Bab 15 Kemunculan Deanis
Bab 15 Kemunculan Deanis
Beberapa saat yang lalu.
Deanis dan para penyamun itu telah sampai di area Kerajaan. Hanya berjarak 500 meter lagi dari gerbang Kerajaan yang kini tengah tertutup rapat dan hanya ada empat pengawal di gerbang.
Deanis menunggang kudanya, mendekatkannya pada kuda yang ditunggangi oleh Bast.
“Ada empat pengawal. Dan pintu gerbang tertutup rapat. Bagaimana kita masuk ke dalam sana? Kau sudah mendapatkan ide?” tanya Deanis.
Bast tampak tersenyum.
“Kita tunggu,” ujar Bast sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai tanda bagi para anak buahnya untuk berhenti dan menunggu.
“Menunggu? Apa yang kita tunggu?” tanya Deanis.
Bast tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tak lama kemudian, Deanis melihat seekor burung tampak terbang mendekat. Semakin dekat semakin jelas hingga Deanis yang awalnya tidak mengetahui jenisnya pun mulai mengenalinya.
“Rajawali?” monolognya lirih saat seekor rajawali itu perlahan menukik dan bertengger di tangan Bast yang sudah terulur bak ranting yang siap dihinggapi.
Bast tersenyum dan mengusap puncak kepala burung rajawali itu. Burung itu menundukkan kepalanya sedikit dan Deanis melihat segulung perkamen papyrus terikat di antara kedua cakarnya. Bast mengambil gulungan perkamen itu dan membukanya. Pria itu membacanya dan tersenyum.
“Mereka mengadakan pesta kemenangan di dalam sana. Kurasa aku bisa menyelinapkanmu di dalam sebagai undangan. Mereka masih mempersiapkan pesta,” ujar Bast sambil merogoh kantong jubahnya, mengambil sesuatu dari sana yang tampak seperti batang alang-alang yang berwarna hitam agak kekuningan.
Bast tampak menulis sesuatu dibalik perkamen papyrus itu lalu menggulungnya kembali dan menyelipkannya di antara cakar itu lagi. Kemudian Bast mengangkat tangannya dan membiarkan rajawali itu kembali terbang ke arah dari mana ia datang.
“Ke mana rajawali itu pergi?” tanya Deanis sambil memperhatikan rajawali yang terbang menjauh dari mereka.
“Kembali ke tuannya. Menyampaikan balasan pesanku,” balas Bast lalu menoleh ke arah Deanis.
“Kau mengenal seseorang di dalam istana?” tanya Deanis.
“Begitulah. Aku akan membawamu ke dalam, tetapi kau harus mengganti pakaianmu terlebih dahulu,” ujar Bast.
“Pakaianku?”
“Ya. Kau tak mungkin masuk ke dalam pesta kerajaan dengan pakaian aneh seperti itu bukan? Kau akan terlihat menonjol dan mudah ditemukan. Ini, pakailah!” ujar Bast sambil menyerahkan sebuah bingkisan kepada Deanis.
Deanis menerima dan membukanya. Isi bingkisan yang terbungkus oleh daun papyrus itu adalah sebuah jubah berwarna emas. Pemuda itu mengangkat jubah itu dan melebarkannya untuk melihat model jubah itu.
“Memakai ini?” tanya Deanis terdengar ragu.
“Ya. Kenapa? Ah, kau pasti bingung memakainya. Akan kubantu,” lalu Bast pun turun dari kudanya.
Deanis seolah mengerti, ia pun ikut turun dari kudanya. Begitu Deanis turun dari kuda, Bast langsung membantu memasang jubah emas itu. Setelah siap dan layak, Bast meminta Deanis naik kembali ke kudanya lalu Bast memberikan pedang belati yang sempat digunakan Deanis.
“Bawalah ini,” ujar Bast.
Deanis menatap pedang belati itu cukup lama kemudian mengangguk dan menerimanya. Ia segera menyimpannya di balik jubahnya.
“Sekarang kau sudah siap masuk ke dalam sana. Semuanya, kalian bersembunyilah. Aku akan mengantar Yang Terpilih memasuki wilayah Firaun. Aku akan kembali,” ujar Bast pada anak buahnya.
Bast menatap Deanis dan mengangguk bersamaan. Mereka pun menunggangi kuda menuju gerbang kerajaan. Saat kira-kira jarak mereka sekitar 100 meter, tampak gerbang kerajaan sedikit terbuka. Kuda yang ditunggangi Bast maju terlebih dulu.
Keempat pengawal itu langsung maju dan menyilangkan tombak menghalangi jalan mereka.
“Siapa kalian?” tanya salah seorang pengawal itu.
Deanis menelan salivanya dengan susah payah. Ia bahkan tampak berkeringat banyak karena gugup. Namun lain halnya dengan Bast. Ia tampak tenang dan tak ada kegugupan sama sekali di wajahnya.
Tak lama kemudian, Bast tersenyum lalu meniupkan sesuatu. Keluar sedikit asap kabut tipis yang mengarah pada keempat pengawal tersebut. Entah apa yang sudah dilakukan Bast, keempat pengawal itu tiba-tiba menurunkan tombaknya dan membuka jalan serta melebarkan gerbang kerajaan.
Karena penasaran sekaligus takjub, Deanis pun mendekatkan kudanya pada Bast.
“Apa yang kau lakukan pada mereka?” tanya Deanis.
“Sedikit sihir. Masuklah. Mantraku hanya bertahan sementara. Saat efeknya hilang, mereka akan kebingungan dan lupa bahwa kita pernah muncul di depan mereka. Setelah kau masuk nanti, ada seorang temanku yang akan segera menemuimu dan menjaga kudamu. Dia yang akan mempersilahkan kau bergabung dalam pesta. Ingat, kau sebaiknya tidak menarik perhatian banyak orang. Simpan pedang belati itu baik-baik dan jangan sampai terlihat sebelum saat kau benar-benar membutuhkannya. Jika tidak, kau tidak akan bisa lolos dari Ramses II dan seluruh prajuritnya. Dan ini...,” Bast mengeluarkan sebuah kantong kecil dan memberikannya pada Deanis.
Bast melanjutkan kalimatnya, “..bawalah ini. Taburkan saat kau benar-benar yakin menggunakannya. Usai kau menaburnya, ingatlah agar kau dan temanmu tak sampai menghirupnya. Jika tidak, kalian akan terkena dampaknya dan itu akan sia-sia.”
Deanis menerima kantong yang diberikan Bast padanya. Ia mengenali kantong itu.
“Serbuk Setesh?” tanya Deanis.
Bast mengangguk.
“Serbuk itu akan membantumu keluar dari istana. Kau hanya perlu menyebarnya dan ingatlah apa yang tadi kukatakan. Temanku yang membawamu masuk akan mengawasimu hingga berhasil mengeluarkanmu. Sekarang, pergilah. Cepat!” ujar Bast.
Deanis menyimpan kantong itu ke dalam jubahnya juga dan segera masuk ke dalam kerajaan tanpa menoleh ke belakang lagi. Begitu melihat Deanis berhasil masuk, Bast segera memutar kudanya kembali ke tempat di mana anak buahnya menunggu.
Deanis sudah masuk ke dalam dan sesuai perkataan Bast, ada seseorang yang tampaknya dari kalangan pengawal dalam istana. Ia membantu Deanis menyimpankan kudanya dan mengantarkannya ke area pesta tanpa berkata sepatah kata pun. Deanis pun mendapatkan meja yang bisa dikatakan berada di depan hingga ia dapat melihat dengan jelas singgasana di mana sang Firaun-Ramses II, tengah duduk di sana.
Pemuda itu terus memperhatikan gerak-gerik sang Firaun sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sosok Zeny.
Sampai akhirnya, netra Deanis menemukan sosok temannya itu. Pemuda itu terkesima dengan penampilan Zeny yang dilihatnya. Ia seakan tak percaya pada wanita yang sedang berjalan di depan bersama Sang Firaun.
Deanis merasa lega melihat kondisi Zeny yang masih bernyawa sekaligus kesal melihat pria yang tampak lebih tua darinya tengah memegang tangan Zeny begitu saja. Deanis tak suka pemandangan itu.
Ting ting ting!!
Terdengar suara dentingan dari sendok yang dipukulkan pada gelas perak itu. Deanis mengepalkan tangannya dan menggemeletukkan giginya tanpa sadar. Netranya tak beralih sedikit pun dari Zeny.
Deanis mendengarkan dengan seksama dan menahan emosinya karena mengingat setiap ucapan Bast. Saat ia mendengar Sang Firaun mengatakan bahwa Zeny adalah Maathorneferure dan menjadi selirnya, Deanis sangat terkejut dan naik pitam. Ia pun mencoba memberikan kode pada Zeny yang sempat menoleh karena tampaknya ia juga terkejut, tidak berhasil. Namun Deanis tak berputus asa.
Pemuda itu mencoba berbagai cara dan bergerak mendekat. Saat cukup dekat itu lah, Deanis mencoba memberikan tanda pada Zeny saat gadis itu menoleh ke arahnya.
“Hei. Ini aku,” ujar Deanis dengan bahasa bibirnya dan bahasa isyarat versinya.
Namun Zeny masih belum menyadarinya. Deanis mencoba lagi dan kali ini ia mencoba memanggil nama Zeny.
“Zeny! Hei, Udik! Psst!” panggil Deanis dengan lirih namun tegas.
Zeny tampaknya mendengar seseorang memanggilnya. Gadis itu tampak celingukan dan menemukan Deanis tak jauh dari lokasinya. Manik perak milik Zeny membulat. Tampaknya gadis itu cukup terkejut dengan kehadiran Deanis.
“Deanis!” balas Zeny yang hampir berteriak tapi berbisik.
Deanis tersenyum tipis dan pemuda itu tampak siap mengeluarkan sesuatu dari jubahnya. Ia akan mengeluarkan kantong berisi Serbuk Setesh-nya. Kemudian ia berkata lagi pada Zeny yang tampak sesekali mengalihkan pandangannya agar Sang Firaun tak curiga. Saat Zeny menoleh lagi padanya, Deanis kembali berkomunikasi dengan bahasa bibirnya.
“Tahan napasmu,” pinta Deanis.
Zeny tampak kebingungan dan balik membalas dengan kerutan yang terbentuk tipis di keningnya, “Apa?”
Saat Deanis hendak mengambil sejumput serbuk itu, ia melihat Zeny tampak mendekatinya. Sepertinya gadis itu berhasil menjauhkan dirinya sejenak dari Ramses II dan menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Zeny.
“A-aku? Menyelamatkanmu? Membawamu keluar dari sini dan pulang?” jawab Deanis dengan pertanyaan yang retoris.
Zeny tampak memutar bola matanya.
“Kau tahu jalan keluar dari istana ini?”
Deanis menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kau tahu bagaimana kita pulang?” tanya Deanis kemudian.
“Tidak.”
Deanis menarik Zeny menjauh dari keramaian. Diurungkan niatnya untuk menggunakan Serbuk Setesh dan mencoba berdiskusi dengan gadis di hadapannya itu.
“Kita harus pergi!’ ajak Deanis tegas dan suara yang tidak begitu keras.
“Ke mana? Kita bahkan tidak tahu bagaimana kita pulang,” balas Zeny.
“Ke mana saja. Asal tidak terjebak di istana ini, lalu kita akan mencari cara untuk pulang kembali ke masa kita.”
Zeny tampak diam sejenak sambil menatap Deanis penuh kebingungan dan ketidakpahamannya.
“Tidak,” ujar Zeny sambil menggelengkan kepala.
Kini giliran Deanis yang terkejut dan tidak mengerti.
“Apa kau gila?”
“Tidak. Aku ingin mencari Maathorneferure,” ujar Zeny.
Deanis terperangah dan menatap Zeny tak percaya.
*to be continued*