Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Suami Brondong Pilihan Ayah

Bab 3 Suami Brondong Pilihan Ayah

"Ibu mau kemana?" tanya Lucky. Ia mensejajarkan langkahnya, meskipun Almera terus saja menghindari dirinya.

"Bukan urusan kamu, Lucky. Lebih baik kamu kembali ke ruang kuliah, sebentar lagi ada ujian mata kuliah Budgeting, bukan?" kata Almera kesal. Ia menutup wajahnya yang terkena sinar matahari yang menyengat, membuat kulitnya panas.

Lucky terhenyak. Sadarlah ia, bahwa Almera sesungguhnya cukup perhatian padanya. Buktinya, dosen jutek itu sampai tahu bahwa dirinya mengikuti ujian Budgeting.

Menyadari Almera kepanasan, Lucky segera mengambil tindakan. Ia mengganti posisinya yang semula di sebelah kiri Almera menjadi di sebelah kanan Almera.

Ia menepas jaket levis nya, membiarkannya terbuka, membawanya ke sisi depan Almera, menutupinya dari paparan sinar matahari. Ini membuat Almera menatap keheranan.

"Cie, Ibu perhatian banget, sih," kata Lucky, sebenarnya ia salah tingkah. Ia menatap wajah Almera yang berjarak beberapa centi di depan wajahnya.

"Apa-apaan, kamu!" kata Almera tak percaya. Ia segera menggeser badannya, karena merasa jaraknya dengan Lucky terlalu menempel.

"Ibu sok jual mahal banget, sih," kata Lucky. Ia menarik pelan lengan Almera, menarik lengan Almera paksa ke arah mobil mewahnya terparkir.

"Jangan kurang ajar, ya, kamu!" pekik Almera.

Almera berusaha melepaskan cengkraman Lucky di lengannya. Ini sungguh salah, semua orang bisa memikirkan hal buruk tentangnya.

"Saya hanya membantu ibu, loh," kata Lucky santai. Ia menatap sekejap Almera di sebelahnya, mengedipkan sebelah matanya membuat Almera memalingkan wajah memerahnya.

Almera kesal, bukan malah tersipu. Lucky sungguh tak tahu batasan, dirinya ini adalah dosennya. Dan anak jangkung semampai itu seenak jidatnya membawa Almera dengan kasar.

Almera tahu, jika maksud Lucky itu baik, menolong dirinya, meskipun Almera tak memberitahu alasan keterburu-buruan nya.

"Seperti ini lebih baik," kata Lucky tersenyum lebar menampilkan gigi-giginya yang rapi dan bersih.

Almera mendengus. Jika Lucky bukanlah sosok menyebalkan bagi Almera, ia pasti akan sangat terpikat dengan pesona mahasiswanya ini. Siapa yang akan menolak pesona Lucky.

"Ayo, Bu. Kita masuk," kata Lucky. Ia membuka pintu penumpang, mempersilahkan Almera duduk di samping dirinya.

Almera mendengus, kali kedua. Lebih kasar. Ia tak mengindahkan perkataan Lucky yang terdengar menyebalkan.

Ia membuka kursi belakang, mengabaikan Lucky yang tergugu melihat tingkahnya. Perempuan tua tak tahu terima kasih, guman Lucky dalam hati.

"Baiklah, ibu dosen," kata Lucky tersenyum paksa. Ia segera berlari memutari mobil, menyalakannya dengan segera.

Ia menoleh ke arah Almera, yang masih saja terlihat khawatir. Menatap jendela dengan pandangan sedihnya, membuat Lucky semakin diam. Dia tak mengerti, apa yang dosennya lakukan.

"Bu, kita pergi ke mana?" tanya Lucky menyadarkan Almera. Ia masih menatap Almera, yang langsung menatap ponsel di genggamannya.

"Rumah sakit Hinatta," kata Almera pelan. Lucky mengangguk meskipun banyak bertanyaan di benaknya.

Almera terus saja menatap ponselnya dengan sedih. Hal itu disadari Lucky yang sesekali menoleh kearah Almera.

"Siapa yang sakit, Bu?" tanya Lucky. Ia membenarkan rambut klimisnya ke atas, membuat jidat putihnya terpampang nyata.

"Ayah saya," kata Almera pelan.

Almera mendongak, melihat Lucky dengan heran. Ia kira, Lucky akan membalas apa yang telah ia lakukan dengan membentak anak itu, saat di lorong ruang perkuliahan tadi. Selain itu, santer berita menyebar, bahwa dia menahan skripsi Lucky.

Dan dia pikir, memang dirinya berlebihan. Lelaki seumuran Lucky memang sedang badung-badungnya. Harusnya, dia lebih mengerti.

Sebenarnya, bukan tanpa alasan Almera menunda skripsi milik Lucky, tapi memang Lucky sendiri yang belum memenuhi kriteria yang sesuai untuk memenuhi skripsi.

"Kenapa ayahnya Ibu?" tanya Lucky lagi.

Ia mencoba mencairkan suasana yang sangat canggung ini. Meskipun ia sangat kesal terhadap Almera, ia tak mungkin membiarkn Almera merasa sedih.

"Hm?" tanya Almera pelan. Ia menolehkan kepalanya menghadap Lucky, ia sungguh tak mengerti dengan pikiran Lucky.

