Bab 6 Tertawan Sang Panglima
Bab 6 Tertawan Sang Panglima
Mendengar suara yang begitu lantang dan berat, membuat Deanis spontan menutup mulut Zeny dan mencoba menarik gadis itu mendekat padanya.
Derap kaki terdengar mendekat. Kedua nya mendengar beberapa percakapan yang tak terdengar jelas karena lebih terdengar seperti gumaman namun secara perlahan, indra pendengaran mereka seolah menginterpretasikan gumaman yang tak jelas itu menjadi lebih jelas, hingga membuat Deanis dan Zeny memahami bahasa mereka seperti keduanya memahami bahasa ibu mereka, bahasa Indonesia.
“Kau mendengar sesuatu `kan?” tanya suara berat yang tadi berteriak lantang bertanya keberadaaan seseorang.
“Ya, Panglima. Sepertinya di dekat bebatuan ini,” balas salah seorang yang sepertinya merupakan anak buah dari si pemilik suara berat yang dipanggil ‘Panglima’ itu.
Panglima itu tampak mendekat ke bebatuan di mana Zeny dan Deanis bersembunyi. Langkahnya yang terdengar semakin dekat, membuat Zeny dan Deanis seolah menahan napas mereka hingga tak berani bergerak sedikit pun.
Panglima itu sepertinya mulai memundurkan langkahnya dan hendak berbalik badan. Deanis yang melihat perubahan pergerakan sang Panglima mulai merasa lega, begitu pun Zeny.
“Haatttchiiw!!”
Zeny pun bersin. Sepertinya sisa-sisa debu pasir yang sempat membuatnya terbatuk tadi, kini membuat hidungnya geli hingga bersin.
Mendengar suara orang bersin, Panglima memutar badannya kembali dan mengambil langkah tegap ke balik bebatuan. Sang Panglima menemukan sepasang anak manusia yang tak lain adalah Deanis dan Zeny. Pria berbadan tegap berotot yang berkulit hitam legam itu pun langsung mengayunkan khopesh miliknya.
Melihat sang Panglima mengayunkan pedang kebanggaannya, para prajurit lainnya langsung berlari dan mengepung bebatuan itu. Mereka menodongkan busur dan anak panah mereka tepat ke arah di mana Zeny dan Deanis ditemukan.
Zeny dan Deanis diam tak berkutik bagai tikus yang tertangkap basah di perangkap tikus secara sukarela. Melihat puluhan anak panah dan sebuah pedang mengacung ke arah mereka, keduanya hanya bisa menelan ludah dengan kasar dan susah payah. Deanis secara naluriah, merangkul Zeny untuk melindunginya.
“Siapa kalian?” tanya sang Panglima dengan tatapannya yang tajam mengarah pada Deanis.
Deanis masih terdiam karena merasa terintimidasi oleh kehadiran dan tatapan sang Panglima. Pemuda itu yang biasanya mudah berkilah, mengoceh dan sedikit angkuh, menjadi bungkam seribu bahasa.
Sang Panglima menatap Deanis dengan begitu tegas. Pria itu maju selangkah hingga membuat ujung khopeshnya semakin dekat ke wajah Deanis.
“Apa kau bisu?” tanya sang Panglima terdengar kasar.
Melihat ujung pedang khopesh hanya berjarak dua centi dari matanya, seolah membuat kesadaran dan keberanian Deanis kembali muncul ke permukaan. Ia pun memutuskan untuk menanggapi pertanyaan dari sang Panglima itu. Hanya saja, ia sedikit ragu, akankah sang Panglima mengerti ucapannya dalam bahasa Indonesia? Namun otak kecil pemuda itu kembali berkata pada dirinya sendiri bahwa menurut pendengarannya, sang Panglima bahkan berbicara bahasa Indonesia.
“Ti-tidak. Saya... tidak bisu,” jawab Deanis pada akhirnya.
Sang Panglima tersenyum miring mendengar jawaban pemuda yang ditemukannya. Pemuda itu memiliki potongan rambut yang tidak seperti rakyatnya. Matanya berwarna cokelat terang yang tak biasa dan pakaian yang menempel di tubuh pemuda itu, terlalu tertutup untuk kalangan pria. Alas kaki yang digunakan pun tampak besar dan aneh. Seketika sang Panglima pun mengayunkan bagian lengkungan khopeshnya tepat ke dekat leher Deanis.
“Untuk siapa kau bekerja?! Siapa yang mengirimmu?” tanya Panglima itu.
Melihat sebilah mata pedang begitu dekat dengan leher Deanis, Zeny membulatkan matanya. Spontan gadis itu mencengkram pergelangan tangan sang Panglima yang tampak dua kali lipat tebalnya dari tangannya sendiri.
“Hentikan!” ujar Zeny sambil menatap sang Panglima.
Sang Panglima pun menoleh ke arah Zeny. Dilihatnya tangan gadis itu yang memegang pergelangan tangannya. Sang Panglima itu menatap mata Zeny dan terkesima untuk beberapa saat. Kemudian Panglima itu kembali menatap Deanis.
“Siapa gadis ini?” tanya sang Panglima.
Deanis melirik Zeny sebentar lalu berkata, “dia...,” Deanis menggantung kalimatnya. Ia tidak tahu harus mengakui Zeny sebagai siapanya. Jika hanya dikatakan rekan, sepertinya manusia di peradaban kuno tidak akan percaya. Jika diakuinya sebagai saudara, akan sangat terlihat penipuannya. Hidupnya pasti terancam.
“Jawab!” bentak sang Panglima tepat di depan wajah Deanis.
“Kami hanya pelintas. Kami rekan,” sahut Zeny terlihat tenang meski suaranya terdengar agar bergetar.
Deanis terkejut mendengar jawaban Zeny yang di luar dugaannya. Matanya membelalak lebar menatap ke arah Zeny. Sepertinya Zeny berubah menjadi orang bodoh. Menjawab seperti sama saja dengan menyerahkan nyawa sendiri.
Sang Panglima pun memperhatikan Zeny. Gadis itu tengah menatapnya dengan manik abu-abu milik Zeny. Terlihat sang Panglima tampak terkesima dan terpesona dengan mata indah Zeny. Sang Panglima pun tersenyum dan menegakkan tubuhnya, menjauhkan khopeshnya dari leher Deanis.
“Prajurit, bawa gadis ini,” titah sang Panglima kepada salah seorang prajuritnya.
Mendengar titah sang Panglima, prajurit yang berada paling dekat dengan Zeny pun menurunkan busur panahnya, menyimpannya ke belakang punggung kemudian menghampiri Zeny lalu mencengkram lengan Zeny dan memaksa gadis itu berdiri.
Zeny terkejut saat prajurit itu menarik lengannya hingga terpaksa berdiri. Sedangkan Deanis tampak geram dan bangkit, berniat menarik Zeny kembali. Namun sang Panglima mengangkat khopeshnya dan dan menghentikan langkah Deanis dengan menghadangkan senjatanya di depan leher Zeny lagi.
“Selangkah kau maju, nyawa gadis ini melayang. Dan kau akan menyusul berikutnya,” ancam sang Panglima.
Diancam seperti itu, membuat Deanis dilema. Ia yang ingin menyelamatkan Zeny justru diancam dengan nyawa Zeny sebagai taruhannya. Pemuda itu hanya bisa mengepalkan telapak tangannya hingga ruas-ruas jarinya memutih.
Zeny yang menyadari bahwa dirinya pasti dalam bahaya pun hanya bisa tersenyum miris dan meringis menahan nyerinya genggaman tangan si prajurit. Namun seolah tak berdampak pada mentalnya, Zeny berusaha tenang dan memberanikan diri untuk bertanya kepada sang Panglima.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Zeny sambil meringis.
Sang Panglima melirik ke arah Zeny pun berjalan mendekat tanpa menurunkan bilah khopeshnya. Pria tegap itu mendekatkan wajahnya ke wajah Zeny.
“Membawamu ikut denganku, Cantik,” jawab sang Panglima dengan nada bicara yang agak seduktif, sedikit menggelikan dan menjijikkan menurut Zeny.
Deanis masih tidak bisa berbuat apa pun karena selain ancaman sang Panglima, kini ia pun tengah tertahan oleh dua prajurit lainnya yang suka mencengkram kedua tangannya kuat-kuat ke belakang punggungnya.
“Membawaku? Kemana kau akan membawaku?” tanya Zeny terdengar ingin tahu.
Sang Panglima menurunkan khopeshnya sambil tersenyum miring. Pria itu membelai helaian rambut Zeny yang berwarna coklat kemerahan itu.
“Tentu saja ke istana. Bagaimana?” ujar sang panglima.
Mendengar kata istana, Zeny membulatkan matanya. Ia bertukar pandang sejenak dengan Deanis. Gadis itu mendapatkan sebuah ide. Ia melihat adanya kesempatan untuk mengetahui siapa penguasa di zaman ini agar mereka tahu di abad berapa mereka terjebak.
Zeny mencoba menyampaikan isi kepalanya kepada Deanis lewat telepati tatapan mata. Meski tampaknya itu mustahil, tapi Zeny tetap mencobanya.
Deanis mencoba memahami Zeny saat gadis itu terus menatap ke arahnya. Pemuda itu mengerutkan keningnya dan berpikir dengan keras, namun ia gagal memahami arti tatapan dari Zeny.
“Istana? Bertemu ... sang Firaun?” tanya Zeny.
Sang Panglima melipat kedua tangannya di depan dadanya. Tanpa menjawab pertanyaan Zeny, Panglima itu menatap prajurit yang masih mencengkram lengan Zeny.
“Bawa dia,” titah sang Panglima.
Prajurit itu mengangguk tanpa menjawab atau bertanya. Ia langsung menarik paksa Zeny menjauh dari bebatuan itu. Zeny tampak memberontak namun cengkraman si prajuritnya tampaknya cukup kuat hingga sanggup menyeret Zeny dan memasukkan gadis itu ke dalam karavan.
Melihat gadis temuannya telah berhasil masuk ke karavannya, sang Panglima tersenyum puas dan menyimpan khopeshnya di sarung miliknya. Kemudian pria tegap itu melirik sekilas ke arah Deanis. Ia tersenyum miring dan berdecih.
“Gadis itu milikku. Habisi dia. Buang mayatnya ke sungai Nil,” titah sang Panglima kepada prajuritnya dan melenggang pergi menuju kereta perangnya.
Melihat sang Panglima pergi, Deanis tampak marah. Ia memberontak namun para prajurit itu terlanjur mengepungnya dan menghantam Deanis dari berbagai arah secara bertubi-tubi.
Deanis tidak sanggup melawan dan memilih diam hingga ia terjatuh lalu berpura-pura pingsan. Melihat Deanis tampak tak sadarkan diri, para prajurit mengira Deanis sudah mati.
Prajurit itu pun membagi tugas. Dua di antara mereka memutuskan untuk pergi membuang ‘mayat’ Deanis ke sungai Nil. Sementara yang lain mulai bubar dan berkumpul dengan pasukan lainnya serta melapor kepada sang Panglima bahwa tugas telah dituntaskan.
Dua prajurit yang menyeret ‘mayat’ Deanis bak mayat binatang pun, pergi agak terpisah dari pasukan karena arah yang diambil berlawanan. Deanis yang berpura-pura pingsan yang dikira sudah mati pun, membuka sebelah matanya untuk sekadar mengintip situasi.
Dilihatnya bahwa ia hanya dikelilingi oleh dua prajurit dan pasukan prajurit lainnya yang tampaknya menang dari pertempuran, pulang kembali ke istana. Jika hanya dua orang saja, itu bukan masalah bagi Deanis.
Deanis tiba-tiba menarik tangan kedua prajurit itu hingga mereka oleng dan terjatuh. Deanis dengan gesit merebut satu anak panah dari dalah satu prajurit itu dan menyerang mereka dengan mata panahnya. Ditikamnya bahu kedua prajurit itu tanpa ragu dan mencabutnya kembali lalu menancapkannya ke kedua mata mereka secara bergantian hingga mereka berteriak kesakitan.
Kedua prajurit itu pun tergeletak di pasir sambil terus menjerit kesakitan tanpa perlawanan. Deanis berdiri dan tersenyum cukup puas dengan kemampuannya meskipun tak sampai membunuh dua prajurit itu. Ia berbalik badan dan melihat rombongan pasukan sang Panglima tadi semakin menjauh.
Deanis harus mengejar rombongan mereka untuk menyelamatkan Zeny. Apa pun caranya, Deanis harus bisa membawa Zeny kembali dengan selamat, meskipun ia masih tak tahu cara mereka kembali ke masa mereka.
Tanpa Deanis sadari, beberapa pasukan yang ada di barisan belakang, sempat menoleh ke arah belakang. Mereka melihat Deanis berlari dari jauh mengejar mereka dengan sebilah anak panah di tangannya.
Salah satu dari mereka pun mencambuk kuda kereta perangnya untuk bersejajar dengan kereta perang sang Panglima untuk melapor. Begitu sudah sejajar, prajurit itu melapor kepada sang Panglima. Panglima itu terkejut dan spontan menoleh ke arah belakang.
“Kurang ajar! Serang dia. Jangan biarkan dia mengikuti kita,” titah sang Panglima pada prajurit yang tadi melapor.
Prajurit itu pun melaksanakan perintah sang Panglima. Ia mengajak lima puluh prajurit lainnya beserta kuda perangnya untuk berbalik arah dan menyerang Deanis. Mereka menembakkan panah dan melempar tombak ke arah Deanis.
Sementara Deanis sedang menghadapi hujan panah dan tombak, Zeny yang di dalam karavan tengah diikat kedua tangannya dengan tali tampak tengah memikirkan sesuatu di kepalanya. Bagaimana pun caranya, ia harus menemukan cara untuk kembali pulang.
*to be continued*