Bab 13 Penolakan Zeny
Bab 13 Penolakan Zeny
Kembali ke situasi di dalam Istana Mesir.
Zeny terkejut mendengar ucapan Sang Firaun. Tidak mungkin, pikirnya. Pria yang katanya dalam buku sejarah yang dibacanya itu adalah orang paling berkuasa dan berjaya di masa dinasti ke-19 ini. Ya. Zeny mulai mengingat itu. Jika memang benar Ramses yang dihadapannya yang dipanggil sebagai Ramses II atau Ramses yang Agung, maka ia dan Deanis terdampar ke masa antara 1200 SM atau 800 SM. Zeny masih tidak bisa memastikan dengan spesifik. Hanya itu yang tertebak dalam pikirannya sekarang.
Zeny masih tidak sadar, sejak ia tiba-tiba berteriak saat Sang Firaun mengatakan bahwa ia adalah milik dari Sang Firaun, ia masih ditatap dengan senyuman yang misterius dari Sang Firaun.
“Ada apa, Nona Bermata Perak? Kau ingin berkata sesuatu, Nona?” ujar Sang Firaun.
Zeny yang mulai menyadari bahwa ia masih berada di tengah-tengah situasi genting. Ya. Sang Firaun tampaknya ingin menjadikannya bagian dari wanita-wanitanya.
“A-aku bukan milik siapa pun,” ujar Zeny.
Sang Firaun, Ramses II, mengerutkan keningnya kemudian tersenyum. Ia berjalan menghampiri Zeny dan berkata, “semua yang berada di Mesir adalah milikku, Nona. Aku Ramses yang Agung. Aku penguasa di Mesir ini.”
“Itu hanya versimu,” celetuk Maathorneferure.
Ramses II menoleh ke arah wanita itu dan menghampirinya kemudian membelai pipinya.
“Kau sungguh seperti ayahmu. Ck. Ck. Ck. Keras kepala, picik, seolah tahu segalanya,” ujar Ramses II.
“Kau arogan, sok berkuasa dan tidak tahu diri,” ujar Maathorneferure.
Ramses II tertawa. Tawanya cukup menggelegar memenuhi aula istananya itu.
“Begitu rupanya pandangan musuh terhadap diriku. Hah... Moisis, di mana Penasihat Mut?” tanya Ramses II pada menterinya.
“Penasihat Mut.... bukankah Yang Mulia Agung meminta kami untuk mengirimnya ke pengasingan?”
“Ah, kau benar. Aku memerintahkan kalian untuk mengirimnya ke pengasingan. Bagaimana kabarnya? Masihkah bernyawa?” tanya Ramses II dengan tenang dan seolah nyawa Penasihat Mut bak nyawa seekor nyamuk.
Mendengar ucapan itu, Maathorneferure naik pitam. Bagaimana bisa, Ramses II menganggap nyawa seseorang terdengar seperti suatu hal yang tidak berharga sama sekali.
“Kau benar-benar keterlaluan, Ramses II!” seru Maathorneferure.
Ramses II menoleh dan mendekat pada Maathorneferure. Pria itu menarik dagu Maathorneferure ke atas dengan cukup kasar. Zeny pun membelalakkan mata dibuatnya.
“Oh. Apa ini? Kau tidak suka, Tuan Putri? Mengapa? Karena Mut masih bagian dari rakyatmu? Oh benar. Mut memiliki darah kotor orang Hetti. Darah-darah orang keras kepala, sok merasa benar dan tidak tahu diri. Hah, apa yang bisa kulakukan padanya? Orang-orang Hetti tampak memiliki kebiasaan bermulut besar dan berlidah sangat licin juga tajam. Dia harusnya bersyukur bahwa aku hanya menghukumnya dengan pengasingan, bukan dengan penyiksaan atau bahkan mempersembahkan nyawanya kepada Dewa Ra,” ujar Ramses II sambil terus memperkuat capitan jemarinya di dagu Maathorneferure.
“Bersyukur katamu? Kau bisa memulangkannya ke Hetti daripada kau mengirimnya ke pengasingan! Itu sama saja kau menyiksanya hingga ia menemui Anubis di Aula Maat,” balas Maathorneferure.
Ramses II kembali tertawa. Hal itu membuat Maathorneferure semakin geram. Bagaimana tidak? Kedatangannya ke istana laknat itu adalah hal terakhir yang paling diinginkannya. Ia datang ke sana bukan untuk berdamai atau menyerahkan dirinya sebagai bentuk perdamaian antara Ramses II dengan ayahnya, Sang Raja Hetti. Ia melakukan ini demi Mut, seorang pria paruh baya yang memiliki darah orang Hetti, yang diduga pernah menjadi tahanan kerajaan namun diangkat menjadi Penasihat Kerajaan oleh raja pendahulunya, yaitu Seti I.
Tak hanya itu, alasan lain yang lebih membuat Maathorneferure semakin memantapkan diri untuk datang menyusup ke daerah istana adalah pengasingan yang diterima oleh Mut. Ia mendengar bahwa pengasingan itu sebagai hukuman bagi Mut karena telah menyinggung perasaannya Ramses II, Sang Firaun.
Maathorneferure yang sejak awal memang tidak pernah menyukai Ramses II, bahkan sebelum kerajaannya dengan Ramses II berperang, menduga bahwa Ramses II hanya berlebihan dengan ketersinggungannya dan hanya mencari alasan agar dapat mengasingkan Mut.
Maathorneferure pernah mendengar, hukuman pengasingan yang diberlakukan oleh Ramses II itu tidak jauh berbeda dengan hukuman penyiksaan di kerajaan Hetti. Hukum penyiksaaan di kerajaan Hetti adalah mengurung terdakwa bersalah di ruangan tak berventilasi dan diberi benda berat di atas tubuhnya. Semakin terdakwa berteriak menyangkal kejahatannya, beban yang diberikan semakin bertambah. Jika yang seperti itu sudah keji di mata Maathorneferure, ia tak bisa membayangkan seperti apa hukuman yang lebih keji dari itu. Dari situ lah, Maathorneferure berpikir bahwa Ramses II jauh lebih buruk dari apa yang dipikirkannya selama ini.
“Tuan Putri sungguh terlalu banyak mendengar burung-burung bangkai berkicau di hamparan padang pasir. Pengasingan adalah tempat yang cocok untuk memberi pengajaran pada Penasihat Mut untuk menjadi rakyat Kerajaan Mesir yang baik dan benar. Justru sebenarnya, aku, Sang Ramses yang Agung ini telah mengambil keputusan yang bijaksana dengan mengasingkannya. Kau pikir aku tidak tahu bahwa Penasihat Mut adalah keturunan dari rakyatmu? Orang-orang Hetti? Hah! Aku masih baik hati mempertimbangkan pengabdiannya pada pendahuluku dan darah rakyatku yang mengalir dalam tubuhnya.. Jadi Tuan Putri, puas lah dengan keputusan mutlak Sang Firaun. Kau dan dia, akan menjadi selirku. Dengan begitu, aku akan menganggap ini sebagai perdamaian dengan Hetti,” terang Ramses II sambil menunjuk ke arah Maathorneferure dan Zeny secara bergantian di akhir kalimatnya.
“Apa? Selir? Tidak!” seru Zeny yang spontan menolaknya. Tepat setelah mendengar penuturan Ramses II.
Mendengar penolakan Zeny, Ramses II mengalihkan perhatiannya kepada gadis itu.
Ramses II mendorong Maathorneferure hingga wanita itu jatuh terduduk di lantai dan menghampiri Zeny yang tengah terkejut. Mata abu-abu gadis itu membulat besar dan menatap Ramses II tanpa rasa takut.
“Oh, Nona Cantik bermata perak. Tenanglah, tenang. Kenapa terburu-buru?” ujar Ramses II sambil membelai rambut Zeny.
Tanpa ragu, Zeny segera menampik tangan Ramses II dari rambutnya.
“Tidak. Aku harus terburu-buru. Kau pikir, Tuan Ramses II, Anda bisa menjadikanku bagian dari koleksi wanitamu?” ujar Zeny.
Ia sungguh tidak sudi menjadi selir dari seorang Ramses II. Dalam logikanya, itu sangat tidak mungkin. Zeny berpikir, itu sama saja ia akan merubah sejarah untuk masa depan. Jika memang ia harus merubah masa lalu untuk masa depan yang lebih baik, itu bukanlah dengan menikah dengan Ramses II dan menjadi satu dari selirnya.
Ramses II tertawa mencemooh saat mendengar jawaban Zeny.
“Astaga. Demi Dewa Ra... Lihatlah Moisis, bukankah ucapannya serupa dengan apa yang Tuan Putri Hetti ucapkan? Haha. Aku sungguh menyukainya. Gadis ini sungguh berbeda. Polos dan tidak biasa. Panglima Khnurn, aku akan menambah dua peti emas lagi untukmu. Kau benar-benar membawa hadiah terbaik padaku kali ini,” ujar Ramses II.
Tentu saja, Panglima Khnurn tampak sangat gembira dan ia berkali-kali mengucapkan terima kasih sembari bersujud berulang kali di hadapan Ramses II. Sedangkan Zeny mengernyitkan keningnya dan tidak mengerti dengan jalan pikiran penguasa Mesir yang dalam buku sejarahnya dikatakan yang paling diagung-agungkan.
“Tuan, apa Anda sudah tidak waras? Untuk apa raja seperti Anda menjadikanku sebagai seorang selir? Tidak ada satu keuntungan pun bagi Anda jika Anda menjadikanku selir. Aku bukan seorang putri, aku tidak berharta benda, aku bukan dari kalangan kerajaan, bahkan Anda dan orang-orang Anda tidak mengenalku atau mengetahui identitasku. Bukankah Anda orang terhebat di Mesir? Jika Anda memiliki selir sepertiku, bukankah itu sama saja mencoreng nama baik Anda, Yang Mulia Agung?” balas Zeny mencoba bermain kata.
Saat ini, satu-satunya senjata Zeny adalah permainan psikologi. Jika ini tidak berhasil, Zeny tak tahu lagi apa ia masih bisa selamat dari rencana perseliran ini. Tentu saja kali ini Zeny terus memutar otaknya. Ia tidak bisa hanya diam dan menerima keputusan Ramses II untuk menjadikannya selir. Memang benar, ia sangat mengagumi Mesir Kuno, tapi bukan berarti dengan menjadi seorang selir bagi seorang raja di Kerajaan Mesir adalah suatu kebanggan untuknya.
Ramses II tampak mengusap-usap janggut tipis di dagunya. Pria itu menerawang, terlihat seperti sedang berpikir. Sepertinya, Ramses II termakan ucapan Zeny. Namun bisa tersirat dari wajahnya, Ramses II pun masih memiliki keraguan.
“Nona, ucapanmu tidak salah. Aku harus menjaga nama baikku agar semua rakyat Mesir puas dengan kepemimpinanku. Mari kupikirkan terlebih dahulu. Bagaimana Tuan Putri?” ujar Ramses II yang tampak mencoba melempar pertanyaan pada Maathorneferure.
Namun saat itu juga, Ramses II baru menyadari bahwa Maathorneferure sudah tak ada di aula itu. Ramses II mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula.
"Di mana Maathorneferure?!” pekik Ramses II.
Tepat setelah pekikan Ramses II, semua orang di aula itu pun tampak baru menyadari bahwa mereka telah kehilangan Maathorneferure.
“MAATHORNEFERURE!!!!” bentak Ramses II murka, menggelegar di aula.
Moisis segera memerintahkan para pengawal dan prajurit untuk segera mencari Maathorneferure ke sekeliling istana. Mereka berasumsi bahwa kemungkinan wanita Hetti itu masih tidak jauh.
Ramses II masih tampak murka. Pria itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat dan menghampiri Zeny.
“Kau! Tetap di sini. Sebelum Maathorneferure ditemukan, kau harus tetap di sini. Dan tetap, menjadi selirku! Dayang-dayang! Bawa dia pergi!” seru Ramses II.
Zeny membelalakkan matanya, entah sudah kesekian kalinya ia terkejut hari ini. Dan hanya dalam waktu singkat, dua dayang telah memegang kedua lengannya dan menariknya pergi dari aula itu.
“Tidak! Tidak! Lepaskan! Kumohon! TIDAK!!”
*to be continued*