Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Tertangkap Basah

Bab 5 Tertangkap Basah

“Jadi maksudmu, ini ... Mesir Kuno? Tidak mungkin!”

Zeny masih tidak percaya dengan kesimpulan yang didapatnya. Bukankah beberapa saat yang lalu gadis itu berada di Museum Kairo? Bagaimana mungkin ia berada di tempat seperti ini? Bagaimana bisa ia berada di masa sebelum masehi? Ini bukanlah perjalanan studi yang seharusnya.

“Buka matamu lagi, Udik. Kalau kau masih tidak yakin, kau bisa menengok lagi di balik bebatuan ini. Apakah pertempuran ricuh itu hanya teatrikal?” ujar Deanis agak sarkas.

Zeny pun menghela napas. Ia masih berusaha memahami situasi mereka. Otaknya seolah berhenti berpikir dan hanya ada ruang hampa di dalam sana.

“Hei, Udik. Menurutmu, kita terdampar di tahun berapa?” tanya Deanis.

Zeny yang mendengar pertanyaan Deanis pun menoleh dan mengusap wajahnya agak kasar.

“Entahlah. Yang jelas kita tidak berada di 2021,” jawab Zeny sekenanya.

Deanis berdecih lirih dan tersenyum miring.

“Kupikir kau tahu. Kau ‘kan anak terpintar di kelas Sejarah. Menebak hal seperti itu harusnya hal yang mudah untukmu, bukan?” sindir Deanis.

“Di saat seperti ini, kau masih bisa menyinggung nilaiku di kelas?” balas Zeny yang tampak sudah duduk lemas di atas pasir, di sebelah Deanis dan bersandar pada batu yang masih melindungi mereka.

Zeny tampak terlihat sedih dan sedikit tertekan. Pikirannya agak melalang buana kembali ke masa mereka yang sesungguhnya. Bukan, lebih tepatnya Zeny tengah memikirkan rumah dan sang Ayah. Gadis itu memikirkan kecemasan sang Ayah dan mengingat bagaimana sang Ayah melarangnya pergi. Ia mulai berpikir kembali, seandainya saja ia mengindahkan kekhawatiran ayahnya itu.

Melihat Zeny yang tampak murung dan sedih, Deanis merasa iba. Pemuda itu mengerti bahwa tak seharusnya ia bersikap seperti itu pada temannya itu. Ia pun menepuk puncak kepala Zeny yang tampak agak menunduk itu sebanyak dua kali.

“Jangan menangis. Kau tidak terdampar di tempat ini sendirian,” ujar Deanis mencoba menghibur.

Zeny mengangkat kepalanya dan berkata, “aku tidak menangis, Tuan Sok Tahu. Aku hanya sedih,” sahut Zeny. Memang ia bukanlah gadis yang mudah menangis, setidaknya tidak lagi sejak kematian ibunya.

“Sedih? Apa karena kau tidak tahu ada tidaknya kemungkinan kembali ke masa kita?” tanya Denias.

“Entahlah. Yang jelas, aku tidak sedih karena itu saja,” jawab Zeny.

“Lalu?”

“Aku sedih karena harus terjebak di era sebelum masehi bersama orang sebodoh dirimu,” jawab Zeny sambil menghela napas.

“Apa kau bilang?! Wah... tak kusangka kau mengejekku padahal aku yang menyadarkanmu bagaimana situasi kita,” ujar Deanis.

Zeny memutar bola matanya malas.

“Ya ... ya, terserah padamu. Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zeny pada Deanis.

Deanis menengok sedikit ke balik bebatuan dengan sedikit bangkit dari duduknya. Peperangan masih berlangsung dengan ganas, korban berjatuhan di seluruh hamparan pasir yang menjadi lautan darah para tentara. Pasir yang awalnya berwarna keemasan berubah menjadi merah gelap.

Sementara Deanis memeriksa keadaan peperangan di balik bebatuan, Zeny mencoba memeriksa dirinya sendiri. Saat ini ia terlihat masih mengenakan pakaian kasualnya yang tadi dipakainya saat berada di museum. Terkecuali tasnya, semua masih tetap menempel pada tubuhnya. Gadis itu merogoh kedua saku celananya dan meraba telinganya. Di dalam saku kanannya, ia menemukan gelang miliknya yang berhasil diraihnya dari Deanis. Kemudian di dalam saku kirinya, ia menemukan ponsel miliknya dan beberapa koin bernilai satu pound. Saat ia meraba telinganya pun, ia masih mengenakan anting emas miliknya yang merupakan satu-satunya perhiasan peninggalan ibunya. Zeny tampak bernapas lega.

Gadis itu mengambil ponselnya dan mencoba menyalakannya. Ponsel miliknya berhasil menyala namun tidak ada sinyal terdeteksi oleh ponselnya. Lebih mengejutkan lagi, tak ada data apa pun di dalamnya. Seolah ponsel itu kembali ke pengaturan standar pabrik. Zeny yang berharap bisa menemukan sesuatu serta berbuat sesuatu dari ponselnya pun hanya bisa menghela napas kekecewaan dan kembali menyimpan ponselnya.

Deanis berdecih sambil mengacak-acak rambutnya kasar dan kembali duduk dengan benar. Ia menoleh ke arah Zeny yang tampak menunggu jawaban darinya. Tanpa sengaja, Deanis menatap mata Zeny untuk beberapa saat. Ia baru sadar, Zeny tak mengenakan kacamata dan manik mata Zeny tampak lebih indah jika dilihat dari dekat. Tidak. Deanis mulai bertanya-tanya dalam pikirannya, mungkin saja itu karena ia tak pernah melihat gadis itu tak berkacamata dan saat itu adalah pertama kalinya.

“Bagaimana?” celetuk Zeny bertanya saat Deanis menatapnya.

Deanis terkejut dan agak kelabakan saat mendengar pertanyaan Zeny seolah ia tertangkap basah menatap mata gadis itu terlalu lama.

“O-oh... itu... mereka masih berperang. Hah... korban banyak berjatuhan. Emas jadi merah,” ujar Deanis.

Zeny membulatkan matanya lalu menangkupkan kedua tangannya ke wajah.

“Ya Tuhan. Separah itu? Hahh... aku masih tidak mengira bisa terjebak di tengah pertempuran seperti ini,” sahut Zeny terdengar putus asa.

“Hei, Udik. Secara teknis, kita tidak berada di tengah-tengah pertempuran itu. Kita sedang bersembunyi di balik batu besar ini,” ujar Deanis meralat.

“Hah.. ya itu lah pokoknya. Hei, Tuan Sok Populer, menurutmu... di tahun berapa kita?” tanya Zeny.

Mendengar pertanyaan Zeny, Deanis mengangkat kepalanya menatap langit dan awan yang tampak begitu cerah serta begitu terang.

“Kau tahu ‘kan, agar kita tahu berada di tahun berapa saat ini, setidaknya kita harus tahu siapa yang sedang berkuasa di masa ini. Tentu saja, kalau dugaanku benar bahwa kita berada di Peradaban Mesir Kuno,” ujar Deanis.

“Dugaanmu itu benar. Kita sedang terjebak di masa Mesir Kuno. Kau tak lihat dengan baik bagaimana pasukan tentara perang mereka? Alat-alat perang mereka? Yang mereka pakai dibuat di masa Mesir Kuno. Apa kau juga tak mendengar bagaimana sorakan dan bahasa yang mereka gunakan? Itu bahasa mereka, bahasa Mesir Kuno,” balas Zeny.

Deanis tersenyum mendengar balasan Zeny.

“Kau benar-benar anak terpintar di kelas rupanya. Baiklah, kalau begitu, apa rencana kita?” Deanis balik bertanya.

Zeny mengangkat sebelah alisnya.

“Hei, bukankah aku bertanya terlebih dulu tadi? Kenapa sekarang kau balik bertanya padaku?” balas Zeny bingung dan kesal.

Deanis berdecak.

“Kau ‘kan anak terpintar, sedangkan aku? Aku hanya ‘Tuan Sok Tahu’ dan ‘Tuan Sok Populer’ seperti yang kau katakan,” balas Deanis santai.

Zeny berdecih lalu mencibir pada Deanis.

“Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Memangnya apa yang bisa kita lakukan di tempat seperti ini? Lihatlah kita. Penampilan kita. Kita terlihat seperti orang asing dan aneh di zaman ini.”

Deanis tampak mulai menyadari ucapan Zeny dan memeriksa dirinya sendiri. Tentu ia masih mengenakan pakaiannya sendiri yang dikenakannya saat masih di museum, sama halnya seperti Zeny. Deanis pun merogoh saku-saku di celananya dan hanya menemukan ponsel serta kunci kamar hotelnya. Pemuda itu kembali berdecih.

“Dua barang tidak berguba,” monolog Deanis sambil mengangkat ponsel dan kunci hotelnya.

“Hm. Dua barang itu jadi tidak berguna `kan? Kalau begitu, rencana apa yang harus kita buat? Menemukan raja penguasa agar tahu di tahun berapa kita atau mencari cara untuk kembali ke tahun 2021?” tanya Zeny.

Saat Deanis hampir membuka mulutnya, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pemuda itu langsung meletakkan telunjuknya di depan bibirnya dan menghadap ke arah Zeny.

“Diamlah,” bisik Deanis pada Zeny.

Zeny menyatukan kedua alisnya di atas pangkal hidung.

“Apa?” tanya Zeny.

“Psst! Ada yang mendekat,” bisik Deanis.

“Mendekat?” tanya Zeny.

Alih-alih menjawab, Deanis menarik Zeny mendekat padanya dan berbisik pada gadis itu.

“Sebaiknya kita pikirkan cara keluar dari sini dengan selamat terlebih dulu,” bisik Deanis.

Zeny pun mulai mendengar langkah kaki yang mendekat seperti yang telah dikatakan oleh Deanis.

“Baiklah. Bagaimana caranya?” tanya Zeny.

Mata Deanis terus mengawasi dari balik bebatuan. Ia melihat bayangan bergerak tampak semakin dekat seiring dengan suara langkah yang beradu dengan hamparan pasir yang berderak.

“Pura-pura mati,” perintah Deanis dengan berbisik pada Zeny.

Deanis yang berbisik terlalu lirih membuat Zeny kurang mendengar jelas apa yang diucapkan oleh pemuda itu. Zeny pun kembali bertanya pada Deanis.

“Kau bilang apa?”

“Pura-pura mati, Udik,” bisik Deanis mengulang titahnya dengan sedikit penekanan karena ia melihat bayangan itu semakin besar yang artinya mereka semakin mendekat.

Mendengar itu, Zeny pun menelungkupkan tubuhnya menghadap ke pasir. Namun karena terlalu tergesa, Zeny sempat menghirup pasir yang mengenai wajahnya hingga tanpa sengaja masuk ke dalam mulutnya.

“Uhuukk!! Uhukk!”

Spontan Zeny terbatuk dengan cukup keras.

Bayangan besar itu berhenti. Suara langkah pun tak terdengar lagi. Tiba-tiba terdengar suara berat yang begitu lantang.

“Siapa di sana?!”

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel