Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Terdampar di Gurun Pasir

Bab 4 Terdampar di Gurun Pasir

Zeny merasa tubuhnya diguncang oleh sesuatu. Perlahan ia membuka kedua matanya dan merasakan kepalanya sedikit pening. Saat matanya mulai benar-benar terbuka dan kesadarannya telah kembali, ia melihat Deanis tengah duduk di dekatnya. Spontan Zeny langsung melihat tangannya dan gelang itu telah berada dalam genggamannya. Gadis itu terlihat lega dan perlahan berdiri.

“Ck. Di mana ini?” celetuk Deanis.

Mendengar celetukan Deanis, Zeny pun mulai mengedarkan pandangannya. Mereka berdua derada di tengah-tengah hamparan pasir dengan cuaca yang terbilang panas dan terik. Melihat ini, Zeny mendengus kesal dan memukul kepala Deanis dari belakang tanpa ragu.

“Aw!! Siapa yang-kau sudah bangun?” seru Deanis yang sempat mengaduh tengah menoleh ke arah Zeny sambil mengusap kepala belakangnya.

“Kau! Ini semua gara-gara kau `kan?” Tempat apa ini? Kenapa kau membawaku kemari? Sebenci itu `kah kau padaku? Apa salahku padamu, Deanis? Tidak bisakah kau berhenti menggangguku, hah?!” oceh Zeny mengomel dengan histeris dan tampak dengan jelas bahwa gadis itu sangat geram pada Deanis.

Deanis yang merasa dituduh untuk sesuatu yang tidak dilakukannya pun naik pitam. Pemuda itu berdiri dan menatap Zeny dengan tatapan yang tidak kalah galak.

“Apa kau bilang? Aku? Hah! Aku tidak melakukan apa pun! Dasar Udik!” balas Deanis.

Zeny berkacak pinggang sambil membalas tatapan Deanis lebih geram.

“Tidak melakukan apa-apa, katamu? Kau terus menjahiliku, Tuan Sok Populer. Kau pikir aku senang diganggu terus olehmu? Aku berusaha terus diam dan mengabaikanmu tapi kau terus-menerus menggangguku. Apa kau tidak bosan? Kau tidak ada mainan lain selain aku? Kenapa harus aku?!” bentak Zeny tepat di depan wajah Deanis meluapkan semua kekesalannya.

BUMM!! DHARRR!!

Terdengar suara dentuman lagi yang lebih keras diikuti suara terompet ditiup dengan lengkingan yang menggelegar tepat setelah bentakan Zeny berakhir. Zeny dan Deanis menoleh ke arah sumber suara. Dari jauh tampak terlihat seperti kepulan badai pasir dan suara gemuruh langkah ribuan orang mendekati posisi mereka dari dua arah yang berlawanan.

“Apa itu?” tanya Zeny dengan polosnya.

Deanis mengamati dengan seksama dan seketika matanya membulat besar. Pemuda itu langsung menarik tangan Zeny dan berlari mencari tempat aman.

‘Hei! Apa yang kau lakukan? Ke mana kau akan membawaku?” protes Zeny yang tetap mengikuti Deanis berlari karena tangannya digenggam erat-erat oleh pemuda itu.

Deanis tidak menjawab dan terus membawa mereka berlari menjauh dari titik di mana mereka terjatuh tadi. Tanpa memperhatikan ke belakang pun, Deanis merasa kerumunan itu semakin mendekat. Karena lokasi di sekeliling mereka hanyalah hamparan gurun pasir yang luas, tidak ada yang bisa dijadikan tempat aman untuk bersembunyi. Sampai Deanis melihat sebongkah bebatuan besar yang dirasanya cukup aman menjadi lokasi persembunyian mereka.

“Di sana. Batu itu,” ujar Deanis sambil berlari secepat yang ia bisa tanpa melepas genggaman tangannya dari genggaman tangan Zeny.

Sampailah mereka di bongkahan bebatuan yang memang cukup besar itu. Mereka bersembunyi di belakang batu besar itu dan sejenak bernapas lega.

“Apa itu tadi?” tanya Zeny dengan nafas yang masih tersengal-sengal.

Keduanya maish berusaha mengatur nafas agar kembali normal setelah berlarian di bawah terik matahari yang panas dan mengarungi samudra pasir yang kering dan menimbulkan debu itu.

Deanis mencoba mengintip sedikit dari balik bebatuan itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Mereka tentu bisa mendengar gemuruh, teriakan dan derap kaki kuda penarik kereta perang serta ringkikannya terjadi saling bersahutan dengan tidak beraturan. Desing anak panah yang berderu menembus angin ke sana kemari pun menambah kericuhan yang didengar Deanis dan Zeny.

“Ini pertempuran. Mereka sedang berperang. Ada banyak kereta perang dan tentara saling menyerang di sana,” tutur Deanis pada Zeny sambil masih memperhatikan peristiwa di sana dari balik persembunyian mereka.

“Apa maksudmu perang?” tanya Zeny tampak masih tidak memahami situasi mereka. Gadis itu berpikir bahwa mereka hanya terbawa keluar ke hamparan pasir yang jauh dari kawasan alun-alun Tahrir.

Mendengar pertanyaan Zeny, Deanis pun tampak geram. Pemuda itu memutuskan untuk tak lagi mengintip pertempuran itu dan berbalik badan untuk menjelaskan situasi mereka yang telah dipahaminya. Deanis yang sudah berbalik badan pun menarik kedua tangan Zeny untuk berjongkok bersama dan ia mulai menjelaskan dengan tetap menjaga volume suaranya agar tetap terdengar oleh Zeny tapi tidak terdengar oleh mereka yang sedang bertempur.

“Apa kau sadar ada di mana kita?” tanya Deanis pada Zeny.

“Di Mesir, tentu saja. Dan kau membawaku ke padang pasir yang panas dan kering. Dan lihat! Di sana ada pertunjukan teatrikal peperangan dan kau malah mengajakku bersembunyi dibalik bongkahan batuan ini,” oceh Zeny yang merasa pendapatnya benar.

Deanis menghela napas dalam-dalam.

“Aku sungguh penasaran dengan isi otakmu, Udik. Di kelas Sejarah, kau yang paling pintar bukan? Kenapa dalam situasi seperti ini kau justru menjadi bodoh sekali?” ledek Deanis terdengar kesal.

“Bodoh katamu? Nilai tertinggimu di kelas Sejarah adalah D, Tuan Populer. Beruntung kau tidak diberi F oleh Miss Elora karena absensimu meskipun kau selalu tidur di kelas,” balas Zeny yang merasa tidak senang dengan ledekan Deanis.

Diledek bodoh oleh orang dengan nilai terendah di kelas saat kau adalah pemegang nilai tertinggi di kelas adalah penghinaan besar bagi Zeny.

Deanis memutar bola matanya dan kembali mengambil nafas.

“Baiklah, terserah kau saja. Kalau memang kau yang terpintar, coba jelaskan padaku, di mana kita?” tantang Deanis.

Ditantang Deanis seperti itu pun, harga diri Zeny mendadak jatuh. Dalam kepalanya, apa yang baru saja dijelaskannya tadi adalah hal yang paling masuk akal. Sedangkan apa yang diocehkan Deanis adalah hal yang tidak masuk akal. Perang kata Deanis, Zeny tidak akan sebodoh itu untuk percaya bualan Deanis.

“Tentu saja seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, kau membawaku ke padang pasir jauh dari alun-alun Tahrir dan kini kita berada di tengah-tengah pertunjukan teatrikal tentang peperangan,” balas Zeny keras kepala.

Deanis hanya diam sambil tersenyum masam. Pemuda itu tidak mengerti, bagaimana gadis itu masih tidak memahami situasi mereka.

“Kenapa kau diam? Kau diam karena aku benar `kan?” ujar Zeny.

“Kau merasa benar?” tanya Deanis.

“Tentu saja,” jawab Zeny.

“Kalau begitu, kau lihat saja sendiri. Lalu simpulkan lah dengan baik dan benar, anak terpintar di kelas Sejarah, tentang apa yang kau lihat dan sedang dalam situasi apa kita sekarang,” tutur Deanis yang sudah tidak lagi bersikukuh menjelaskan keadaan dan membiarkan Zeny menyadari situasi mereka dengan sendirinya.

Zeny pun mengerucutkan bibirnya dan mencoba mengintip sedikit dari balik persembunyian mereka. Ia melihat di sana memang sedang terjadi pertempuran. Sebuah peperangan yang besar yang tampaknya sangat sengit. Bala tentara saling mengayunkan senjata mereka ke bala tentara lainnya. Suara denting pedang yang beradu dengan perisai yang digunakan setiap pasukan ternyata begitu nyaring dan nyata. Kereta perang yang ditarik oleh kuda-kuda perang dan ditunggangi oleh satu atau dua pasukan pemanah yang terus saling memanah ke arah lawan.

Banyak korban berjatuhan terhunus anak panah dan tombak, tersayat kapak gada dan khopesh* perunggu yang menembus baju besi lawan. Zeny melihat banyak korban mengucurkan darah dari luka-luka mereka. Mulut Zeny menganga cukup lebar karena keterkejutannya. Karena masih diliputi rasa tidak percaya dan juga penasaran, Zeny masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling pemandangan pertempuran itu.

*)khopesh adalah pedang unik yang berbentuk melengkung yang menjadi salah satu senjata kebanggaan militer Mesir Kuno pada zaman Kerajaan Baru.

Kereta perang itu, atribut itu, senjata-senjata itu, tampak seperti yang ada dalam buku-buku sejarah yang dipelajarinya. Bahkan menurut Zeny, yang dilihatnya terlalu nyata. Gadis itu mulai mencerna dan memahami situasi yang sedang dihadapinya. Namun, logikanya masih belum bisa menerima. Zeny membalikkan badannya dan menatap Deanis dengan tatapan tak percaya.

“Apa... ini nyata?” tanya Zeny pada Deanis.

Deanis tersenyum masam pada Zeny. Akhirnya si gadis kutu buku itu menyadari situasi mereka saat ini. Ya. Entah bagaimana caranya, kedua anak manusia dari era modern itu berpindah waktu ke zaman yang sangat jauh di masa lampau.

“Bagaimana ‘anak terpintar di kelas’? Sudah memahami situasi kita?” tanya Deanis balik pada Zeny.

Zeny tampak menelan ludahnya dengan kasar.

“Ini... Mesir Kuno? Tidak mungkin!”

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel