Bab 9 Rencana Deanis
Bab 9 Rencana Deanis
Deanis berhasil menumbangkan dua penyamun yang menyerangnya. Kini ia sedang berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya.
“Gawat. Kalau aku memaksakan diri melawan mereka semua secara langsung, bisa mati konyol aku di tempat ini. Aku harus membuat rencana,” batin Deanis sambil mengatur napasnya agar lebih teratur lagi.
Deanis mengamati dan mempelajari bahasa tubuh dari para penyamun itu. Sejak awal, ia mencoba menerka siapa di antara mereka yang merupakan pemimpinnya. Dan sebelum Deanis berhasil mengambil kesimpulan, pria kurus yang menuduhnya memiliki berlian sudah memberikan informasi itu terlebih dulu.
Saat menghadapi si Tambun, Deanis yang awalnya melihat si Tambun mengacungkan pedang pun sempat terkejut. Pemuda itu berpikir bagaimana caranya menghadapi mereka saat mereka bersenjata sedangkan dirinya hanya dengan tangan kosong. Mungkin Deanis memang mengikuti beberapa pelatihan bela diri dan juga cukup suka berolahraga, tapi jika berhadapan dengan pedang, tentu saja itu bisa melukainya. Bukan berarti ia takut terluka, hanya saja, pertarungan seperti itu tidak imbang di matanya.
Keberuntungan tampaknya berpihak pada Deanis manakala pria tinggi tegap yang berdiri paling depan menghadang si Tambun itu dan mencegahnya. Namun saat negosiasi tak berjalan lancar, si Tambun akhirnya menyerangnya meski tidak dengan pedangnya. Pedang yang tadi sempat dikeluarkannya, disimpannya kembali dan pria itu memilih melawan Deanis dengan dua tongkat berpaku, meskipun ia tumbang.
Deanis berhasil menyimpan tenaganya. Namun tampaknya, itu tak berlangsung lama. Pria kurus yang menuduhnya pun memutuskan untuk menyerangnya. Deanis lagi-lagi, tak punya pilihan selain menerima serangannya.
“Tidak bisa. Kali ini dia memakai pedangnya. Harus dengan apa aku menyerang?” batin Deanis saat melihat pria kurus itu berlari ke arahnya.
Deanis adalah pemuda yang memiliki kemampuan berpikir yang cukup cepat. Dengan segera, ia menggunakan sedikit kemampuan bela dirinya untuk bertahan.
Beruntung, saat ia menyilangkan tangan, tampak si pria kurus itu terkejut dan tangannya yang memegang pedang terbentur kedua tangan Deanis tepat di pergelangan tangan dan membuat pedang itu terlepas dari genggamannya. Di situlah Deanis melihat celah.
Kesempatan tak disia-siakan oleh Deanis. Ia langsung meninju ulu hati dan meninju lagi tepat di rahang bawah hingga pria itu tumbang.
“Bagus. Satu lagi berhasil aku tumbangkan. Sial. Dia membuang tenagaku,” batin Deanis lagi.
Ya. Niat Deanis setelah melawan pria tambun tadi adalah langsung melawan sang Ketua yang sudah ia ketahui siapa. Tetapi si pria kurus berinisiatif menyerangnya tiba-tiba dan itu cukup menguras tenaga.
“Bagaimana ini, aku tidak punya cukup tenaga. Jika kupaksakan, aku benar-benar akan tumbang,” batin Deanis.
Deanis mengamati sang Ketua itu dan mendapat ide. Ia harus mengulur waktu untuk menambah stamina juga tenaganya. Jika ia tak berhasil mengulur waktu, akan sulit baginya untuk selamat dan menyusul Zeny. Deanis merasa bahwa saat ini, ia hanya memiliki Zeny dan begitupun sebaliknya.
“Kau punya pedang,” ujar Deanis.
Pemuda itu sedari tadi memperhatikan penampilan sang Ketua dan menerka-nerka senjata yang dimiliki pria itu sembari berpikir bagaimana mengalahkannya. Ia bahkan tidak terlalu fokus dengan apa yang diucapkan si Ketua.
“Lalu?” sahut sang Ketua penyamun itu.
“Berpikir Deanis. Ayo berpikirlah!” batin Deanis merutuki dirinya sendiri untuk berpikir lebih cepat dan mengambil keputusan yang tepat.
“Jika kau memang pemimpin para penyamun ini, tunjukkan yang kau punya,” ujar Deanis pada sang Ketua.
Ya. Deanis berusaha membeli waktu dengan memprovokasinya. Hanya itu satu-satunya yang terpikir oleh Deanis.
“Kau menantangku, Kerdil?” tanya sang Ketua yang terdengar terkejut dan seperti tidak menyangka bahwa ia akan ditantang oleh calon korbannya seperti Deanis.
Deanis tersenyum. Ia merasa berhasil membeli sedikit waktu sebelum memulai pertarungan antara dirinya dan sang Ketua penyamun itu. Jika dia bisa memenangkan pertarungan mereka, ia bisa melancarkan rencana yang telah disusunnya di kepala.
“Ya. Kau bisa memilih. Kau gunakan pedangmu, maka aku akan gunakan belati milik anak buahmu itu atau kita bertarung dengan tangan kosong,” tantang Deanis memberikan pilihan.
Sesungguhnya Deanis sungguh gugup memberikan pilihan seperti itu. Hanya saja, itu satu-satunya cara untuk mengulur waktu. Setidaknya, Deanis butuh beberapa detik untuk mengambil napas dan menambah kapasitas oksigen dalam paru-parunya.
Sang Ketua itu tampak menatap Deanis dengan terkesan. Pria itu maju selangkah lebih dekat. Ia melepas cadar kain yang menutupi sebagian wajahnya lalu menampilkan senyumnya yang menyeringai.
“Kalau begitu, bersiaplah menemui ajalmu, Kerdil,” ujar sang Ketua pada Deanis.
Deanis tersenyum miring mendengar ucapan sang Ketua.
“Terserah. Tapi sebelumnya, mari bertaruh,” ajak Deanis.
“Bertaruh?” tanya sang Ketua.
“Ya. Tidak akan seru jika hanya bertarung menunjukkan kekuatan bukan?” ujar Deanis.
“Oh ya? Bukankah aku akan mendapatkan nyawamu dan barang berhargamu?”
Deanis tertawa.
“Kau sangat percaya diri sekali mendapatkan nyawaku,” ujar pemuda itu.
Ketua itu tersenyum remeh.
“Tentu. Kau pikir aku akan percaya diri jika aku tidak punya barang bagus dalam koleksiku?” ujar Ketua itu sambil menepuk kain yang terlilit di pinggangnya yang tampak semacam tas.
Mendengar ucapan si Ketua, Deanis sempat terkejut dan tergoyahkan. Namun Deanis harus tetap teguh pada rencananya.
“Baiklah. Apa pun itu, aku tidak akan membiarkan kau mengambil milikku, termasuk nyawaku!’ seru Deanis.
Ketua itu mengeluarkan pedangnya dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Kemudian ia mengayunkannya tanpa ragu ke arah Deanis sambil berseru.
Deanis langsung berlari mundur untuk mengambil pedang belati yang ditendangnya ke belakang. Ia segera berbalik badan manakala belati telah digenggamnya. Deanis mengayunkan dengan cepat dan bilah tajam pegang itu telah saling beradu dengan pedang milik sang Ketua penyamun.
Deanis merasa belati yang digenggamnya begitu ringan namun kuat hingga ia bisa mendorong pedang panjang dan besar milik sang Ketua penyamun hingga ia terdorong mundur. Tindakan itu membuat sang Ketua mulai mengerang menahan serang dari Deanis.
Sang Ketua menatap mata Deanis lekat-lekat saat mereka saling berhadapan. Saat Deanis menatap dengan mata coklatnya yang tajam, mata si Ketua perlahan bersinar dan berubah warna menjadi hijau. Bibirnya mulai bergerak, berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Sebuah kalimat panjang yang tak dimengerti oleh Deanis dan mendengarnya, membuat bulu romanya merinding.
“Apa ini? Apa yang sedang diucapkannya? Mantra? Sial. Jika saja ada si Udik itu,” batin Deanis yang terkejut dengan perubahan sang Ketua itu.
Meskipun Deanis terkejut, ia tetap berusaha memfokuskan tenaganya pada belati itu. Entah bagaimana, saat ia memusatkan harapan satu-satunya untuk menjatuhkan sang Ketua, belati itu tiba-tiba bersinar. Deanis merasa belati itu mulai agak terasa berat dan pemuda itu pun berteriak.
Seiring dengan teriakannya, belati di tangan Deanis semakin bersinar dan cahayanya semakin besar.
“Grrrraaaaaaaaagggghh!!!”
Deanis berteriak sebagai akibat dari menahan beratnya belati yang dibawanya. Kaki Deanis mulai terasa masuk ke dalam pasir yang diinjaknya. Dan tak berapa lama, sang Ketua terpental ke belakang dan Deanis pun jatuh terduduk.
Para penyamun yang sedari tadi menjauh karena pertarungan antara ketua mereka dan Deanis pun berlarian ke arah pemimpin mereka.
“Ketua!!” seru tiga orang tersisa yang tak ikut menyerang, secara bersamaan.
Deanis bernapas terengah-engah. Belati di tangannya telah terjatuh di atas pasir. Tergeletak tanpa sinar layaknya belati biasa pada umumnya.. Pemuda itu tampak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
Sementara itu, sang Ketua tampak terbatuk-batuk dan berdiri dibantu oleh para anak buahnya. Ia dituntun mendekati Deanis. Begitu dekat dengan Deanis, sang Ketua pun mulai berbicara.
“Kau... Yang Terpilih?” ujar sang Ketua pada Deanis lalu terbatuk lagi.
Deanis yang mulai bernapas dengan teratur pun mendongakkan kepalanya untuk menatap sang Ketua yang begitu tinggi.
“Yang Terpilih? Apa maskudmu?” tanya Deanis tak mengerti.
Sang Ketua hanya tersenyum. Ia menoleh ke salah satu anak buahnya dan memintanya untuk membantu Deanis berdiri. Setelah dibantu berdiri, Deanis dan sang Ketua saling berhadapan. Tanpa disangka, sang Ketua mengulurkan tangannya kepada Deanis.
“Bast. Itu namaku,” ujar sang Ketua yang bernama Bast itu memperkenalkan diri.
Deanis menatap uluran tangan Bast yang menggantung di udara. Lalu ia menatap kembali ke arah pria tinggi bernama Bast itu. Tak hanya itu, Deanis juga sempat mengalihkan pandangannya kepada para anak buah penyamun itu dan dari raut wajah mereka, ada mimik keterkejutan di sana. Tentu saja, Deanis tak tahu apa alasan dari keterkejutan mereka.
Melihat tangannya tak tersambut, Bast hanya tersenyum dan menggerakkan jemarinya.
“Yah, kalau kau memang keberatan, aku mengerti,” ujar Bast yang hendak menyimpan kembali uluran tangannya.
Deanis pun akhirnya menarik kembali uluran tangan Bast dan membalas jabat tangannya.
“Deanis,” ujar Deanis menyebutkan namanya.
Bast menjabat tangan Deanis dengan mantap dan tampak sebuah kepuasan di wajahnya. Pria tinggi itu bersikap seolah ia telah bertemu dengan seseorang yang berharga dan seorang yang hebat.
“Kau menang, Tuan Deanis. Apa yang kau minta dari kami para penyamun?” tanya Bast.
Deanis mengerutkan keningnya. Ia merasa cukup aneh saat orang yang beberapa menit lalu sangat ingin mengambil nyawanya, kini justru menawarkan sesuatu padanya.
“Kau... menawarkan bantuan?” tanya Deanis tak yakin.
“Tentu. Apa saja. Bantuan, barang berharga, emas atau kau ingin menjadi bagian dari kami?” balas Bast.
Deanis menggelengkan kepalanya.
“Jika kau memang ingin membantuku, aku memang sedang memerlukan bantuan dari orang-orang seperti kalian, kurasa,” ujar Deanis.
“Apa itu? Katakan saja,” balas Bast.
“Bantu aku pergi ke Istana. Beri tahu aku cara menyelinap ke Kerajaan. Siapa pun rajanya, aku tidak peduli,” ujar Deanis mantap dengan wajah yang serius.
Bast terkejut dengan permintaan Deanis. Namun kemudian, pria tinggi itu tersenyum.
“Istana? Istana Ramses II? Tuan, kau sungguh menarik,” komentarnya.
*to be continued*