Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 17 Tertangkap Basah, Lagi

Bab 17 Tertangkap Basah, Lagi

“Raja besar? Ayah sang Firaun? Apa maksudmu?” tanya Deanis tak mengerti.

“Seti I, benar?” celetuk Zeny.

Orang itu terkejut saat Zeny menyebutkan nama ayah dari Ramses II. Pria paruh baya itu menunduk dan mengangguk membenarkan ucapan Zeny.

“Y-ya, Putri. Raja Seti I akan segera datang. K-karena itu, saya meminta Tuan Yang Terpilih untuk segera menyelesaikan urusannya dan segera pergi dari istana. Jika tidak, tak hanya Tuan yang akan mendapat bahaya, saya pun akan mendapatkan getahnya jika ketahuan menyusupkan orang luar istana masuk ke dalam istana tanpa persetujuan Sang Firaun,” jelas orang itu.

Zeny menatap orang itu dengan iba lalu menatap Deanis dengan tatapan kesal.

“Lihatlah. Karena rencanamu, seseorang akan terancam kehilangan pekerjaan dan juga nyawanya. Sekarang, pergilah,” pinta Zeny.

Deanis terkejut mendengar permintaan Zeny.

“Apa maksudmu? Kau menyuruhku pergi begitu saja? Aku pergi maka kau juga pergi,” ujar Deanis.

“Tidak. Aku tidak mau,” balas Zeny.

“Apa kau bilang? Bukankah kau tadi berkata padaku untuk bersedia pergi bersamaku?”

“Aku tidak bilang seperti itu,” sanggah Zeny.

“Udik, kau mengatakannya tadi,” ujar Deanis keukeuh dan penuh penekanan. Bahkan karena terlalu kesal, pemuda itu kembali memanggil Zeny dengan sebutan Udik.

Zeny membelalakkan matanya. Gadis itu mendengus kesal dan menghentakkan tangan Deanis yang masih menggenggam tangannya sejak tadi.

“Aku berubah pikiran, Tuan Sok Populer,” tolak Zeny.

“Apa maksudmu berubah pikiran?!” tanya Deanis setengah membentak dan mencengkeram pergelangan tangan Zeny kuat-kuat dengan tatapan marah.

Zeny meringis kesakitan.

“Lepaskan! Lepaskan, Deanis! Sakit!” protes Zeny memberontak sambil menggoyang-goyangkan tangannya, berusaha melepaskannya dari cengkeraman tangan Deanis yang begitu kuat.

Melihat Yang Terpilih dan Putri Maathorneferure bertengkar di hadapannya, orang yang bersekongkol dengan Bast si penyamun pun sempat kebingungan meskipun juga merasa takut. Ia pun mencoba melerai kedua anak manusia di hadapannya itu.

“T-tunggu dulu. Tuan dan Tuan Putri, saya mohon jangan bertengkar seperti ini. Kalian akan menarik perhatian banyak orang,” peringat orang itu sambil mencoba membantu Zeny melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Deanis.

Deanis pun perlahan melepaskan cengkramannya dan Zeny mengusap-usap pergelangan tangannya yang masih terasa nyeri akibat cengkraman Deanis.

“Siapa namamu?” tanya Deanis pada orang yang membantunya masuk ke istana itu.

“S-saya... Nama saya Kamuzu, Tuan,” jawabnya.

“Kamuzu, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” kali ini Zeny yang mengajukan pertanyaan.

Kamuzu pun menoleh ke arah Zeny dan mengangguk.

“Silakan, Tuan Putri,” jawab Kamuzu.

“Kau menyebutnya sebagai Yang Terpilih, mengapa demikian?” tanya Zeny sambil menunjuk Deanis.

“Ah, itu karena Ketua memberitahu saya. Bahwa tuan yang akan saya bantu masuk ke dalam istana adalah Yang Terpilih. Saya tidak akan meragukan apa yang sudah diucapkan oleh Ketua,” ujar Kamuzu.

“Ketua?” tanya Zeny sambil mengerutkan keningnya.

“Bast. Kau juga memanggil Bast dengan sebutan Ketua. Boleh kutahu, siapa kau sebenarnya?” sahut Deanis memotong dan justru bertanya tentang identitas Kamuzu.

Pemuda itu memang sudah penasaran sejak awal kepada si Kamuzu itu. Karena logika Deanis berasumsi, jika memang Kamuzu adalah benar-benar orang istana, bagaimana ia bisa mengenal Bast? Dan jika bukan orang istana, bagaimana ia bisa berada di dalam istana tanpa ketahuan? Mengingat bahwa pengawal di depan gerbang harus disihir oleh Bast terlebih dulu saat ia akan masuk ke dalam.

Kamuzu tampak gugup. Pria yang sudah paruh baya itu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada orang yang mendengarkan percakapan mereka.

“S-saya... saya adalah anggota penyamun. Ketua menyelundupkan saya ke dalam istana sebagai mata penyamun di dalam istana. K-kami memiliki rencana untuk mencuri beberapa benda keramat milik sang Firaun. Ketua... menyihir beberapa orang di dalam istana yang bisa memberikan kesaksian bahwa saya adalah orang istana sejak lama. Bahkan penampilan ini, semua berkat Ketua,” ujar Kamuzu dengan mengecilkan volume suaranya menjadi setengah berbisik.

Deanis dan Zeny cukup terkejut dengan pengakuan yang diberikan oleh Kamuzu.

“Jadi... kau bukan orang istana?” tanya Deanis.

Kamuzu menggeleng. Melihat itu, Deanis menghela napas. Zeny tampak memperhatikan Kamuzu dan kembali bertanya.

“Kau bilang tadi kalau penampilanmu berkat Ketua? Apa maksudnya itu?”

“Ah, itu.. sebenarnya saya tak setua ini. Ini semua berkat keahlian ketua dalam keterampilan sihirnya. Ketua benar-benar pengikut Dewi Isis yang paling setia,” ujar Kamuzu.

Deanis memijat keningnya yang mulai merasa pening mendengar cerita Kamuzu, sementara Zeny mengangkat sebelah alisnya tak mengerti.

“Ah, sudah cukup bercerita tentang saya. Saya harus membawa Tuan keluar dari sini sebelum pengawal yang lain dan Raja Seti I tiba di istana,” tutur Kamuzu sambil meraih tangan Deanis dan perlahan menariknya menjauh dari Zeny.

“Eh, apa yang kau lakukan? Tunggu!” seru Deanis yang langsung menghempas tangan Kamuzu dari tangannya.

Deanis kembali berdiri di hadapan Zeny dan tampak masih berusaha mengajak Zeny.

“Zen, ayolah. Kita kabur. Kita pergi dari sini. Ya?” ajak Deanis, kali ini terdengar lebih seperti memohon kepada Zeny.

Zeny menatap Deanis dengan pandangan yang tak bisa didefinisikan. Gadis itu tampak tergoyahkan lagi saat Deanis memelas padanya. Namun lagi-lagi, keinginannya untuk tinggal dan mengetahui lebih banyak tentang istana serta peradaban Mesir Kuno, membuatnya berpikir dua kali. Dan itu sangat membuang-buang waktu.

Kamuzu tampak menghela napas. Ia pun tak menghiraukan lagi apa yang nanti akan didapatkannya saat memaksa Yang Terpilih untuk keluar dari istana. Yang ia pedulikan saat ini adalah posisinya dalam istana akan terancam jika ia tak segera mengeluarkan Yang Terpilih tepat waktu. Semua rencana yang dirancang oleh para penyamun terhadap istana selama bertahun-tahun akan menjadi sia-sia belaka.

Pria paruh baya itu terpaksa menarik tangan Deanis dan menjauhkannya dari Zeny, tak menghiraukan protes serta berontak dari Deanis. Zeny pun tak bisa mencoba menahan Kamuzu karena merasa apa yang dilakukan Kamuzu demi kebaikan Deanis dan Kamuzu, tentu saja.

“Berhenti!!” seru suara lantang tengah menghadang jalan Kamuzu.

Kamuzu terkejut, begitu pula dengan Deanis dan Zeny.

“Ada apa ini?” tanya pemilik suara lantang itu pada Kamuzu. Ia bahkan sempat melirik ke arah tangan Kamuzu yang tengah menarik pergelangan tangan Deanis.

Kamuzu tampak gugup namun ia mencoba tenang agar dapat menjawab pertanyaan pengawal kerajaan dengan benar.

“Ah, tidak pengawal. Saya melihat pria ini bergelagat aneh dan mendekati Tuan Putri. Jadi saya pikir saya hanya ingin menjag-“

“Pria ini?” potong pengawal itu sambil mengalihkan perhatiannya pada Deanis.

“Ah, iya. Saya akan segera membawanya pergi jauh dari Tuan Putri. Kalau begitu, say-“

“Tunggu dulu. Soal ini, biar aku yang urus. Kau pergilah,” ujar pengawal itu sambil masih memandangi Deanis.

Kamuzu menghela napas. Ia tak mungkin menolak permintaan pengawal itu karena hanya akan menimbulkan kecurigaan. Pria paruh baya itu pun memutuskan untuk melepas tangan Deanis dan menyerahkan Deanis pada pengawal yang menghadangnya.

Melihat Kamuzu melepas tangannya, Deanis terkejut.

“Ah, tunggu. Tidak perlu. A-aku akan pergi bersama dia. Aku... tidak akan berani mendekati Tuan Putri lagi,” ujar Deanis pada pengawal itu dan hendak meraih tangan Kamuzu.

Namun pengawal itu lebih gesit dan meraih tangan Deanis terlebih dahulu.

“Kau adalah urusanku sekarang. Jadi kau tak perlu lagi ikut dengannya,” ujar pengwal itu pada Deanis lalu berbalik menatap Kamuzu dan berkata, “..dan kau, kembalilah ke posmu semula.”

Kamuzu mengangguk ragu. Ia menatap Deanis dengan tatapan menyesal. Seharusnya ia bisa lebih cepat membawa Deanis keluar dari istana jika mereka tidak sibuk berdebat dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan yang tidak penting. Kamuzu menatap iba pada Deanis dan berdoa kepada Dewi Isis semoga ada keajaiban yang membantu Deanis.

“Sepertinya kau tidak asing,” ucap pengwal itu sambil menatap Deanis.

Deanis menatap balik ke arah pengawal itu. Pemuda itu menelan salivanya dengan susah payah. Tampaknya tak hanya pengawal itu yang merasa familiar dengan Deanis, bahkan Deanis pun amat sangat mengenali pengawal itu.

“Ah! Kau!! Kau bocah yang ada di gurun pasir saat itu! Wah!! Kau sungguh berani rupanya. Masuk ke dalam istana hanya untuk menyelamatkan gadis itu? Aku benar?” tebak pengawal itu sambil tertawa mengejek Deanis.

Deanis menatap marah kepada pengawal itu. Bukan. Pria itu bukan sekadar seorang pengawal. Deanis tahu benar siapa pria menyebalkan yang menghadangnya.

“Sial sekali aku. Bertemu denganmu lagi, Panglima tengik!” seru Deanis sembari meludahi sang Panglima.

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel