Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Menuju Istana Sang Firaun

Bab 7 Menuju Istana Sang Firaun

Zeny yang di dalam karavan tengah diikat kedua tangannya dengan tali, tampak tengah memikirkan sesuatu di kepalanya. Bagaimana pun caranya, ia harus menemukan cara untuk kembali pulang. Gadis itu mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya.

Di dalam karavan itu hanya ada dirinya dan satu prajurit di depannya serta kusir di depan karavan. Karavan itu memiliki lubang jendela yang bisa membuat orang di dalamnya melihat pemandangan di luar. Sayangnya, jendela itu ditutup oleh sehelai kain.

Zeny tak kehilangan akal. Ia memperhatikan prajurit yang berada di karavan bersamanya.

Pria itu tidak berbadan begitu besar, namun cukup berotot. Itu sangat terlihat jelas karena sejauh Zeny mengamati, hampir semua prajurit bertelanjang dada yang terlindungi oleh rompi besi dan hanya mengenakan kain yang dililit di kaki mereka yang berbentuk seperti celana, hanya saja panjangnya sebatas lutut.

Gadis itu pun mencoba berbicara dengan prajurit yang menjaganya.

“Hei..” panggil Zeny pada prajurit itu.

Prajurit itu menoleh ke arah Zeny dengan wajah datarnya. Pria itu tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya memperhatikan Zeny.

Zeny menggigit bibir dalamnya karena gugup. Ia pun mencoba menenangkan diri dan kembali mencoba berbicara pada prajurit yang menjaganya di karavan itu.

“Bolehkah... aku membuka jendela ini? Aku hanya... ingin melihat-lihat di luar sana,” pinta Zeny.

Prajurit itu mulai menatap Zeny dengan tatapan yang aneh. Dapat dilihatnya bahwa pria itu sedikit menggidikkan bahunya dan menatap gadis itu dengan remeh. Namun tangan prajurit itu bergerak membuka helaian kain yang menutup jendela itu.

“Hanya melihat,” ujar prajurit itu datar.

Zeny tersenyum kepada prajurit itu.

“Tentu. Lagi pula kau lihat, tanganku terikat,” balas Zeny sambil mengangkat kedua tangannya yang memang tengah terikat.

Zeny pun perlahan mendekatkan kepalanya ke jendela yang sudah terbuka itu untuk melihat lebih jelas. Gadis itu tampak tersenyum takjub dan terkesima.

Tepat di depan matanya tersaji pemandangan yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya.

Jika kau berpikir hanya akan menemukan hamparan pasir yang datar dan tandus, mungkin kau hanya tahu tentang padang pasir dari buku atau gambar-gambar yang selama ini dibuat dan disebar. Tapi kali ini, Zeny melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Hanya ada satu kata yang ingin Zeny ucapkan saat terkesima seperti itu.

“Indah,” celetuknya.

Hamparan pasir yang berbukit-bukit dengan lengkungan desir debu pasir yang tampak bagai ombak terus menggulung dengan cantik. Dalam jarak beberapa mil, beberapa kaktus-kaktus dengan bentuk yang aneh dan beragam pun tumbuh tak beraturan.

Tampak juga dari kejauhan beberapa piramida yang berjajar dan terlihat kecil dengan ukuran yang tampak beragam. Zeny mengangkat kedua tangannya yang terikat itu dan menggerakkan telapak tangannya bagai menggapai piramida itu dalam genggamannya.

Dalam pikirannya, Zeny bertanya-tanya, jika dalam jaraknya, mereka terlihat seperti tidak mudah digenggam dalam satu genggaman tangan, seberapa besar kiranya ukuran piramida-piramida cantik yang dilihatnya? Zeny tak bisa membayangkan dan ingin segera mengetahuinya dengan melihat lebih dekat.

Lalu semakin berjalan ke depan, ia melihat sebuah obelisk yang tampak begitu besar dan tinggi. Tanpa sadar, gadis itu berseru takjub dengan keberadaan obelisk tersebur.

“Woah! Tinggi sekali. Cantik,” serunya berkomentar.

Prajurit yang mendengar komentar Zeny pun tersenyum remeh kepada Zeny. Baginya, tingkah dan reaksi Zeny sangatlah aneh. Sungguh berbeda dari beberapa gadis yang biasa mereka dapatkan di tengah-tengah perang seperti tadi.

“Kau... wanita yang aneh,” celetuk prajurit itu.

Mendengar prajurit yang menjaga itu berbicara, Zeny menoleh dan tersenyum.

“Aku sering mendengarnya. Kau bukan pertama yang mengatakan itu,” balas Zeny masih dengan senyumnya dan tatapan mata yang terus mengagumi pemandangan di luar sana.

“Kau tidak takut?” tanya prajurit itu.

Zeny mengerutkan dahinya sejenak lalu kembali tersenyum.

“Takut? Padamu? Tidak juga,” jawab Zeny.

Prajurit itu tertawa.

“Tidak, bukan padaku saja,” jawab si prajurit.

“Oh, maksudmu pada pria berbadan besar yang kau panggil Panglima itu? Hm, tidak juga,” balas Zeny.

Prajurit itu tak lagi tertawa dan diam. Ia menatap Zeny dengan tatapan yang tidak seperti sebelumnya.

“Kau... wanita yang berbeda. Seperti seseorang yang berpendidikan. Kau bukan orang kerajaan kami. Kau orang Shalem? Atau... apa kau utusan dari kerajaan Het untuk menyelinap ke kerajaan kami?” tanya prajurit itu tampak serius.

Zeny masih tersenyum dan menjawab dengan santai.

“Aku... dari negeri yang jauh. Bahkan jika aku menceritakannya padamu, kau tak kan percaya kata-kataku,” balas Zeny.

Prajurit itu melipat kedua tangannya di depan dada sambil memandang Zeny penuh selidik.

“Kau tidak penasaran dengan alasan kau dibawa oleh kami?” tanya prajurit itu.

“Tidak. Aku merasa sudah tahu alasan kalian membawaku dan menjadikanku tawanan kalian,” jawab Zeny.

“Dan kau tidak takut?” tanya prajurit itu menaikkan sebelah alisnya.

Zeny yang masih tersenyum pun menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Hei, apa itu sungai Nil?” tanya Zeny sambil menunjuk ke arah luar di mana ia melihat sebuah aliran sungai yang tampak bening tak jauh dari jalan yang kini mereka lintasi.

Spontan prajurit itu menoleh ke luar jendela saat Zeny bertanya. Kemudian ia pun memberikan jawabannya.

“Ya. Itu sungai Nil. Sungai kebanggaan dan milik kerajaan yang paling berharga. Sang Firaun bahkan mendirikan Pi-Ramesses di delta sungai itu. Sungguh Yang Mulia Maha Agung,” ujar prajurit itu menjelaskan sambil memuja Sang Firaun.

“Pi-Ramesses... Ah, ibu kota baru. Benar?” sahut Zeny. Mendengar penjelasan si prajurit membuat Zeny mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajarinya selama ini tentang peradaban Mesir Kuno dan sejarahnya.

Lain halnya dengan Zeny, prajurit itu tampak cukup terkejut mendengar sahutan Zeny.

“Kau... sepertinya tahu banyak. Seperti dugaanku, kau wanita yang berbeda. Yah, mungkin saja kau tidak akan dijadikan budak oleh Sang Firaun. Bersyukurlah jika Sang Firaun mengampunimu dan memberikan kewenangan atas dirimu pada sang Panglima,” ujar prajurit itu.

Zeny menatap prajurit itu dengan wajah yang tertegun.

“Budak? Apa maksudmu mengampuni dan memberikan kewenangan atas diriku pada si Panglima itu?” tanya Zeny. Dari yang dibacanya, ia tak pernah menemukan tentang pengampunan dan kewenangan semacam itu.

“Kau tidak tahu? Kupikir kau cukup berpendidikan,” ujar si prajurit.

“Kau benar, tapi aku tak tahu tentang kewenangan itu,” balas Zeny.

Prajurit itu menghela napas.

“Semua tawanan kami hanya memiliki dua pilihan. Menjadi budak atau diperistri oleh sang Panglima perang kami,” ujar prajurit itu.

Mata abu-abu milik Zeny pun membelalak karena terkejut. Bagaimana bisa ada peraturan seperti itu yang bahkan tidak disebutkan dalam sejarah yang dibacanya?

“Ya Tuhan...” monolog Zeny sambil mencoba menenangkan dirinya.

Saat itu pun terdengar suara ringkikan kuda dan Zeny dapat merasakan karavannya perlahan berhenti.

“Kita sampai,” ujar si prajurit yang sedari tadi mengobrol dengan Zeny. Pria itu menurunkan kain penutup jendela dan perlahan membuka pintu karavan.

Prajurit itu memegang lengan Zeny kuat-kuat lalu didorongnya.

“Ayo keluar!” ujar prajurit itu pada Zeny.

Zeny memutar bola matanya malas dan bangkit sedikit sambil merundukkan tubuhnya agar bisa keluar dari karavan itu. Ia turun dari karavan terlebih dulu dengan tangan yang masih terikat kemudian si prajurit tadi turun dan berdiri tepat di belakang Zeny sambil mencengkram lengan Zeny.

“Bisakah kau sedikit lembut? Cengkramanmu terlalu kuat,” pinta Zeny setengah berbisik pada prajurit itu.

Si prajurit itu terlihat tak peduli dan tak menggubris perkataan Zeny, tidak seperti yang terjadi saat mereka berada dalam karavan tadi. Prajurit itu terlihat berbeda.

Zeny mencoba menggerakkan lengannya seperti agak memberontak namun cengkraman si prajurit justru makin erat hingga membuat Zeny meringis. Gadis itu ditarik lebih dekat dan si prajurit berbisik padanya.

“Sebaiknya kau tak banyak bicara. Lupakan yang kita bicarakan di dalam karavan. Jika tidak, kita berdua bisa kehilangan nyawa,” bisik si prajurit itu.

Zeny yang meringis kesakitan pun mendengus kesal mendengar ucapan si prajurit itu. Bagaimana ia melupakan pengalaman yang dilewatinya di dalam karavan itu? Pemandangan yang indah dan prajurit itu memberinya beberapa penjelasan juga informasi tentang apa yang dilihatnya. Itu memberinya pengalaman dan wawasan baru.

Zeny pun akhirnya hanya bisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling lokasi di mana dia berada kini. Banyak prajurit-prajurit yang memakai baju besi dengan tombak dan perisai yang berbaris berjajar di sepanjang jalan menuju gerbang.

Beberapa pohon palem besar menghiasi sudut-sudut kerajaan dan daunnya yang sejajar melambai-lambai tertiup angin. Bangunan benteng yang melindungi istana pun tampak berdiri dengan kokoh dan megah.

“Hentikan! Lepaskan aku!” teriak suara perempuan yang agak melengking, terdengar memberontak.

Zeny yang mendengar teriakan itu pun spontan menoleh ke sumber suara. Ia melihat seorang gadis dengan jubah bertudung tengah meronta saat kedua lengan tangannya dicengkram oleh dua prajurit lainnya yang tengah membawa ombak dan perisai.

“Lepaskan! Aku bilang lepaskan!!” berontak gadis itu lagi.

Zeny masih mengamati gadis itu dengan seksama. Ia merasa matanya lebih jernih dan jeli untuk melihat dari jarak jauh sekarang, seolah lensa kontak abu-abu yang dipakainya benar-benar menyatu dengan matanya.

Saat gadis yang memberontak itu sempat terlihat kilas wajahnya di balik tudung yang kini agak sedikit tersingkap, Zeny terperangah dan terkesima.

“Dia... Maathorneferure?” gumam Zeny.

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel