Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 4

Ervin Aditya POV

Walau aku bukan orang kaya, dan pernikahanku dengan Luna didasari atas pernikahan kontrak, aku merasa tetap berkewajiban memberikan apa yang sepatutnya diberikan kepada wanita yang akan menikah dari calon suaminya. Aku berusaha memberikan yang terbaik kepada Luna semampuku. Aku mengajaknya belanja Senin siang ini ke Ambarukmo plaza. Pernikahan kami hanya kurang 2 minggu lagi dan berbeda denganku yang terlihat sibuk tidak jelas serta was-was menuju hari H, aku melihat calon istriku ini sangat santai, bahkan masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Seolah rencana pernikahan kami hanya sebuah mimpi baginya atau aku yang terlalu bersemangat?

"Lun, kamu mau isi seserahannya apa saja? Kamu pilih sendiri saja, aku nggak mau milihin, nanti nggak sesuai sama selera kamu dan malah nggak kamu pakai."

"Memang harus ya, Vin? aku rasa nggak perlu sih, soalnya aku lagi nggak pengen belanja."

"Lun, aku tau kalo aku saat ini belum mampu beliin kamu barang branded seperti apa yang dipakai Hilda, tapi aku pengen pernikahan kita selayaknya orang pada umumnya."

Bukannya marah Luna malah tertawa, sepertinya aku akan menikahi wanita yang kurang waras, "apa kamu bilang? Barang branded kaya yang dipakai Hilda?"

"Enggak deh, Vin. Aku nggak mau kamu kasih seserahan yang isinya style-nya Hilda."

"Tapi itu kewajiban aku. Kamu paham kan maksudku?"

Salah satu sifat jelek Luna yang mulai aku tau sekarang adalah tipikal orang yang memggampangkan segala urusan diluar urusan bisnisnya.

"Aku paham, mengerti dan memahami tapi apa harus mengeluarkan uang sebanyak ini cuma untuk beli barang yang kita sudah punya dan hanya untuk dipamerin ke orang yang hadir diacara nikahan kita?"

Aku melihat Luna bersedekap sambil menatapku.

"Serendah rendahnya aku, aku akan berusaha menjaga harga diri kamu di depan keluarga kamu, Lun. Aku mau memperlakukan kamu selayaknya calon istri."

Aku melihat Luna menghela nafas.

"Okay, Vin. Aku mau kamu beliin tapi nggak usah di sini, kita cari yang murah-murah saja."

Akhirnya Luna mengajakku ke sebuah rumah di daerah dekat jogja tronik, aku melihat rumah ini seperti pabrik sepatu.

"Vin, sandal seserahan buat di sini aja, aku sudah langganan di sini, harganya murah kualitasnya bagus."

"Kamu sering bikin di sini?"

"Iya lumayan sering sih, soalnya dulu di ajakin Nada, kan Nada kakinya gede tu, jadi susah cari ukuran sepatu perempuan merek lokal, akhirnya kadang dia bikin disini atau beli di luar negri."

"Oh, okay nggak pa-pa. Yang penting besok kamu pakai setelahnya."

Aku hanya mengeluarkan uang sebesar 150 ribu untuk sepasang sepatu. Begitu murah untuk ukuran seorang wanita sesukses Luna. Kemudian Luna mengajakku ke deretan toko di jalan Solo. Di sini berjejer toko kain dikiri dan kanan jalan. Luna mengajakku memilih kain untuk seserahan. Dan ketika aku menyadari kalo Luna akan mengajakku pulang, aku bertanya padanya.

"Lun, disini ada butik emas?"

"Ada, di deket Lippo Mall, kenapa Vin?"

"Kita mampir ke sana sebentar ya?"

"Okay," kata Luna lalu dia memberi arahan padaku kemana aku harus mengambil jalan. Karena kami mengambil jalan tikus.

Aku memarkirkan mobil Luna di area parkir butik emas, kemudian kami berjalan ke depan dan menuju seorang wanita yang merupakan pegawai butik emas.

"Selamat siang," sapa wanita itu ketika kami telah duduk di hadapannya.

"Siang Mbak, saya mau beli LM untuk mahar pernikahan, Mbak."

"Oh, baik bapak kalo untuk mahar, ada bagusnya kalo bapak memilih seri batik. Karena limited edition dan tentunya jarang dimiliki orang-orang. Nanti kalo mau dijadikan kalung ada bazel yang bisa bapak beli di sini," kata pegawai itu menerangkan. Luna di sebelahku masih setia mendengarkan pegawai butik emas di depan kami.

"Gimana Lun, sama bazelnya nggak?" Tanyaku pada Luna.

"LM-nya aja, Vin. Kebetulan aku nggak suka pakai perhiasan gede-gede."

Aku menganggukkan kepalaku.

"Mbak, saya ambil yang 10 gram 3 biji ya, Mbak? Seri Truntum kalo ada."

"Stock tersedia, Bapak. Mau di bayar menggunakan kartu, transfer atau cash?"

"Gesek debet bisa, Mbak?"

"Bisa, Pak."

Akhirnya aku membelikan Luna sebagai mahar pernikahan kami adalah 3 buah Logam mulia seri batik Truntum karena makna yang terkandung dari motif tersebut.

Truntum adalah lambang kesetiaan. Cinta yang tulus tanpa syarat, abadi semakin lama semakin subur dan berkembang. Karena itu aku memilihnya, walau aku tidak yakin Luna sendiri tau dan paham makna yang terkandung didalamnya.

"Lun, kamu tau nggak kenapa aku milih seri batik Truntum?"

"Nggak Vin, aku taunya LM ya LM 24 karat gitu doang," kata Luna sambil tertawa di dekatku. Si Mbak pegawai butik emas ikut tersenyum.

"Ibu harus bersyukur punya calon suami seperti bapak ini. Jarang ada suami yang seperti ini."

Luna tersenyum dikursinya. Kemudian aku mengeluarkan kartu Debetku dan menyerahkannya kepada pegawai butik emas untuk membayar LM tersebut.

Setelah keluar dari butik emas, aku mengajak Luna makan di Raminten. Setiap ke Jogja, aku tidak pernah melewatkan waktuku untuk menikmati hidangan dari Raminten. Walau makanannya biasa saja, namun suasana membuatku selalu rindu untuk datang kesini lagi dan lagi, walau hanya sekedar bersantai.

"Lun, kira-kira masih ada yang belum di beli nggak?" Tanyaku pada Luna.

"Sudah cukup lah, Vin. Toh sebagian kita beli online saja. Nanti aku kasih kamu tagihan buat bayarnya."

"Okay."

Aku memahami keinginan Luna. Menikahi wanita yang super sibuk itu berbeda dengan wanita yang hanya pintar menghamburkan uang. Baginya waktu adalah uang, sehingga waktuku dengan Luna pun tidak sebanyak orang-orang dengan pasangannya.

"Habis ini kamu bisa anterin aku ke bandara, Lun?" Tanyaku padanya, karena aku tidak mau mengganggu jadwalnya

"Bandara mana dulu?" Tanya nya padaku.

"Adisucipto, Lun."

"Okay, bisa kalo itu. Nggak terlalu jauh dari sini."

"Thank you."

Kemudian kami melanjutkan makan siang kami. Aku baru menyadari kalo Luna itu cantik, manis dan tidak terlalu banyak gaya. Hidupnya biasa saja walau kenyataannya dia bisa hidup luar biasa daripada orang-orang disekitarnya dengan apa yang ia miliki saat ini.

Selesai makan, aku langsung menuntun Luna di mana aku memarkirkan mobil Luna. Aku melajukan mobil Luna menuju bandara ketika sampai di Bandara aku berpamitan pada Luna.

"Lun, sampai ketemu 2 minggu lagi di acara nikahan kita. Aku pamit ya. Jaga diri baik-baik."

"Okay, Vin kamu juga. Titip salam buat ibu dan Jani, ya?"

"Iya, nanti aku sampaikan ke mereka. Bye."

"Bye."

Setelahnya aku meninggalkannya masuk dan Luna tancap gas untuk kembali ke kantor WO-nya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel