Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

-dua-

EVE POV

"Tuh cowok nggak pernah bosen nyari masalah. Dari awal gw masuk sekolah sampe detik ini ada aja caranya buat mancing perdebatan," omel Nana di perjalanan kembali ke kelas.

Kami berhenti sejenak di depan pintu kelas yang suasananya sudah sedikit berubah. Lebih ramai dibanding beberapa waktu lalu.

"Tapi tangan lo gapapa kan? Nggak keinfeksi virus songongnya?"

Gw terkekeh, "Gapapa. Ya... dia ngibarin bendera perang, kita tanggepin. As long as Kak Mike nggak tau, ya no prob."

"Tapi gw pengennya ngelapor sekarang, gimana dong?"

Gw berdecak menatap sahabat sejak kecil gw ini, yang sayangnya harus berpisah setahun dengan gw karena ia lebih dulu pindah ke Indonesia, sedangkan gw baru tahun ini. "Jangan ah, jangan bawa-bawa kakak dulu. Nggak seru nanti."

"Kalo gw udah bawa-bawa kakak gimana?" tanya Nana yang gw yakini tengah memancing rasa penasaran gw. "Sama Ayah juga."

"Na?!" pekik gw tak sengaja ketika Nana membawa-bawa Ayah. Masalah kecil bisa menjadi amat rumit jika dihadapkan pada ke-overprotektifan Ayah!

Yang dibentak malah terkekeh. "Ketua komite mau dateng. Operasi semut, sekalian nyapa anak baru."

Gw menghela napas panjang, "Gw nggak mau semua langsung pada tau kalau gw anak pemilik yayasan!"

"Ntar bilang aja. 'Yah, jangan ngaku jadi Ayah nya Eve dulu ya.' gitu," ledek Nana membuat gw berdecak.

Dan benar saja. Belum berapa detik kami membicarakan kedatangan si ketua komite, beberapa siswa berlari panik menuju kelasnya sambil meneriakkan,

"Ketua komite beneran dateng woy!"

"Sir Edd dateng beneran!"

"Sama anak-anaknya!"

Kernyitan di dahi gw makin kontras terbentuk. Apa-apaan ini sampai Kak Di dan Kak Mike ikut mendampingi Ayah.

"Tuh, yang ngerasa anaknya ikut dampingin gih." ledek Nana lagi.

Gw akan saja mengusir Nana kembali ke kelasnya sendiri jika tak menangkap bayang beberapa orang yang berjalan bersamaan menuju ruang kelas sebelas.

Perhatian gw kembali teralih pada empat cowok yang tadi berkonflik dengan gw dan Nana. Walaupun sebenarnya yang berkonflik hanya satu cowok itu, namun anggap saja semuanya agar impas.

Gw sempat melewati sepersekian detik beradu pandang dengan cowok itu kala mereka memasuki kelas gw.

Gw berdecak. Bukan empat cowok itu yang tepatnya tadi menarik perhatian gw. Melainkan Ayah dan Kakak beserta beberapa staf guru yang berjalan ke arah kami.

"Diana, kamu tidak ke kelas?" tanya Ayah langsung ketika berhadapan dengan kami.

Gw bisa yakin seratus persen bahwa guru-guru yang mendampingi Ayah kini tengah was-was. Mereka tidak mau dianggap lalai dihadapan ketua komite.

"Kak Mike juga nggak ke kelas," balas Nana sambil menatap Kak Mike tajam.

"Ke kelas mu, Diana. Jangan tertinggal pelajaran." pinta Ayah lembut ditanggapi acungan jempol Nana yang segera beralih. "Siap, Yah- eh, Sir." ujar Nana yang memang terbiasa memanggil Ayah gw dengan sebutan Ayah juga. Namun kami menyepakati untuk menggunakan panggilan yang lebih formal saat di sekolah demi keprofesionalan.

"Bye, Vee!"

Gw membalas salam perpisahan singkatnya, dan memasuki kelas gw sendiri. Emosi gw sedikit tersulut kala tak mendapati tas gw di kursi tempat gw meletakkannya tadi. Apalagi kursi itu kini ditempati oleh cowok itu. Lagi-lagi cowok itu yang merusak hari-hari gw.

Memilih tak menciptakan permasalahan berhubung ketua komite telah memasuki kelas yang tiba-tiba sunyi ini membuat gw duduk di kursi di deret paling kanan. Sebelah cowok yang tadi menyelesaikan perdebatan gw dengan leader mereka. Tunggu.. benarkah menyelesaikan?

"Ini tas siapa?"

Kalimat pertama yang keluar dari mulut seorang ketua komite ketika memasuki kelas mengundang bisik-bisik penduduknya. Gw yang tak memiliki teman untuk ikut berbisik-bisik akhirnya hanya mencoba mencari tahu dengan duduk setegap mungkin untuk melihat penyebab keributan kecil.

Damn! Itu tas gw!

"Saya, Sir." ujar gw sambil mengacungkan tangan tanpa ragu. Lagi-lagi mengundang keterkejutan warga kelas yang semoga saja tak merasa terganggu dengan kehadiran anak baru yang bisa dibilang banyak tingkah (?). Namun kurangi keempat cowok itu dalam sebutan warga kelas tadi. Mereka samasekali tak menunjukkan keterkejutan. Entah memang tak peduli atau malah-

Kehadiran seseorang cukup menghindarkan gw untuk terhanyut lebih jauh dalam pemikiran. Kak Mike menghampiri gw sambil membawakan tas yang entah bagaimana ceritanya bisa berada di meja guru. Ia tak tersenyum mengejek seperti ketika berpapasan di depan kelas tadi. Kini tatapannya datar, menyiratkan curiga dan permintaan penjelasan di sana.

Gw memilih tak lebih lama saling tatap yang membuat seluruh kelas ikut melihat ke arah kami. "Makasih, Kak."

Sertakan keempat cowok itu sekarang. Bahkan leader mereka secara jelas menyuratkan tanda tanya di otaknya dengan kernyitan di dahi.

Dan kernyitan itu membawa gw pada mode was-was ketika sebuah kode dilemparkan satu sama lain.

*

Dehaman penuh sindiran sengaja gw keluarkan ketika cowok-cowok itu saling berbicara sambil menatap gw. Sehingga akhirnya meninggalkan kelas yang juga perlahan kosong karena jam istirahat.

Sejauh ini samasekali tak ada perkembangan antara hubungan gw dengan cowok-cowok itu atau bahkan dengan teman sebangku gw. Namanya Peter kalau nggak salah. Jadi jangan langsung menyalahkan gw seakan terlalu sensitif dengan sikap mereka. Memang mereka saja yang mengganggu.

Engh.. sulit dijelaskan! Mereka memang tak secara konkret mengganggu gw. Tapi kehadirannya saja sudah sangat menggangu! Ck!

"Anak baru!" Panggilan asing itu membuyarkan lamunan gw.

"Kenapa?"

"Lo tau kan ini jam istirahat? Aturannya kelas wajib kosong. Walaupun lo anak baru, kayaknya udah tertera deh peraturan FD di lembar pendaftaran."

Gw terdiam. Lagi-lagi jangan langsung salahkan gw. Salahkan Ayah yang membuat gw samasekali belum melihat data yang berhubungan dengan kepindahan. Itu keputusan Ayah untuk meminta bawahannya untuk mengurus semua. Gw tak campur tangan di sini.

"Gw ngomong sama lo."

"Um.." Gw benar berpikir tanggapan apa yang harus gw layangkan. "Iya, maaf gak baca peraturan nya. Gw keluar," ucap gw pada akhirnya dan langsung keluar membawa sketchbook dan pensil. Namun belum gw melewatinya, dia berhasil menahan tangan gw.

"Lo bisa lebih sopan? Gw ngomong kayak gini juga buat kebaikan lo. Kalau kena sama guru konseling, lo bisa diproses. Jadi gak usah bergaya sok tau di sini, karena lo belom tau apa-apa."

"Lepasin tangan gw. Sorry."

"Kalau lo gak suka dengan teguran gw, ga usah masuk FD. Lagipula gw kakak kelas lo, gak ada hormat-hormat nya dikit?" cecarnya dengan intonasi yang perlahan naik.

"Iya Kak, sorry. Sorry karna gw melanggar peraturan FD, sorry karna gak sopan sama lo, sorry karna gak menghormati lo sebagai kakak kelas. Tapi sorry juga karna gw gak punya waktu buat nanggepin lo sekarang. Gw mau keluar. Makasih." sarkas gw tanpa sadar.

Gw kembali ke tujuan awal, yaitu keluar dari kelas. Namun untuk kesekian kalinya di hari ini, gedung megah FD Highschool nampak melayangkan serangan baliknya atas penghakiman gw pagi tadi.

Seorang siswi dengan angkuhnya menghalangi jalan gw. Seolah dengan sengaja menekankan statusnya sebagai kakak kelas kepada anak baru ini. "Lo sadar nggak kalau lo anak baru?" tanyanya.

Kekesalan yang berlipat-lipat makin menjadi ketika menangkap seseorang yang berjalan ke arah kami. Itu Ayah. Jika dia tau semua hanya akan berujung kerumitan kalau begini ceritanya.

Dan gw sendiri malah merasa tertantang ketika sadar bahwa kakak kelas yang barusan menegur gw di kelas mulai ikut campur. Kekhawatiran terpancar jelas dari wajahnya ketika melihat ketua komite berjalan mendekat.

"Lo sendiri sadar nggak kalau lo kakak kelas?"

"Wihh.. keren, udah berani ngejawab. Gini ya, kita ingetin. Lo gak usah banyak tingkah di sekolah. Gak usah kebanyakan tingkah dengan nyari masalah sama Bryan atau Marvel," ujarnya sambil melirik si penegur gw yang gw pastikan kian was-was. Sedangkan dua cewek ini, posisinya yang membelakangi arah datangnya Ayah hanya memudahkan gw memenangkan perdebatan kali ini.

"Gw nyari masalah?" tanya gw memastikan. "Bukannya kalian yang nyari masalah sama gw?"

Tangan gw spontan ditariknya kesal. Gw meringis setelah merasakan lengan gw tergores kuku nya. "Lo adek kelas nggak usah banyak gaya! Setelah ngelawan Bryan, trus Marvel, sekarang gw?! Lo pikir bisa ngerendahin gw?!"

"Gw nggak pernah punya minat ngerendahin lo. Tapi gaya lo ini sendiri yang bikin harga diri lo jatoh!" bentakan yang tanpa sadar keluar membuat lawan bicara gw kian tertantang.

Tangan gw semakin gemas diremasnya. "Shh..." ringis gw.

"Ada apa ini? Lepaskan tanganmu, Shabil." Kali ini gw yakin merupakan kali pertama ada murid FD Highschool yang dibentak oleh ketua komite. Beruntung sekali cewek ini.

Bentakan itu tak hanya mengefek pada.. siapa tadi? Shabil. Namun juga cowok yang disebut Marvel ini.

Tatapan yang kental akan keterkejutan nampak di netra keduanya. Sedangkan gw lebih memanfaatkan waktu untuk melepaskan lengan gw dari genggamannya.

Ayah menatap tangan gw yang jelas menunjukkan luka cakar. "Ada apa ini Eve Healley?"

"Ya menurut Bapak, ada apa?" tanya gw balik setengah kesal. Gw pun memutuskan berpaling meninggalkan tempat sebelum hal-hal lain terkuak.

"Eve Healley ke ruangan saya." titah Ayah tak gw tanggapi.

"Saya sarankan kalian berdua selesaikan masalah ini di ruang konseling," ucap Ayah pada dua orang yang gw tinggalkan tadi sebelum akhirnya kembali berjalan menuju ruangannya sendiri.

"Saya ulangi sekali lagi. Ke ruangan saya, Eve Healley." perintahnya kini samasekali tak bisa gw bantah. Sehingga gw pun hanya berdecak kesal saat menyadari ketidakinginan gw mengikuti perintah sang ketua komite berbanding terbalik dengan langkah gw yang langsung memutar arah sesuai perintah.

"Anak baru!" panggil cowok itu lagi membuat gw menghela napas malas.

"Apa lagi?"

"Jaga sikap. Dia ketua komite kalau lo mau tau."

Gw memutar bola mata malas dan segera berbalik.

Dia bokap gw kalau lo mau tau, kesal gw dalam hati.

*

Gw memilih kursi taman untuk mulai kembali menggambar di sketchbook. Lagipula jam istirahat masih tersisa walaupun sudah terpotong drama tadi dan introgasi Ayah yang diakhiri penanganan luka oleh dokter spesialis. Owh iya, Ayah bukan semata-mata pemilik yayasan FD, ia menempuh karier awalnya dengan menjadi dokter. Dan hal itu masih dipertahankannya hingga saat ini. Ya.. entahlah, tak peduli.

Setelah menentukan objek apa yang akan menjadi poin utama gambar, gw langsung mulai membiarkan pensil meliuk indah di atas kertas.

"Eh- sengaja," ujar seseorang yang sesuai ucapannya, dengan sengaja menyenggol sehingga pensil gw terjatuh.

Gw meraih pensil terlebih dulu sebelum akhirnya menatap siapa pelaku iseng. Dan untuk kesekian kalinya di hari ini, gw menghela napas.

Tak lagi berminat memulai pertengkaran yang tak berkesudahan, gw bangkit dan segera beralih dari situ. Namun belum berapa langkah gw berjalan, Bryan -si leader dari keempat cowok pengganggu- merebut sketchbook gw.

"Ih balikin!" bentak gw spontan karena benda kesayangan gw direbut tanpa tedeng aling-aling.

Tak memedulikan bentakan gw, Bryan malah dengan santainya membuka satu-persatu lembar sketchbook. "Gambar apaan nih?" cibirnya ketika melihat lembar pertama.

Mata gw membulat melihat kenekatan cowok ini. "Sini!" Gw terus berupaya mengambil sketchbook gw, sedangkan Bryan dengan tak merasa bersalah malah mengangkat sketchbook itu melewati kepalanya.

Gw berdecak kesal karena tidak bisa menyamakan tinggi gw dengan cowok belagu ini. "Sini! Lo nggak punya duit sampe ngerebut sketchbook gw?!"

"Gaya banget lo." Bryan melepaskan sketchbook gw tiba-tiba membuat gw berusaha menangkapnya agar tidak jatuh.

"Baru bisa gambar aja banyak gaya. Bisa apa lagi sih lo?" tanyanya remeh.

"Even though the queen do her best, there'll be a coward judging the peace she'd made." Gw memutuskan berjalan meninggalkannya, namun tak berhasil karena Bryan kembali merebut sketchbook gw.

"Gw lumayan keganggu dengan tingkah lo. Gimana kalau lo dan gw, taruhan. Then we gotta know who's the coward one, queen."

Gw memilih tak menanggapi dan berupaya mendapat kembali buku sketsa gw. "Gw akan kasih balik kalau lo nyetujuin tantangan gw."

"Ck! Gimana gw mau nyetujuin kalau lo nggak ngomong apa bentuk taruhannya?!"

"If i win, you must tell everyone that i, King of FD, already conquer you, coward."

"Don't be ridiculous! Did you think that i'll accept this quietly?!"

"Owh c'mon gurl. Lo ngerti makna taruhan nggak sih?"

"Yea, if i win, you must beg for my apology in front of crowd."

"For god's sake." umpatnya pelan.

"Pulang sekolah. CM room." ucapnya lagi lalu berjalan begitu saja dengan membawa sketchbook gw.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel