Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Para Penyamun

Bab 8 Para Penyamun

Selagi Zeny dibawa ke istana Sang Firaun, Deanis tengah terlunta di lokasi padang pasir tempa mereka terdampar.

Deanis berlarian tanpa henti. Tombak dan panah itu tak henti menghujaminya hingga dia cukup kewalahan hingga staminanya menipis. Pemuda itu memutuskan untuk terjatuh dan berhenti mengejar mereka. Seketika ia berhenti mengejar, tak lama hujan panah dan tombak itu tak lagi menyerangnya. Sayup-sayup terdengar derap kuda dan kaki yang menjauh dan Deanis tetap berusaha tenang tak bergerak dalam posisinya yang tertelungkup di atas pasir.

Terik matahari yang menyengat membuat Deanis tak tahan dan perlahan ia mengangkat kepalanya untuk mengintip keadaan sekitarnya. Para pasukan itu telah menjauh hingga mulai tampak seperti kumpulan titik-titik kecil di mata Deanis. Pemuda itu pun menghela napas lega dan berbalik badan untuk menelentangkan dirinya.

“Ugh, sial! Panas,” gerutu Deanis sambil mengangkat tangannya ke depan kedua matanya untuk menghadang cahaya silau matahari yang menyilaukan itu.

Deanis pun bangkit dengan sedikit terhuyung dan mencari tempat berteduh. Ia tak ingin mati terkena heatstroke, terlebih di tempat antah berantah yang dia sendiri bahkan tak yakin berada di mana. Deanis berhasil menemukan bongkahan bebatuan lain untuk berteduh. Ia pun pergi ke bagian bebatuan yang teduh itu.

“Hah... aku bisa gila,” monolog Deanis sambil membersihkan pasir dari tubuhnya.

Sambil membersihkan pasir, Deanis mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Tak banyak yang bisa dilihatnya selain hamparan pasir, debu dan cuaca yang begitu panas terik. Beberapa kali, Deanis bahkan menghela napas dalam untuk mengatur napasnya kembali normal dan berpikir.

“Sekarang... bagaimana aku bisa membawa si Udik itu kembali dan mencari cara untuk pulang?” monolog Deanis lagi.

Pemuda itu kembali mengeluarkan ponselnya. Ia tahu, meski tidak ponselnya itu menjadi tidak berfungsi, setidaknya ia masih bisa menggunakan kamera untuk memotret. Itu pun jika kameranya masih berfungsi.

“Kumohon, berfungsilah,” monolog Deanis sambil menyalakan kamera ponselnya dan mengarahkan ke segala arah.

Kamera ponselnya pun menyala dan menampilkan hasil tangkapan lensanya. Melihat hasil itu, Deanis tersenyum.

“Sepertinya aku bisa merekam sesuatu,” ujar Deanis lagi pada dirinya sendiri.

Deanis tengah duduk bersandar pada bebatuan dan mencoba merekam hamparan pasir di sekitarnya. Saat sedang merekam, ia menggerakkan ponselnya ke kanan, ke kiri dan kembali ke kanan lagi. Cukup puas merekam, Deanis pun menyimpan kembali ponselnya. Pemuda itu tak sadar, bahwa dari jauh, seseorang tengah mengamatinya.

“Sudah cukup istirahatnya. Sebaiknya aku bergegas mengikuti jejak para pasukan tadi agar aku bisa menyusul si Udik dan membawanya kembali pulang. Hah... gadis itu. Kenapa aku jadi peduli dengannya? Dasar perempuan. Mereka selalu merepotkan,” gerutu Deanis sambil berdiri dan mulai keluar dari balik bebatuan lalu menyusuri jejak para pasukan tentara yang menyerangnya tadi.

Deanis berjalan dengan sisa tenaganya. Sembari berjalan, Deanis memperhatikan sekelilingnya. Hamparan pasir, debu yang tergulung oleh angin, sedikitnya cukup membuat Deanis merasa agak kesal. Ia bukan tipe laki-laki manja, hanya saja, panas yang terlalu terik dan udara yang terasa kering mencekik, membuatnya merasa tak nyaman. Bahkan sekarang ia mulai merasa bahwa tenggorokannya kering. Deanis pun terpaksa menelan ludahnya sendiri untuk sementara. Ia mencoba memberikan sugesti pada pikirannya bahwa ia sedang berpuasa hari itu.

“Hei kau!” seruan lantang lainnya terdengar oleh telinga Deanis.

Deanis yang tampak berjalan agak terhuyung pun mengangkat sedikit kepalanya. Di hadapannya ada sekumpulan orang mengenakan pakaian jubah serba panjang, bercadar, dan masing-masing membawa senjata tajam juga tumpul di tangan mereka. Deanis menghela napas. Ia merasa bahwa ia akan mendapatkan masalah baru dengan orang-orang yang tengah menghadang jalannya.

“Siapa kalian?” tanya Deanis yang tampak berdiri lebih tegap dari sebelumnya.

Salah seorang dari mereka, yang berdiri tepat di depan Deanis pun terdengar berdecih remeh. Pria bertubuh tinggi itu memajukan langkahnya, mendekat pada Deanis.

“Kami penyamun. Dan kau orang asing, serahkan barang berhargamu, atau nyawamu menjadi penggantinya,” ujar pria itu dengan lantang dan tegas pada Deanis.

Deanis mengerutkan dahinya. Ditatapnya pria bertubuh tinggi itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak lama kemudian, ia tersenyum sambil menatap pria penyamun itu dengan senyuman remeh.

“Kalau aku tidak mau? Kau mau mengambil nyawaku?” tantang Deanis.

“Sombong sekali kau, Orang Asing!” seru salah satu dari penyamun itu yang berada di barisan agak belakang dan bertubuh agak tambun dengan kain semacam surban terlilit di kepalanya.

“Sombong? Aku hanya percaya diri. Kau harus belajar membedakannya, Tambun,” sahut Deanis agak memprovokasi.

Penyamun tambun itu tampak tersinggung dan langsung menarik pedangnya dari wadahnya yang terselip di sabuk yang melingkar di perutnya. Ia mengacungkan pedangnya ke atas dan bersiap mengayunkannya ke arah Deanis, namun pria tinggi yang berdiri di hadapan Deanis mencegahnya.

Deanis tersenyum miring.

“Lihat? Seperti yang pernah kudengar, kalian para penyamun hanya menginginkan harta, bukan?” ujar Deanis dengan nada yang memang terdengar sombong. Atau memang dibuat begitu olehnya.

“Berikan saja apa pun yang kau punya, Kerdil,” ujar pria tinggi berbadan tegap itu kepada Deanis. Baginya yang setinggi dua meter lebih itu, 185 cm tinggi Deanis tetaplah kerdil.

“Kalau aku tidak punya?” Deanis balik bertanya kepada pria tinggi tegap itu dengan sedikit mendongakkan kepalanya untuk bertatapan dengan pria itu.

“Maka kau harus rela memberikan nyawamu,” balas pria tinggi itu dengan dinginnya.

“Dia berbohong!”celetuk penyamun yang lain.

Deanis mengerutkan keningnya lagi. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa penyamun itu menuduhnya berbohong.

“Ketua, aku melihatnya memegang benda berkilauan ketika aku mengintainya tadi,” ujar si penyamun tadi yang menuduh Deanis berbohong.

“Benda berkilauan. Kau membawa berlian? Serahkan!” ujar si pria tinggi itu yang dipanggil ‘Ketua’ oleh penyamun yang menuduhnya tadi.

Mendengar ucapan pria itu pun, Deanis justru tertawa.

“Berlian katamu? Bodoh sekali kalian. Aku tidak punya hal semacam itu,” balas Deanis.

“Kau banyak bicara! Akan kuhabisi nyawamu! Ketua, izinkan aku!” seru pria tambun yang sedari tadi masih tampak dicegah oleh ketuanya.

Ketua itu pun mengangguk dan tak menghalangi si pria tambun itu lagi. Pria Tambun itu berseru dan berlari menerjang Deanis. Diserang demikian, Deanis pun segera mundur dan menghindar. Pria tambun itu membawa tongkat besar di kedua tangannya yang dihiasi dengan besi runcing semacam paku. Selama diserang oleh si Tambun –begitu Deanis menyebutnya-, Deanis hanya menghindar saja tanpa memberikan serangan balik. Deanis tersenyum sambil terus mengelak dari serangan dengan cukup puas karena ia merasa bahwa ia masih cukup gesit dan latihannya selama ini tidak sia-sia.

Pria tambun itu tampak geram karena serangan pukulannya terus meleset, padahal selama ini ia tidak pernah meleset sekali pun, sedikitpun. Ia mulai tampak sedikit kelelahan dan diam sejenak. Melihat si Tambun itu berhenti menyerangnya, Deanis tersenyum miring.

“Hoho, hanya begitu saja seranganmu? Ckck. Kau memang tidak terlihat pandai bertarung, Tambun. Kau... hanya pandai makan,” ledek Deanis memprovokasi.

Pria tambun itu termakan provokasi Deanis dan kembali menyerang tanpa melanjutkan istirahatnya. Ia kembali menyerang Deanis bertubi-tubi sambil terus berseru. Kedua tongkatnya benar-benar diayunkan dengan keras dan ganas hingga saat meleset pun dan mengenai pasir, pasir yang dihantam pun seolah terbelah dua dan berhamburan ke segala arah. Dan tepat saat pria itu masih dalam keadaan membungkuk setelah menghantam tongkatnya mengenai pasir, Deanis langsung menyerangnya balik. Pemuda itu menghantam tengkuk pria tambun itu dengan sikunya yang menukik, lalu saat kepala pria tambun itu reflek terdongak karena sikuannya, Deanis menendangnya ke samping hingga membuat tubuh si pria tambun itu oleng, jatuh dan tak sadarkan diri.

“Huft. Ternyata dia hanya pandai membual,” ujar Deanis sambil menepuk kedua tangannya yang sempat terkena pasir.

“Kau juga pembual, Keparat! Akan kuhabisi kau kali ini!” seru penyamun lain, yang tak bukan adalah yang menuduhnya memiliki benda berkilauan.

Penyamun itu berlari menyerang Deanis dengan mengeluarkan belatinya. Deanis yang melihat penyamun itu berlari ke arahnya pun segera menyilangkan kedua tangannya, membuat pertahanan. Kedua tangannya berhasil menghalang pergelangan tangan si penyamun yang memegang belati hingga belati itu terjatuh di atas pasir. Alih-alih mengambilnya, Deanis menendang belati itu jauh ke belakangnya hingga tak terjangkau oleh siapa pun. Penyamun yang sudah tak bersenjata itu terkejut dan saat itu lah Deanis melayangkan tinjunya tepat ke ulu hati si penyamun lalu meninju rahangnya tepat setelah si penyamun terbungkuk kesakitan di ulu hatinya. Kemudian si penyamun itu terjatuh lemas, tergolek di permukaan pasir sambil merintih kesakitan.

Melihat dua anak buahnya tumbang, si Ketua pun turun tangan. Dua penyamun yang menyerang tadi adalah dua anak buah andalannya yang menjadi tangan kanan kepercayaannya. Jika mereka sudah sampai tumbang, itu sama saja menginjak-injak harga dirinya.

“Kau memang sombong,” ujar si Ketua yang kemudian berjalan berhadapan dengan Deanis.

Deanis tampak tersenyum miring. Ia dan si Ketua penyamun itu saling beradu tatapan. Menurut pengamatan Deanis, si Ketua itu membawa sebuah pedang di sabuk yang melingkari pinggangnya.

“Kau punya pedang,” celetuk Deanis.

Si Ketua melirik ke arah pedang yang memang tersimpan di sarung yang ada di lilitan sabuknya.

“Lalu?”

“Jika kau memang pemimpin para penyamun ini, tunjukkan kemampuanmu,” ujar Deanis memprovokasi lagi.

“Kau menantangku, Kerdil?” tanya si Ketua.

“Ya. Kau tinggal pilih, kau gunakan pedangmu, maka aku akan gunakan belati milik anak buah itu,” ujar Deanis sambil menoleh ke arah belati yang tadi ditendangnya ke belakang lalu melanjutkan, “atau, kita bertarung dengan tangan kosong,” tantang Deanis.

Si Ketua terdiam sejenak lalu melepas cadarnya dan tersenyum menyeringai.

“Bersiaplah bertemu ajal, Kerdil.”

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel