?" kata Arya dengan nada dibuat-buat. Menatap Almera dengan pandangan sedih, yang itu hanyalah kebohongan semata.
"Mana bisa aku marah sama Ayah. Aku hanya khawatir, Ayah," kata Almera. Ia mempautkan bibirnya, Arya hanya tergelak.
Sedangkan Lucky, ia menatap takjub pada dosen yang masih ia ingat terkenal killer di kampus. Dan kini, Almera seperti gadis imut-imut, yang bermanja pada ayahnya.
"Oh, iya, Ayah. Siapa yang mengantar Ayah ke sini?" kata Almera. Ia menatap penasaran sang Ayah. Siapa orang yang baik hati itu, yang menolong ayahnya.
"Calon suami kamu, sayang."
"Apa? Apa Ayah bercanda?" kata Almera dengan tawa yang kaku. Ia menatap garang ayahnya yang sembarang menyebutkan hal itu.
Lucky berdecih pelan, ia menolehkan kepalanya kearah kanan, dengan batin yang terus saja menggerutu dalam hati. "Ternyata sudah punya herder, Almera. Kirain, aku bisa jadi pasangannya, sekedar untuk mengerjainya."
Lucky tak menyangka, jika Almera sudah mempunyai calonnya, padahal ia sudah merencanakan semua hal buruk untuk Almera. Menembak Almera sebagai kekasih, lalu memutuskannya, sebagai upaya balas dendam pada Almera.
"Jadi, di mana dia, Ayah?" celetuk Almera. Ia menganggap ucapan Ayahnya hanyalah bercandaan semata, ia tak percaya begitu saja.
"Ayah suruh pulang. Ia sedang mengurus meeting penting."
"Ayah ... jangan bercanda, tidak lucu," rajuk Almera. Ia mengenggam lengan Arya memijatnya dengan lengan putih lentiknya.
Almera hanya tergugu di tempat, antara percaya dan tidak dengan perkataan Ayahnya yang seakan nyata dalam benaknya.
"Ayah tak bercanda, Almera."
***
Samson menghela nafas lega, ia mendapati sepeda motornya yang ia parkir sembarang masih terlihat aman, tanpa kekurangan satu hal pun.
Ia sangat berterima kasih kepada pak Munanat pedagang pecel lele di street food, yang merupakan langganan Samson. Pak Munajat lah yang telah menjaga sepeda motornya.
Samson memparkirkan sepeda motornya, berniat pulang saat jam sore seperti ini. Pendapatannya dari hasil mengantar galon keliling mampu membuat dirinya tercukupi
Meskipun banyak orang yang menganggapnya dengan cercaan, ringkisan, Samson tidak pantang menyerah. Ia melawan teriknya matahari demi kebutuhan hidupnya.
Saat hendak mengendarai sepeda motornya, Samson merasakan saku celananya bergetar. Ia segera mengambil ponselnya, ternyata ada seseorang yang menelpon dirinya.
Keningnya berkerut. Nomor baru yang terpampang di depan layar ponselnya, tapi ia ingat dengan poto yang terpampang di sana. Ia mengangkat telpon itu, dengan ragu.
"Hallo, Pak?" sapa Samson.
Ia mendudukan dirinya di atas sepeda motor, lipatan di keningnya belum hilang. Ia masih penasaran, mengapa pak Arya menghubungi dirinya.
"Apa meetingnya sudah selesai? Apa baru akan dimulai?" kata Arya membuat Samson bingung.
Meeting? Apa itu? Apa maksud lelaki tua ini adalah kepiting?
"Maksud bapak?" Samson semakin mengerutkan keningnya, ia menegakan tubuhnya, mendengarkan dengan seksama ucapan pak Arya.
"Kalo sudah selesai meetingnya, nanti telpon saya, ya?" katanya lagi.
Samson semakin bingung, ada apa dengan pak Arya sekarang. Tapi, sadarlah ia, bahwa meeting dimaksud adalah rapat seperti di perusahaan-perusahaan.
"Meeting? Meeting apa, Pak?" kata Samson semakin bingung. Ia tak mengerti mengapa pak Arya membicarakan tentang meeting.
Ia masih ingat, jika pak Arya menyuruh dirinya untuk mengecek sepeda motor galonnya, bukan untuk meeting. Dan kini, dia sudah lakukan itu.
"Ya sudah, jika saya menganggu. Kamu yang semangat, ya meeting pentingnya."
"Saya tidak mengerti, Pak," potong Samson. Kata-kata pak Arya semakin melantur di pendengarannya.
"Saya tutup, ya. Jangan lupa nanti telpon saya setelah selesai meeting."
"Baiklah, Pak," kata Samson pasrah.
Samson menutup telponnya, menatap ponsel miliknya dengan bingung. Ia berpikir, jika pak Arya sepertinya salah sambung, salah menghubungi rekan bisnisnya tapi malah menghubungi dirinya.
Samson hanyalah seorang tukang galon, jika perlu diingatkan. Ia tak mengerti dengan yang dinamakan meeting, seperti apa yang pak Arya katakan.
Jika bukan, mengapa tiba-tiba pak Arya menelpon dirinya, menanyakan tentang meeting yang sangat jauh dari pekerjaannya.
"Ada apa dengan pak Arya?" gumam Samson masih tak mengerti dan masih tak percaya.
Samson menggeleng, menyalakan sepeda motornya dengan pelan. Meskipun raganya masih tersadar, pikirannya masih saja bergelut dengan apa yang dikatakan pak Arya.
Samson, kamu mau tidak, jika punya mertua seperti Pak Arya?
Tiba-tiba, sebuah suara gaib mengusik pikiran Samson. Entah darimana.