Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Obrolan dengan Penyamun

Bab 12 Obrolan dengan Penyamun

Sementara Zeny terjebak dalam istana Sang Firaun, di mana ia yang tiba-tiba dilabel menjadi milik Sang Penguasa Mesir itu, Deanis sedang melakukan kesepakatan dengan para penyamun yang telah menyerangnya.

Setelah memenangkan pertarungan dengan para penyamun itu dan sempat ditawarkan imbalan untuk menghargai kemenangan Deanis serta menghormati fakta bahwa Deanis adalah Yang Terpilih. Tidak, Deanis tak menganggap begitu dan meragukannya meski para penyamun, termasuk Bast, bersikeras. Alih-alih meminta imbalan barang berharga, Deanis hanya meminta bantuan. Menyelinap ke dalam istana, Istana Sang Firaun.

Deanis berjalan bersama rombongan para penyamun itu di area padang pasir, di bawah terik matahari yang menyengat mereka dengan tanpa perlindungan. Mereka menunggangi kuda masing-masing, terkecuali si pria kurus pengguna belati yang tengah menunggang salah satu unta karena kudanya ditunggangkan untuk Deanis. Beruntungnya, Deanis mudah menunggangi karena ia pernah belajar saat ia masih kecil bersama ayahnya.

Sekitar tiga kilometer terlewati, mereka berhenti sejenak di dekat bebatuan dan beberapa kaktus yang jarang. Rombongan mereka berteduh sejenak di balik bebatuan sambil memasang kain untuk dijadikan tenda sementara sebagai perlindungan dari terik matahari. Mereka beristirahat untuk makan dan minum.

Bast mengambil sepotong roti dan menyobekkan lalu menyodorkannya pada Deanis.

“Roti, Tuan?” tawar Bast pada Deanis.

Deanis menoleh dan tersenyum sembari menerima potongan roti itu dari tangan Bast. Pemuda itu mengendusnya sejenak lalu mulai menggigitnya. Lumayan enak, pikirnya.

“Tak seburuk yang kukira,” ujar Deanis setelah memakan satu gigitan.

Bast tersenyum dan ikut menggigit rotinya.

“Terasa lezat ketika kau lapar, Tuan Deanis,” ujar Bast.

Deanis mengunyah sambil melempar pandangannya ke hamparan pasir yang luas di hadapannya.

“Deanis. Tanpa ‘Tuan’,” balas Deanis.

“Baiklah, Tu-Deanis, kau sungguh ingin pergi ke Istana Sang Firaun?” tanya Bast lagi. Pria jangkung itu masih tidak percaya dengan apa yang diminta Deanis sebagai imbalan atas kemenangannya.

Deanis tersenyum masam.

“Tentu. Aku tidak punya pilihan,” jawab Deanis.

“Mengapa?” tanya Bast lagi sambil mengambil gigitan keduanya.

“Aku harus menyelamatkannya... lalu membawa kami pulang,” jawab Deanis.

“Siapa? Seorang gadis?”

Deanis tersenyum sambil mengunyah.

“Ya. Seorang gadis, seorang teman,” jawab pemuda itu.

Bast tertawa kecil mendengarnya. Kemudian ia mengambil tampungan air lalu meneguknya. Deanis yang melihat Bast tertawa pun menaikkan alisnya, tak mengerti.

“Kau tertawa?” tanya Deanis.

Bast menghentikan tawanya dan menawarkan air lalu berkata, “oh, maafkan aku. Karena ucapanmu terdengar lucu bagiku.”

“Lucu?” Deanis menerima tampungan air dari Bast dan meneguknya.

Bast mengangguk.

“Selama aku hidup, aku tidak pernah menemui seorang pemuda berteman dengan seorang gadis. Maksudku adalah tidak ada pemuda yang berani mempertaruhkan dirinya hanya demi seorang teman perempuan, kecuali gadis itu adalah kekasihnya,” ujar Bast.

Deanis hampir tersedak air yang baru saja diteguknya jika ia tak menyemburkannya.

“A-apa? Ke-kekasih? Tidak. Kau salah paham.. Dia bukan kekasihku. Kami hanya teman,” jawab Deanis gelagapan.

“Baiklah. Kau tak perlu gugup, Anak Muda. Tentu, kalau memang kau dan gadis itu hanya berteman,” ujar Bast.

Deanis tersenyum canggung dan mengembalikan tampungan air kepada Bast. Kemudian sambil kembali mengunyah sisa rotinya, Deanis berkata, “bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

“Tentu. Apa pun itu,” balas Bast.

“Mengapa kau berkata bahwa aku adalah Yang Terpilih? Dan saat kita bertarung, kau memantraiku, bukan?” tanya Deanis.

Bast tersenyum mendengar pertanyaan Deanis.

“Sepertinya kabar burung itu benar adanya. Yang Terpilih tidak akan menyadari apa yang terjadi padanya bahkan tak tahu mengapa ia menjadi ‘Yang Terpilih’. Kau adalah manusia yang mendapat keberkahan Dewi Aset. Jiwamu bereaksi dengan benda yang telah dimantrai oleh Dewi Aset,” tutur Bast.

Deanis mengangkat sebelah alisnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa pun yang dikatakan oleh Bast.

“Aset?” tanya Deanis.

“Isis. Mungkin kau lebih mengenal beliau dengan nama Dewi Isis. Kami para penyamun memujanya dan selalu berdoa padanya. Barang-barang kami, hasil-hasil jarahan itu, selalu kami persembahkan sebagian untuk Sang Dewi. Kau ingat belati yang kau gunakan?”

Deanis mengangguk.

“Kenapa dengan belati itu?”

“Pedang belati itu adalah hasil temuan kami di dalam sebuah gua di wilayah timur. Awalnya, tak satu pun dari kami bisa menggunakannya. Belati itu terlalu berat untuk sekadar kami genggam. Namun entah bagaimana, kami tetap ingin belati itu menjadi milik kami. Akhirnya kami pun menginap di gua itu selama tiga malam sambil mencari cara untuk membawa belati itu. Dan di malam ketiga, aku mendapat ilham dari Sang Dewi.”

“Ilham?” tanya Deanis tak mengerti.

“Mimpi. Aku berada di tempat berbeda. Hamparan penuh oasis. Lalu aku mendengar suara. Sang Dewi berkata bahwa kami hanya boleh membawa belati itu jika kami bersedia membawa belati itu kepada Yang Terpilih. Dengan syarat, sebelum belati itu sampai kepada Yang Terpilih, belati itu hanyalah menjadi pedang belati biasa. Dan saat aku bertanya siapa Yang Terpilih itu, Sang Dewi hanya berkata bahwa ia adalah manusia yang berasal tidak dari dunia ini. Pedang belati itu sendiri juga yang akan menunjukkan reaksinya saat Yang Terpilih datang dan menggunakannya,” tutur Bast panjang lebar.

“Dan kau.... menduga itu aku?” tanya Deanis lagi.

Bast mengangguk.

“Belati itu tidak pernah digunakan untuk bertarung. Maksudku, sungguh-sungguh bertarung. Anak buahku, Mun, yang menyerangmu tadi, adalah penanggung jawab pedang belati itu. Selama dipegang olehnya, pedang itu hanya seperti sebilah pedang pada umumnya. Tapi saat kau memegangnya, belati itu terlihat berbeda. Aku bisa melihatnya, merasakannya. Itulah sebabnya, aku sampai harus memantrai diriku sendiri agar pedang belati itu tak sampai melukaiku.”

Deanis tersenyum masam.

“Itu sebabnya matamu berwarna hijau?”

“Kau melihatnya?”

Deanis mengangguk.

“Aku melihat kau berkomat-kamit. Lalu matamu mengeluarkan sinar hijau,” cerita Deanis.

“Baiklah. Lalu gadis itu, kau ingin menyelamatkannya dari istana, benar? Bagaimana gadis itu bisa berada di sana? Sedangkan kau... di padang pasir ini?”

Deanis menatap Bast cukup lama lalu mengedarkan pandangannya kembali ke padang pasir.

“Percayakah kau jika aku berkata bahwa aku tidak berasal dari sini?”

Bast menaikkan sebelah sudut bibirnya.

“Sang Dewi berkata bahwa Yang Terpilih ‘memang’ berasal dari dunia yang berbeda. Aku percaya padamu,” balas Bast.

“Terima kasih,” ujar Deanis sambil tersenyum lalu berkata, “jadi, kalian bersedia membawaku ke istana, menyusup dan menyelamatkan temanku?”

“Tentu. Tapi katakan, bagaimana bisa gadis itu berada di istana?”

“Para tentara menemukan kami di akhir pertempuran mereka. Mereka hampir membunuh kami, tapi panglima mereka memberikan pilihan. Jika mereka membiarkanku membawa temanku sebagai tahanan perang, maka kami berdua selamat.”

“Dan kau menyerahkannya pada mereka?”

“Dia menginginkannya,” sahut Deanis.

“Menginginkan? Menjadi tahanan? Lalu mengapa kau ingin menyelamatkannya?” tanya Bast tak mengerti.

Deanis tertawa kosong.

“Benar bukan? Kau pun berpikir seperti itu. Awalnya, aku pun berpikir begitu. Untuk apa aku menyelamatkannya jika ia dengan sukarela ingin pergi, benar?”

“Lalu, apa yang membuatmu berubah pikiran?”

Deanis menghela nafas.

“Kami hanya memiliki satu sama lain. Maksudku adalah...,” Deanis menatap Bast dengan meragu untuk mengatakan seluruh ceritanya yang kemudian memilih untuk diam, “...dia hanya memilikiku dan aku hanya memilikinya. Seperti keluarga. Kami datang bersama, kami pulang bersama. Hanya itu. Dan aku ingat bahwa dia ingin mengetahui siapa raja Mesir saat ini dan itu satu-satunya cara untuk mengetahuinya.”

Bast terkekeh.

“Sepertinya teman perempuanmu itu gadis yang cukup gila. Dan kau, Deanis, tidak jauh berbeda.”

Deanis hanya tersenyum tipis.

Apakah sulit menyusup kedalam istana?” tanyanya.

“istana Sang Firaun? Aku tidak bisa berkata itu mudah, tapi jika kau punya jalur khusus, itu tidak begitu sulit,” ujar Bast.

“Jalur khusus?”

Bast mengangguk. Ia berdiri dan berjalan ke kudanya.

“Jalur khusus. Setidaknya, kau harus punya seorang yang kau kenal di dalam istana, atau...”

“Atau?” sahut Deanis yang ikut berdiri dan mengikuti Bast.

Bast mengeluarkan sesuatu dari karung penyimpanan barang mereka yang tergantung di sala satu unta mereka. Di tangannya tampak sebuah kantong berukuran kecil sedang dikeluarkannya dan ditunjukkan pada Deanis.

“Dengan sedikit bantuan sihir,” ujar Bast.

“Sihir? Baiklah. Tapi apa itu?” tanya Deanis sambil menatap ke arah kantong yang dibawa Bast.

Bast menoleh dan tersenyum.

“Ini? Kau bisa menyebutnya Serbuk Setesh,” jawab Bast.

“Serbuk Setesh?”

“Saudaraku, jika kita tidak bisa menyelinap ke dalam istana dengan jalan yang benar, maka Serbuk Setesh akan menjadi senjata kita.”

Deanis masih tampak berpikir tentang serbuk apa itu. Namun pria itu hanya tersenyum dan menyimpan kantong itu ke dalam saku jubahnya.

“Ayo! Istirahat usai. Lanjutkan petualangan kita. Tujuan berikutnya, Istana Sang Firaun!” seru Bast memberikan titah sekaligus semangat bagi para anak buahnya.

Semua anak buah Bast langsung bersorak dengan penuh semangat. Melihat itu, Deanis tersenyum dan salut dengan tindakan Bast.

“Kau juga. Naiklah ke kudamu. Kita berangkat ke istana,” ujar Bast pada Deanis.

“Ah, kau benar. Bast, terima kasih,” ujar Deanis yang kemudian naik ke kuda yang tadi ditungganginya.

Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju istana Sang Firaun sambil memikirkan strategi selanjutnya.

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel