-sembilan-
"AAA!!!"
Mobil sport hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi, terpaksa mengurangi kecepatannya secara drastis. Walaupun berhasil menghentikan lajunya, tak membuat gw selamat begitu saja. Tubuh gw terdorong dan menyebabkan terantuknya kepala gw ke aspal.
Sama-sama terkejut, pengendara mobil baru keluar dari mobil nya setelah beberapa waktu.
"Lo-lo ga-gapapa?"
Suaranya bergetar menyiratkan keterkejutan dan kekhawatiran. Gw mencoba menangkap wajah pengendara mobil dan seketika kebencian menyeruak. "LO?!"
"Elo?! Gw udah ngomong ya! Jalan tuh jangan cuma pake mata sama kaki! Otak juga pake!"
"Lo sendiri pakai otak nggak?! Udah nabrak bukannya minta maaf!"
"Lo nyalahin gw?! Gw tau, lo sengaja ngikutin gw dan nyelakain diri lo untuk minta gw tanggung jawab! Biar lo dapat kesempatan deket sama gw?! Hah?!"
Panasnya aspal yang telah dipanggang seharian oleh mentari seperti menularkan suhu nya pada suasana hati gw. Parahnya gw masih sempat memikirkan bagaimana awan amat berguna menahan panas yang benar-benar membakar seperti ini.
"Tarik semua omongan lo! Gw sama sekali gak berharap tanggung jawab lo! Bahkan gw berharap untuk gak kenal sama lo!"
Bryan mendengus meremehkan, "Bilang aja lo malu setelah gw buka kedok lo!"
Tangan gw reflek terangkat. Ingin rasanya bersikap sesuka gw kalau aja gw gak berotak dan memikirkan masalah yang akan dia dapat.
Gw membayangkan bagaimana orang tua nya akan memaksanya untuk meminta maaf pada gw jika tau akan hal ini.
"Apa?! Lo mau nampar gw?!" tantangnya.
"DASAR COWOK BRENGSEK!"
Gw memilih menjauh dari cowok ini. Namun belum berapa langkah gw berjalan, tangan gw tertahan. "Apa?! Belum puas lo ngerendahin gw disini? Lo sendiri yang bilang kalau gak mau tanggung jawab. Lagipula gw nggak butuh! Jadi urusan lo dan gw udah kelar! Gw gak akan ngebahas hal gak penting ini asal lo nggak ganggu gw."
Gw menghentak tangan gw agar lepas dari genggamannya. Namun sia-sia, cengkramannya terlalu kuat untuk gw lepaskan gitu aja.
"Lo ikut gw!"
Dia menarik gw ke mobil nya. Membuka pintu penumpang sebelah kemudi.
"Masuk!"
"Gak mau!"
"Gece! Masuk!"
Tanpa aba-aba, Bryan mendorong gw memasuki mobil seperti yang pernah ia lakukan. Tanpa rasa bersalah ia membanting pintu dan beralih ke kursi kemudi. Langsung melajukan mobil tanpa persetujuan gw.
Gw benar-benar ingin mengumpat untuknya. Sikapnya layak manusia terkaya di dunia. Terlintas niat untuk langsung membandingkan FD Corps dengan Adams Corp.
Kebetulan gw mengetahui bahwa ayah cowok belagu ini adalah pemilik Adams Corp, salah satu kolega lama ayah.
"Mau kemana sih?! Lo yang bilang gak mau tanggung jawab! Ngapain pakai acara nyulik gw?! Cuma gegara luka ini gw gak akan mati! Gw gak lemah kayak lo!" omel gw sedikit gelisah. Setidaknya jika ia menurunkan gw di tengah jalan lagi, matahari masih bersinar. Namun gw khawatir dia membawa gw ke daerah yang tak gw ketahui.
"Bacot! Gw gak peduli lo mau gimana! Tapi gw harus mastiin lo gak akan ngebahas masalah ini dan nyeritain yang nggak-nggak di luar."
"Really?! Owh God, what's going on in your damn mind? Gak ada pikiran baiknya sama sekali apa?! Bukannya fans lo banyak? Kenapa takut sama gw yang hanya deket sama Nana?!"
"Gw bilang gak usah banyak bacot! Pokoknya kalau abis ini ada berita yang nggak-nggak di luar, lo abis sama gw."
"Lo kira gw takut? Sorry. Gw bukan tipe cewek yang takut dengan bullshit. Sekarang turunin gw!"
"Shut your fuckin' mouth up! Gw bawa lakban item. Tutup mulut lo kalau gak mau nyesel!"
"Lo mau bawa gw kemana?!" omel gw lagi, namun lengannya terjulur ke bawah kursi dan mengeluarkan lakban hitam.
"For the last time, shut up." Gw akhirnya mengalah daripada mengambil resiko dengan menentangnya dan akhirnya benar-benar celaka.
Mobil sport hitam ini berhenti di tanah lapang yang diselimuti rumput hijau terawat. Di tengah tanah lapang ini berdiri rumah pohon yang cukup besar.
Bryan keluar dari mobil. Dia mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu rumah pohon itu.
Apa rumah pohon ini punya dia?
Gw ikut keluar dari mobil. Tak memikirkan bagaimana respon belagunya karena gw memasuki rumah pohon ini.
"Gw gak nyuruh lo kesini." ucapnya tanpa menghadap gw.
"Siapa lo nyuruh-nyuruh gw? Lagian gw gak nyuruh lo bawa gw kesini." balas gw tak kalah sengit.
Gw masuk dan mendapati beberapa pajangan di dinding. Semua handmade. Kreatif juga cowok ini kalau memang buatannya. Ada quotes, ada benda-benda yang digantung dengan keterangan dibawahnya, dan ada foto Bryan dengan Karel, Charlie, Peter, dan... Marvel.
"Ini bukan urusan lo!"
Bryan langsung mengambil foto yang tadinya sudah ditempel rapi di dinding dan memasukkannya dalam kantong.
Dengan bodohnya, gw penasaran dengan apa yang terjadi antara cowok belagu dengan kakel galak itu. Memangnya gw siapa?
"Nggak usah ikut campur apa-apa kalau lo nggak mau kelibat masalah, coward."
"So-sorry..." ucap gw dan langsung gw sesali karena responnya.
"For God's sake, how long i must face this kind of little gurl?!"
Bryan melemparkan kotak P3K dan beralih meninggalkan gw sendiri di rumah pohon itu.
Memilih tak berlama-lama, gw hanya mengenakan plester di pelipis gw. Sedangkan telapak tangan yang lecet gw bersihkan dengan kasa beralkohol. Gw melakukan semua dengan cepat agar perih tak begitu lama terasa. Setelah selesai, gw meletakkan kotak P3K ke tempatnya semula dan keluar menyusul cowok belagu itu.
Gw mendapatinya duduk di atas kap mobil sambil bermain ponsel. Langkah gw mendekat langsung terhenti ketika melihat bungkus rokok di sisi roda. Sesaat gw terheran karena tidak ada aroma rokok yang menguar.
"Lo ngerokok? Gak bener banget sih lo! Gak ngehargain hidup! Kalo-" Ucapan gw terhenti tiba-tiba karena bekapannya.
"Apa sih?! Asal lo tau, gw masih lebih pinter dari cowok lo."
Alis gw bertaut mendengar ucapannya. Siapa cowok yang dia maksud?
Tak memusingkan lebih lama, gw mencoba melepaskan tangannya yang masih membekap mulut gw. Tapi bukan dilepaskan, dia malah mengalihkan tangannya ke dagu gw. Dia mengarahkan kepala gw ke kanan untuk melihat pelipis kiri yang baru gw tempeli plester. Dia tersenyum tipis. Amat tipis, sampai gw sedikit ragu dengan arti senyuman itu.
Dia memasuki mobil tanpa berucap apa-apa lagi. Gw hanya bisa berdecak dan terpaksa ikut masuk ke mobil.
"Lo mau bawa gw kemana lagi?" tanya gw penuh selidik karena sepertinya sejak beberapa detik lalu, bibir pedasnya itu terkena lem sehingga tak bisa melemparkan kalimat-kalimat iblisnya.
Bryan mendengus, "Sekolah. Lo berharap gw anterin ke rumah? Atau milih gw tinggalin di tengah jalan lagi?"
Gw menggeleng tak mengerti isi otaknya. "Gw heran, ada cowok semacam elo? Nyokap lo ngidam apa sih waktu hamil elo?"
"Hey lil' coward, nggak usah bawa-bawa nyokap gw. Nggak usah songong kalau nggak mau kenapa-napa."
"Gw gak akan songong kalau lo gak belagu!"
"Shut up!"
Merasa suasana hatinya semakin tidak baik, gw memilih mengalah dan diam daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ya walaupun berada disini pun bukan suatu hal yang gw inginkan. Gw tetap menyibukkan diri melemparkan pandangan keluar jendela.
Mata yang tengah gw manjakan untuk menikmati pemandangan jalan sore hari, tiba-tiba terfokus pada sesosok anak kecil yang tengah mencoba meraih balonnya yang tersangkut di pohon.
"Yant, stop Yant!" Perintah tiba-tiba gw membuat Bryan sedikit terkejut dengan menghentikan laju mobilnya paksa.
"Ada apa sih?!"
Gw memilih melepaskan seatbelt tanpa menghiraukan bentakannya. "Ada anak kecil mau ngambil balonnya di pohon," jelas gw singkat lalu beralih membuka pintu mobil. Namun kegiatan gw langsung terhenti karena cekalan di lengan.
"Jangan, Vee."
Gw mengernyit melihat tatapannya yang amat berbeda, "Kenapa? Anak itu bisa ketabrak mobil kalau nggak cepet-cepet ditolongin, Yant."
Bryan melepaskan cakalannya dan menggusar rambut frustasi. "Kalau lo yang ketabrak gimana?"
Gw hanya menggeleng, tak ingin melanjutkan debat dan kembali membuka pintu mobil. Kini gw tersentak. Belum gw bergeser, Bryan merengkuh pinggang gw agar tak berhasil keluar dari mobil.
"Gw akan nyesel seumur hidup kalau sampai anak itu ketabrak karena gw nggak nolongin dia."
Lengannya yang masih setia melingkar di pinggang gw langsung gw lepaskan. Gw beralih dari mobil untuk segera menghampiri anak itu. Untungnya balon tak tersangkut terlalu tinggi untuk gw capai sendiri.
"Mainnya jangan di jalan, bahaya banyak mobil." pesan gw dengan senyuman setelah mengembalikan balon itu.
Gw melambaikan tangan pada anak itu, senyuman polos nya membuat gw ikut merasakan kebahagiaan kecil yang sudah lama tak gw rasakan. Melihatnya sudah menjauh, gw berbalik untuk kembali ke mobil.
"Awas!"
Jantung gw berpacu berkali-kali lebih cepat. Minibus melaju kencang sepersekian detik setelah gw jatuh dalam rengkuhannya.
Bryan.
Entah sejak kapan ia mengikuti gw kesini. Namun itu tak gw pikirkan karena melihat tatapannya menggelap.
Ia menarik gw kasar ke bahu jalan. "Yant..."
Napasnya memburu sambil terus melayangkan tatapan tak terbaca. "I've told you-"
Bryan kembali menggusar kasar rambutnya. "Gladys..." lirihnya masih bisa gw tangkap sebelum akhirnya berbalik menuju mobil dan pergi meninggalkan gw di sana.
Pikiran gw cukup terganggu. Tatapan tak terbaca dan perubahan drastis emosinya benar-benar diluar dugaan. Gw tak mengerti alasannya. Gw hanya bisa menatap mobil yang melaju lagi-lagi dengan kecepatan tinggi itu menjauh dengan harapan pengemudi belagu itu masih diberi kesempatan hidup.
