Bab 2 Dasar Perawan Tua
Bab 2 Dasar Perawan Tua
“Papa kangen akut, ya, sama aku?”
Arya tertawa. “Yes, truly madly always miss you,”
Arya adalah seorang pengusaha sukses dengan martabak kari yang sudah mempunyai cabang tujuh di beberapa kota.
Terdengar suara helaan nafas panjang dari sana, Arya mengerutkan kening melihat putrinya melepas kacamata baca itu dan menatap dirinya dengan malas. Sok malas, tepatnya, karena mata Almera menyelidik.
Ada apa, apa dirinya salah. Ia hanya ingin berkeliling, meninjau lokasi yang akan ia jadikan tempat pembuatan martabak kari yang sangat ia impikan untuk lebih membuka pasar.
"Ayah, dimana pak Tino?" tanya Almera pelan. Arya menatap kesal putrinya, ia menelpon putrinya bukan untuk menjawab pertanyaan Almera seputar pak Tino-- supir pribadi kepercayaannya.
"Sayang, pak Tino Ayah tugaskan untuk menjaga mobil," kata Arya kesal.
"Ayah, mobil Ayah tidak usah di jagain, Ayah saja yang di jagain," kata Almera kesal melihat kelakuan sang ayah yang sok sekali.
"Mera, Ayah ngak apa. Ayah mau meninjau lokasi di sini. Ternyata enak, ya di sini," kata Arya sembari menatap para pedagang yang saling tersenyum, tertawa membuat Arya senang, entah karena apa.
"Ayah, Ayah belum pulih, kalo semisalnya penyakit Ayah kambuh, gimana?" kata Almera khawatir.
Ia memijat keningnya frustasi. Ayahnya sungguh tak bisa di beritahu, ia tetap keras kepala.
Arya menatap Almera lewat vidio call. "Sayang, kamu kok bicara begitu, sih. Kamu mendoakan Ayah, ya?"
Almera menepuk keningnya. Ayahnya selalu saja mengelak.
Ia hanya menghawatirkan Ayahnya, apa itu salah, sungguh keras kepala sekali Ayahnya itu.
"Bukan begitu, Ayah. Almera hanya menghawatirkan Ayah saja," kata Almera penuh perhatian.
"Ayah baik ... ADUH! Aw!" Arya memegangi dadanya yang terasa sesak.
Ia limbung tanpa bisa di cegah dan tak ada yang menahan. Masih terdengar jeritan Arya.
"Ayah! Ayah!" teriak Almera melihat wajah ayahnya tak lagi terlihat dari ponselnya. Ia hanya bisa mendengar rintihan kesakitan Ayahnya.
"Ayah!" pekik Almera berusaha memanggil Ayahnya meskipun itu tidaklah mungkin.
Arya terjatuh sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia menatap orang-orang meminta pertolongan, tapi mereka semua malah menatapnya tanpa niatan menolong.
Ia mengepak-ngepakan lengannya yang masih bertenaga. Ia terjatuh dengan mengenaskan, jas mahalnya terkena kotoran tanah kotor di bawahnya.
Arya hanya bisa berdo'a dalam hati agar seseorang bisa menolong dirinya. Memejamkan matanya dengan pasrah, percuma ia meminta orang itu menolongnya.
"Pak, apa bapak baik-baik, saja?"
"Sini, Pak saya bantu."
"Pak?"
Arya membuka matanya, menatap siapa yang menolong dirinya dengan haru. Ia mengangkat lengan kanannya, memegang lengan orang itu dengan lemah.
"Bapak baik-baik saja?" Arya bisa melihat ketulusan dalam mata sang penolong.
Ia sangat bahagia, masih ada yang menolong dan berbuat baik seperti orang itu. Gagah sekali lelaki ini, sepertinya cocok untuk Almera. Dalam kesempitan, Arya malah memikirkan itu.
"T-tolong s-saya, Nak," kata Arya lemah. Ia menepuk-nepuk pelan bahu lelaki itu.
Perasaannya menghangat. Ia tersenyum meskipun dadanya masih terasa nyeri.
"Ayo, pak, saya bantu."
Arya melupakan putrinya yang masih berteriak tak jelas dalam vidio call yang masih tersambung, ponsel Arya tergeletak membalik.
"Ayah!"
*Rencana Busuk*
Almera berjalan dengan tergesa. Ia melupakan tas mahal miliknya di ruangannya. Ia terlalu khawatir mendengar rintihan ayahnya tadi.
Ia setengah berlari. Membuat para mahasiswa yang melihat dirinya berlari mengernyitkan kening keheranan.
Almera tak pernah sekalipun berlari dengan raut wajah khawatir. Perlu diingat, Almera adalah sosok dengan wajah datar tanpa ekspresi, melengkapi sisi killer yang menjadi julukannya.
"Almera, kamu mau kemana?" pekik salah satu teman dosennya dengan keras. Ia menghentikan langkah Almera di depannya.
"S-saya ingin pergi ke rumah sakit dulu, Sha," kata Almera kepada Shaly-- dosen Budgeting.
"Siapa yang sakit, Mera? Coba, kamu tenang dulu, apa kita ke kantin dulu sebentar?" kata Shaly mengusap bahu Almera menenangkan.
Dirinya pun tak pernah melihat Almera mengeluarkan ekspresi selain datar andalannya. Ini tampak sangat panik.
Almera mengatur nafasnya denga cepat. Rasa khawatir akan keadaan ayahnya membuat dirinya sangat berantakan. Almera yang sangat rapi kini berbanding terbalik.
"Kamu tenang dulu, ya, Mera," kata Shaly. Ia membenarkan rambut Almera yang bercabang akibat lari-larian tadi.
Shaly berpikir, sepertinya orang yang dikhawatirkan Almera sangatlah penting. Wajah pucat Almera menjelaskan semuanya.
"A-ayah saya ... penyakitnya kambuh," kata Almera pelan. Ia masih saja mengatur nafanya agar teratur. Memegang lengan Shaly meminta pegangan agar dirinya tak limbung.
"Astaga, kok bisa, sih. Ya sudah, biar aku anterin aja, ya?" tawar Shaly. Ia tak tega melihat Almera, ia dengan segan menawarkan tumpangan.
Almera menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak suka merepotkan orang lain, ia sangat suka mandiri.
"Tidak apa, saya bisa sendiri," kata Almera. Terdengar ketus, namun itulah Almera, Shaly memaklumi sikap Almera.
"Aku anterin saja, deh. Aku takutnya kamu panik."
"Saya bisa jaga diri saya sendiri. Terimakasih telah menghawatirkan," kata Almera mencoba tersenyum terpaksa. Ia menghargai ajakan Shaly, tapi ia tak mau merepotkan orang lain.
"Ya udah. Kamu ... mau naik apa ke sana? Rumah sakit mana? Biar nanti aku nyamperin kamu," kata Shaly. Ia melihat Almera yang menepuk pelan dahinya.
"Ada apa?" kata Shaly bingung.
"Saya lupa membawa tas saya. Kunci mobilnya di sana," kata Almera. Ia membalikan badannya, bermaksud membawa tas nya di ruangannya. Untung saja ia dihadang Shaly yang membuat dirinya bisa membali ke ruangannya.
"Baiklah, makasih," kata Almera lagi. Ia melengos, meninggalkan Shaly yang mungkin kesal akan tingkahnya yang menyebalkan.
Lagi-lagi Almera terlihat ceroboh. Bagaimana ia bisa melupakan tas yang sangat penting itu. Ia menggerutu sepanjang jalan.
Ia juga melupakan hal yang paling penting di sini. Ia melupakan bertanya di mana ayahnya di rawat. Hari ini Almera sangat ceroboh.
"Menyusahkan saja," kata Almera menggerutu.
Setelah mengambil tas, ternyata keberuntungan belum berpihak padanya. Sial!
Almera lagi-lagi menggerutu. Mobil kesayangannya-- Melly tak mau menyala. Ia sudah mencoba beberapa cara agar mobilnya bisa kembali menyala, tapi itu sia-sia.
Almera tak tau harus bagaimana. Ia memukul pelan kap mobilnya yang masih tak berfungsi dengan kesal. Ia celingukan melihat siapa tau ada yang akan membantu dirinya.
Meskipun ia jarang berbuat baik, ia masih mengharapkan orang lain berbuat baik padanya. Saling membutuhkan, kan. Itulah hidup, harus dijalani.
"Mobilnya kenapa, Bu?"
Almera mendongkak, menatap seseorang yang menjulang di depannya, menyipitkan matanya yang sipit karena cahaya yang sangat silau.
"Apa mogok?" tanyanya lagi. Almera hanya melipat kedua lengannya, menatap Lucky-- orang yang bertanya itu dengan bingung.
Mengapa tiba-tiba mahasiswanya yang terlihat sangat tak menyukai Almera datang mendekat. Almera jadi merinding jika mengingat apa yang tadi dikatakan salah satu teman Lucky.
"Ngapain, kamu?" kata Almera terdengar ketus. Ia memundurkan badannya, memberi jarak antara dirinya dan Lucky.
"Saya lihat-lihat, ibu sedang menghawatirkan sesuatu? Benar?" kata Lucky dengan jurus senyuman nya yang sungguh memikat.
Lucky itu salah satu mahasiswa tampan, berwajah tegas di hiasi bulu mata yang lentik dan alis tebal.
"Iya. Ada apa dengan kamu?" tanya Almera heran. Ia menelisik ekpresi Lucky yang biasa-biasa saja di penglihatannya. Tanpa adanya rasa benci, kah?
"Ibu ini kenapa, sih? Saya hanya nanya, Ibu," kata Lucky terdengar kesal di telinga Almera.
Apa yang salah? Ia hanya menanyakan itu dengan baik-baik, tak ngegas. Apa itu terdengar buruk, ya?
"Ya sudah. Aku naik taksi saja!" Almera melengos, membalikan badannya.
Ia melangkah dengan anggun. Ia berjalan menjauhi Lucky dan mobil kesayangannya, tanpa mengatakan satu kata pun pada Lucky.
"Dasar perawan tua!" gumam Lucky kesal. Tapi, ia berusaha menetralkan rasa kesalnya, ia mengejar Almera dengan kaki-kaki panjangnya.