"Kenapa, Bu?" kata Lucky heran. Ia melirik ke belakang, dengan alis menukik tak mengerti. Apa pertanyaannya kurang jelas?

"Tidak apa-apa,”

Almera mencoba mengacuhkan Lucky. Ia menatap ponselnya, menunggu petugas Rumah Sakit menelpon dirinya, memberitahuan keadaan ayahnya.

Ia masih saja khawatir, ia akan memarahi ayahnya nanti, ia tak sabar untuk itu. Rasa keras kepala ayahnya membuat dirinya sendiri terkena akibatnya.

"Sudah sampai, Bu," kata Lucky seperti seorang sopir. Ia membuka pintu, keluar mendahului Almera.

"Terimakasih, Lucky," kata Almera tulus. Ia menampilkan senyum tipisnya, membuat Lucky tergugu di tempatnya.

"Apa saya boleh ikut, Bu?" tanya Lucky. Ia mengusap tengkuknya gugup. Ia melihat Almera kembali mengerutkan keningnya.

"Buat apa?" tanya Almera. Ia menyipitkan matanya, menelisik reaksi Lucky yang sungguh berlebihan menurutnya.

"Apa tak boleh menjenguk calon mertua?" kata Lucky. Dia sendiri kaget, kenapa bisa mengatakan demikian.

Lucky! Sebentar lagi kamu pasti akan didamprat dosen jutek ini.

Benar saja. Mata Almera sudah melotot. Namun, batinnya sedikit tertawa.

Lucky tampak menggemaskan. Lelaki itu mengerjap-ngerjapkan mata dengan lucu.

***

Ruang rawat Rumah Sakit Hinatta

Mewah dengan wallpaper berwarna emas.

Arya terbaring lemah di bangsal rumah sakit, ia menggerakan tangan kanannya, sedikit demi sedikit. Dokter juga sudah memberi tahukan tentang stroke, yang bisa saja menyerangnya, jika ia tidak cepat diselamatkan.

Arya yakin, ia akan mendapatkan protesan marah dari Almera nanti. Ia juga tak menyangka jika musibah itu akan datang di saat yang sangat tak tepat.

Ia memejamkan matanya, mengingat kejadian tadi, saat dirinya hampir kehilangan nyawa, seseorang dengan khawatirnya menghampiri dirinya. Dan kenangan itu terputar.

Dia tengah kesakitan, menahan nyeri. Napasnya terengah-engah, saat itu.

"Apa bapak tak apa?" Samar-samar Arya mendengar seseorang memanggil dirinya, dengan guncangan di bahunya yang terasa nyata.

"Ayo, Pak, saya bantu." Arya mencoba membuka matanya pelan, meskipun tak bisa sepenuhnya. Tangannya masih saja memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Tolong bantu, saya!" pekik Arya meminta pertolongan. Arya hanya bisa tersenyum dalam hatinya, ia tak menyangka lelaki ini membantu dirinya.

Tapi dirinya tak mendapatkan bantuan dari semua orang yang menonton tergeletaknya Arya dengan mengenaskan. Mengapa mereka tak mempunyai rasa belas kasihan kepada orang yang tengah kesulitan ini.

Semua orang berhamburan meninggalkan Arya dan sang penolong tanpa mengatakan apapun datag mendekat. Samson – sang penolong menghela nafas panjang, melihat kembali Arya yang menatapnya penuh harap.

"Ayo, Pak." Samson merangkul Arya, membawa Arya agar terduduk meskipun ia sendiri kesulitan karena tak ada yang berniat membantunya. Tapi ia tak putus asa begitu saja.

Senyuman yang terbentuk dari bibir tebal bak cingur sapi itu sangatlah tulus. Ia merangkul terpogoh-pogoh Arya seorang diri, tanpa ada yang membantu.

Arya bisa melihat tulusnya perlakuan lelaki itu hanya dari matanya. Ia menatap sebuah galon yang tergeletak di sebelahnya. Ia berpikir, jika galon itu milik sang penolongnya.

Arya mengucapkan beribu terimakasih pada sosok itu, nyawanya tertolong berkat orang yang sangat peduli kepadanya.

Kulit Samson bak pantat panci yang hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang putih kecoklatan. Arya tak peduli dengan itu, ia hanya terpokus akan kebaikan dirinya.

"Bapak tolong sadar, ya. Saya akan menghentikan taksi sebentar," katanya cepat. Ia mendudukan Arya di kursi halte, berjalan tergesa, berusaha menyetop mobil taksi yang lewat di depannya meskipun banyak yang melewati dirinya begitu saja.

"T-terima kasih, Nak," gumam Arya. Ia menatap punggung tangguh itu dari belakang, saat dirinya berbicara, gigi putihnya bersinar, dengan mata sedikit belo' yang menatap Arya khawatir.

Arya menarik napas panjang. Dia lihat, supirnya tampak berbincang menerima panggilan putrinya. Siap-siap, kena marah Almera, batin Arya terkekeh.

Tapi, aku ingin Almera tahu nanti. Bahwa aku sudah menemukan calon suami. Brondong tapi ya. Ah, sudahlah. Bukankah bagus, jika Almera dapat suami brondong, seperti Samson.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel