Part 3
Kaluna Maharani Atmaji Putra POV
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak terasa sudah 1 bulan ini aku dan Ervin menjalin hubungan bisnis diluar kewajaran. Kalo bisnis menghasilkan uang sebagai keuntungan, maka bisnis yang aku jalani bersama Ervin menghasilkan senyum bahagia di keluarga kami berdua.
"Akhirnya sold out juga lo mbak bentar lagi, gagal jadi perawan tua."
Kata-kata Ruben membuatku menghela napas bagai kuda, tanpa mempedulikan ocehan Ruben disebelahku yang sedang asyik ngemil brownies. Aku masih fokus pada laptop untuk mengecek pengajuan Gaji karyawan WO dan cafe dari bagian HRD. Setelah menyelesaikan tugas ini aku menutup laptop dan memandang Ruben.
"Ben, lo itu kaya pohon pisang, tau nggak?"
Ruben mengangkat kedua alisnya tanpa berbicara karena mulutnya penuh dengan brownies.
Aku tatap Ruben sambil bersedekap lalu aku melanjutkan kata kataku "Punya jantung tapi enggak punya hati. Kalo ngomong remnya blong, hati-hati itu mulut lo, nanti tabrakan sama sandal. Lama-lama sebelas dua belas lo sama Adam."
"Mbak, jangan gampang marahlah ya, lo kaya enggak kenal gue aja. Gue kan cuma bercanda," kata Ruben masih dengan senyum menghiasi wajahnya. "Masih enggak nyangka gue, calon kakak ipar gue, umurnya lebih muda daripada gue. hahaha," suara tawa Ruben memenuhi ruang makan rumahku.
Aku seketika mengingat kejadian semalam ketika Ervin datang bersama keluarganya melamar di rumah orangtuaku. Semua keluargaku bahkan sampai pakdhe dan bude yang tinggal di Jepang rela jauh jauh datang ke Jogja hanya untuk mengikuti prosesi lamaran yang akan dilanjutkan dengan acara pernikahan 1 bulan lagi karena Ruben sudah tidak sabar ingin menikahi pacarnya yang sudah dipacari 8 tahun. Pacaran rasa KPR rumah kalo kataku karena saking lamanya.
Lima puluh persen keluargaku yang hadir semalam menitikan air mata, karena akhirnya yang mereka takutkan bahwa aku tidak memiliki jodoh di dunia itu tidak benar adanya. Ternyata aku hanya lahir terlalu cepat daripada jodohku.
"Aduh Lun, kamu pinter banget milih jodoh, udah ganteng, sopan, keluarganya juga sayang sama kamu lho kalo dilihat lihat," salah satu contoh pujian sopan yang datang padaku semalam dari Tante Liz, adik Mamanya.
"Kalopun harus jadi perawan tua dulu, asal jodohnya kaya mas Ervin, aku siap lahir batin mbak," komentar laknat dari adik sepupuku, bernama Olivia yang tidak tau diri, sudah datang bareng pacarnya, masih saja bisa memperhatikan Ervin.
"Mbak, lo yakin bakalan nikah di KUA doang? Tanpa resepsi ?" Suara Ruben membuatku tersadar dari lamunan.
"Iya, maunya gue gitu tapi Mama kekeh buat adain resepsi walau enggak langsung pas hari H juga."
"Gue setuju sama Mama, ini kan acara mantu pertama Mama dan Papa. Jadi mereka mau undang semua orang."
"Buat apa sih buang-buang duit, mending duitnya di taruh di pasar saham aja, bisa jadi cuan daripada cuma di habisin buat hal kaya gini."
Aku berusaha beralasan selogis mungkin karena tidak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Ruben, bisa habis aku kalo Ruben tau yang sebenarnya.
"Susah emang kalo ngobrol sama orang pelit. Udah ah gue mau balik, sampai ketemu d RUPS* besok hari Senin."
(*RUPS: Rapat Umum Pemegang Saham)
***
Ervin Aditya POV
Weekend ini aku habiskan bersama keluargaku di kota Gudeg. Selain karena acara lamaran, aku juga berniat mengajak keluargaku untuk menikmati liburan singkat. Ya walau hanya keliling Malioboro, keraton, taman sari dan beberapa tempat populer untuk wisata di jogja. Aku beruntung dipilih oleh Luna sebagai calon suaminya. Aku bisa merasakan Luna sangat tulus kepada keluargaku terutama ibu dan Jani. Hanya saja kejadian tadi siang ketika Luna menemani kami jalan jalan membuatku sedikit marah karena Tanteku sedikit merendahkan ibu di depan Luna. Aku tidak masalah ketika orang menghina aku anak haram atau apapun itu tapi tidak dengan ibuku, yang aku tau bagaimana perjuangannya membesarkanku sebelum akhirnya bertemu dan menikah dengan Rahadian, ayah kandung Jani yang dengan sukarela menerimaku tanpa mengungkit masa lalu ibuku.
"Vin, kamu beruntung ya walau kamu anak haram tapi kamu bisa dapat calon istri yang sukses, dari keluarga terpandang, kaya lagi. Enggak sia sia itu wajah bule kamu itu," kata tante Anita yang aku ajak ke acara ini karena ibu yang meminta.
Seketika kami yang sedang dalam acara makan siang di salah satu restoran keluarga berhenti menikmati hidangan masing masing. Aku melihat ibu diam seribu bahasa bahkan menundukkan wajahnya. Sedangkan Luna menatap Tante Anita dengan tatapan yang sulit aku artikan.
Andai saja tante Anita itu laki laki ingin aku hajar rasanya detik ini juga. Ketika emosiku sudah hampir meledak mendengar kata kata tante Anita, aku merasakan tanganku disentuh kemudian digenggam dengan lembut, namun semakin lama genggaman itu semakin kuat aku rasakan. Aku melirik Luna yang duduk di sebelah kiriku, dan Luna menoleh kepadaku, mengirimkan sebuah senyum termanisnya lalu menghadap depan lagi, lebih tepatnya memfokuskan tatapannya kepada tante Anita.
"Maaf Tante, bukan Ervin yang beruntung mendapatkan saya, tapi saya yang beruntung mendapatkan Ervin karena Ervin adalah laki laki baik yang menyayangi keluarganya terlebih ibunya. Dan satu hal lagi Tante, saya harap Tante lebih bijak dalam bertutur kata. Karena kata kata Tante barusan bisa melukai orang lain."
Kami semua yang di meja ini langsung memfokuskan pandangan pada Luna. Luna yang ditatap hanya cuek saja, fokusnya masih kepada tante Anita.
"Saya harap mulai saat ini Tante berhenti menghina calon suami saya dengan sebutan anak haram."
Luna mulai berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan kami semua yang masih terdiam akibat kejadian barusan. Ketika menyadari Luna melangkahkan kakinya keluar dari restoran bergaya castil tersebut, aku mengikutinya.
Luna menghentikan langkah di depan mobilnya. Aku melihat Luna mengusap pipinya dan sedikit terisak. Aku tidak menyangka justru Luna lah yang tersakiti oleh kata kata Tante Anita yang sudah sejak dulu terkenal memiliki kata kata setajam silet itu.
Aku berjalan mendekatinya, mencoba memanggil namanya. Luna yang tidak menyadari kehadiranku, tampak kaget sebelum membalikkan badannya menghadapku.
"Kamu ngapain ikut ke sini? Kamu di dalam aja, sebentar lagi aku masuk."
Luna gila kalo menyuruhku untuk pergi meninggalkannya dalam situasi seperti ini. Aku adalah penyebab ia terluka, andai dia tidak mengenalku, mungkin dia tidak akan terluka oleh kata kata tanteku sendiri. Aku tidak menjawab pertanyaan Luna, aku hanya berjalan mendekatinya dan memeluknya. Aku tau Luna kaget dengan aksiku ini karena aku merasakankan kakunya badan Luna dalam pelukanku.
"Makasih ya, karena kamu mau terima aku apa adanya," gumamku pelan di dekat telinganya.
Hanya anggukan kepala Luna dan sedikit isakannya yang menjadi jawabannya.
***
Kaluna Mahrani Atmaji Putri POV
Hari ini sebagai calon mantu yang baik dan semoga menjadi calon mantu idaman, aku menemani Ervin dan keluarganya keliling Jogja. Pagi hari aku sudah menjemputnya di Guest House milik Eyang Astuti, sepupu Eyangku. Aku sengaja menginapkan mereka disana karena aku merasa fasilitas disana sangat lengkap, dengan rumah bergaya tradisional modern, fasilitas lengkap bahkan kolam renang pun ada. Ketika sampai disana aku di sambut oleh Ibu yang berjalan pelan menghampiriku dan memelukku. Kemudian ibu menuntunku ke teras samping, mengajakku ngobrol berdua, ternyata Ervin masih tidur karena semalam baru pulang dari Raminten dini hari. Kami duduk di kursi taman sambil memandang ikan-ikan koi di dalam kolam yang berwarna indah itu.
"Nak," panggil ibu padaku.
"Ya, bu?"
Aku melihat ibu menatapku dalam, sambil tersenyum, tangannya menyentuh tanganku lembut.
"Ibu titip Ervin sama kamu ya? Tolong jangan tinggalkan Ervin sendiri, karena waktu ibu untuk menemani Ervin sudah tidak lama lagi."
Aku berusaha tertawa kecil, untuk mencairkan keadaan yang berasa kaku ini.
"Ibu nggak boleh bilang gitu, ibu bakalan lihat Ervin punya anak, bakalan main sama cucu-cucu ibu. Lagian ibu ini kebalik kalo bilang Luna jangan ninggalin Ervin, harusnya Ervin yang dikasih tau."
Ibu ikut tertawa kecil disebelahku. Pandangannya kini jatuh pada ikan-ikan koi di depan kami duduk.
"Ervin sudah ibu kasih tau semalam."
"Terus Ervin jawab apa Bu?"
"Ervin bilang, mungkin kamu yang akan ninggalin dia kalo tau Ervin anak yang lahir tanpa seorang ayah."
"Hanya 3 hal yang bisa membuat saya meninggalkan Ervin Bu."
Ibu menatapku, seakan ingin tau apa yang bisa membuatku meninggalkan anaknya yang ganteng itu.
"Kalo Ervin tidak bertanggung jawab, selingkuh dan KDRT sama saya, ya maaf-maaf saja Bu, saya nggak perlu mikir beribu kali untuk ninggalin Ervin."
Aku sengaja menyebutkan kriteria suami idaman dalam arti sebenarnya yang aku harapkan dalam sebuah pernikahan versiku, tapi aku tidak memiliki hak untuk meminta itu dari Ervin. Aku ini siapanya Ervin? Hubunganku dengannya juga hanya dilandasi kontrak selama satu tahun kedepan. Mengharapkan memiliki rumah tangga layaknya orang normal pada umumnya jelas bagai punguk merindukan bulan.
Tidak lama kemudian, Jani datang bersama Ranu dan suaminya yang bernama Bayu. Aku baru tau kalo Bayu bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan Jani sementara tidak bisa mengikuti suaminya karena menjaga ibunya. Kami ngobrol bersama di halaman samping rumah ini hingga akhirnya Ervin datang dan tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. Mau tau rasanya? Rasanya merinding, asli aku salting, bahkan wajahku jadi merah ketika Ervin mencium rambut di kepalaku.
"Wangi, kamu habis keramas ya?" Komentarnya, aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Bibirku sudah kelu duluan merasakan sentuhannya di tubuhku.
"Mas, belum halal, jaga sikap," protes Jani pada Ervin, tapi Ervin tidak menggubrisnya.
"Sirik aja jadi orang, kaya nggak tau aja semalem kamu ngapain sama Bayu di meja dapur."
Mau tidak mau pikiranku traveling mendengar ucapan Ervin. Sial, si Ervin pagi pagi sudah bikin moodku jungkir balik. Pikiranku jadi kotor perlu di sapu kalo perlu dipel.
"Kita udah halal, mas Ervin belum. Sabar sebulan doang," kata Jani.
Karena tidak mau berlama lama membahas adegan yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik ini, aku mengajak semuanya untuk segera berangkat.
"Yuk, kita berangkat aja, nanti keburu siang, aplagi harus jemput tante Anita di hotel juga."
Tantenya Ervin yang satu ini memang titisan Bu Tejo utuh, tanpa kurang sedikitpun. Sejak awal bertemu dengannya semalam aku kurang nyaman, aku yakin bukan cuma aku orang yang kurang nyaman berada di dekatnya.
Mana sok gaya lagi tidak mau menginap di sini, minta d hotel, mau tidak mau Ervin harus menyewakan kamar untuknya dan suaminya. Kadang aku tidak tega melihat interaksi Ervin di keluarga besarnya. Ervin seperti tidak di anggap keberadaannya, bahkan seperti di sepelekan. Aku bisa melihat luka itu di matanya.
Kami pergi dengan dua mobil, aku sengaja meminjamkan Ervin satu mobilku yang tidak terpakai di rumah. Sebuah Range Rover hitam. Ibu, Ranu, Bayu dan Jani mengendarai range rover itu, sedangkan aku dan Ervin di mobilku yang satunya, sebuah Audi R8 2021 berwarna samoa oranye.
Ketika kami sampai di hotel, ternyata hanya tante Anita saja yang akan ikut, sedangkan suaminya tidak ikut karena akan bertemu teman sekolahnya yang kebetulan tinggal di Jogja. Aku bisa melihat bola mata tante Anita yang mau copot dari matanya ketika melihat mobilku. Sedangkan beberapa wanita yang melihat Ervin tadi di loby sudah memberikan tatapan mendamba karena Ervin terus menggandengku padahal asli, aku tidak minta di gandeng. Aku bisa berjalan sendiri dan aku jamin aku tidak akan nyasar di sini.
Aku kira hanya ketika di loby tadi tatapan itu akan menghakimiku, ternyata dimanapun aku dan Ervin pergi, tatapan sebagian besar wanita akan mengarah kepada kami, aku tidak GR, aku
Cukup tau dan mengerti arti tatapan tatapan ini, dan mulai sekarang aku harus berlatih untuk terbiasa menjadi bahan ghibahan orang yang tidak aku kenal, siapa tau kalo lulus bisa jadi artiskan.
Ketika menjelang siang, Tante anita sudah merengek minta makan, sebenarnya aku dan Ervin ingin mengunjungi mangut lele Mbah Margono, tapi tante anita minta diajak makan di salah satu restoran dengan gaya bangunan unik di jogja, berbentuk castil. Akhirnya dengan persetujuan ibu, aku menyuruh Ervin melajukan mobilku ke arah jalan godean, dan Bayu mengintili kami dibelakang.
"Asli deh, Tante kamu itu pengen banget aku remet."
Ervin tertawa mendengar ocehanku. "Lebih bagus lagi kalo kamu bisa wakilin aku ngelakuin itu."
"Kamu nggak keberatan aku gituin dia?"
"Enggak, tenang aja, aku malah bakalan bilang terimakasih kalo kamu bisa."
Merasa sudah mendapatkan persetujuan untuk menjalankan apapun yang aku mau ke Tante Anita kalo tante Anita berani-berani "nyenggol "aku atau orang orang terdekat aku yang aku sayang. Aku tidak akan tinggal diam, jangan salah, Kaluna Maharani Atmadji Putri itu bukan perempuan lemah yang nggak punya taring. Aku ini wanita yang di lengkapi cakar bahkan racun yang bisa membunuh jika itu diperlukan.
Makan siang itu awalnya berjalan normal hingga tante Anita mulai membuka mulutnya yang seperti tidak pernah di doakan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menghina bagi ibu dan Ervin, tidak bisa aku terima. Dia salah kalo aku hanya akan diam saja menerima itu semua. Saat ini baik Ervin, ibu ataupun Jani beserta keluarganya sudah aku anggap keluargaku sendiri, bagiku ada yang menghina mereka sama dengan menghinaku.
Aku balas kata-katanya. Agar dia sadar tidak semua orang bisa diam saja mendengar ocehannya. Karena aku tidak bisa menahan bendungan air mataku yang sebentar lagi jebol, akhirnya aku bangkit dari kursiku dan keluar menuju parkiran.
Diparkiran aku mulai terisak, tapi aku mencoba menahan semuanya, aku membayangkan bagaimana ibu dan Ervin hidup dengan hinaan sedemikian rupa dari keluarganya sendiri. Bagiku keluarga adalah tempat dimana aku bisa mencari penguatan bukan seperti tante Anita, keluarga kok malah menghancurkan. Pengen aku remet remet sampai jadi perkedel terus aku jual di rumah makan Padang.
"Lun.. Luna," aku mendengar Ervin memanggilku.
"Kamu ngapain ikut ke sini? Kamu di dalam saja, sebentar lagi aku masuk."
Ervin tidak menjawab, dia berjalan mendekatiku dan memelukku. Pelukan yang ringan tapi entah kenapa aku masih belum bisa santai dengan segala sentuhannya yang mengenai tubuhku, yang ada ketika Ervin menyentuh bagian tubuhku aku akan menjadi tegang. Aku justru makin terisak ketika mendenger Ervin berbisik di dekat telingaku "Makasih ya, karena kamu mau terima aku apa adanya."
Aku hanya mampu menganggukkan kepalaku. Ya Tuhan, aku tidak menyangka seorang Ervin Aditya menyimpan luka itu sendiri dan berusaha kuat di depan ibunya.
Aku adalah orang yang mengurai pelukan itu lebih dulu sambil berucap, "kalo kamu sakit, aku juga sakit."
Ervin hanya tersenyum sambil membelai samping kepalaku.
"Buat kedepannya aku enggak akan diam saja kalo Tante Anita kaya gini lagi, bahkan orang lain."
"Iya, sekali lagi makasih ya Lun, yuk ... kita masuk lagi, peperangan belum berakhir."
***