Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Melihat lampu-lampu di kejauhan, aku meremukkan kotak rokok kosong di tanganku menjadi sebuah bola kertas bekas.

Sambil menggosok mataku yang terasa perih akibat asap, aku berbaring di tempat tidur.

Lucia juga berjalan berjingkat-jingkat setelah menutup telepon dan mendekat ke sisiku. Dia biasanya membenci bau asap, tetapi saat ini dia tidak peduli dengan bau asap di tubuhku.

Dia berbaring di atasku, jari-jarinya membelai rambutku, mengacak-acaknya. Melihatku bereaksi, dia mulai menekan kelembutan payudaranya ke perutku. Aku menekan kepalanya, membuatnya mendongak dan menatapku dengan tidak percaya.

Aku berkata dengan ringan, "Hari ini aku benar-benar lelah."

Dia kembali berbaring dengan lengannya memelukku, jelas sekali merasa lega dengan penolakanku.

"Sayang, bolehkah aku tanya sesuatu?"

"Anggap saja sebagai kompensasi karena kamu melupakan hadiah ulang tahunku."

Sepertinya dia terlalu asyik dengan William, sampai-sampai tidak menyadari bahwa ada sebuah kotak berisi cincin berlian 3 karat yang tergeletak di ruang makan.

"Apa besok kamu bisa pergi bermain di luar seharian?"

Aku menatapnya dengan bingung. "Bukankah besok akhir pekan?"

"Ya. Tapi, besok rekan-rekanku dan wakil presdir yang baru akan datang ke rumah."

Dia menelisik ekspresi wajahku setelah mengatakan itu. Ketika aku tidak mengatakan apa-apa, dia bersenandung di telingaku, seolah-olah itu semacam hadiah untukku.

Aku ingin bertanya padanya, apakah aku sesuatu yang memalukan?

Namun, melihat dia menggosok dan mendengkus, aku mengangguk pelan.

Dia dengan penuh semangat menciumku lagi

"Muah! Sayang, kamu memang yang terbaik!"

Ketika dia tertidur, aku diam-diam menarik lenganku dari pelukannya.

Meskipun tubuhku masih bereaksi terhadapnya, aku merasa mual dengan setiap sentuhan tubuhnya.

Keesokan paginya, dengan mata yang hitam, aku diusir dari rumah oleh Lucia. Sebelum aku meninggalkan rumah, dia menyelipkan sekantong besar sampah untuk dibuang.

Saat matahari terbenam, aku kembali ke kompleks perumahan. Ketika Lucia tidak membalas pesanku, aku berjalan ke kafe yang ada di kompleks.

Pelayan kafe yang melihatku datang berkata kepadaku dengan wajah meminta maaf.

"Pak Andreas, maaf sekali karena sore ini agak sibuk. Ini, aku sudah mau mengantarkan kopinya ke sana."

Saat itulah aku melihat sekitar enam cangkir kopi yang sudah dikemas di atas meja, mungkin dipesan oleh Lucia.

"Tidak apa-apa, aku bawa sendiri saja."

Ketika sampai di depan pintu, aku menyadari bahwa pagi ini aku pergi terlalu terburu-buru dan tidak membawa kunci rumah.

Setelah bel pintu berbunyi, Lucia yang membukakan pintu. Dia sedikit kaget ketika melihat bahwa akulah yang datang. Sebelum aku sempat bicara, suara seorang pria terdengar dari dalam rumah.

"Lucia, siapa?"

Saat langkah kaki pria itu makin dekat, Lucia membanting pintu dan menutupnya, tanpa menghiraukanku yang berada di depan pintu.

"Pesan antar."

Aku terkejut saat melihat pintu rumah yang tertutup secara tiba-tiba. Jika bukan karena refleksku yang cepat, aku pasti sudah terdorong hingga jatuh ke lantai.

Namun, luka terbesar saat itu datang dari dalam diriku.

Pada saat pintu ditutup, aku melihat pria yang mendekat. Dia William, yang dengan santainya melingkarkan tangannya di pinggang Lucia. Ekspresi Lucia yang sedikit malu karena menyebutku tukang antar makanan langsung digantikan oleh rasa gemas dan mereka berdua saling berpelukan tak terpisahkan.

Keinginanku untuk menemuinya dan meminta penjelasan pun langsung lenyap setelah melihat kedekatannya dan William.

Kebenaran sudah ada di depan mata, jadi apa lagi yang perlu ditanyakan?

Baru sekitar pukul sepuluh malam, Lucia mengingatku sebagai suaminya.

"Sayang, cepat. Aku sudah siapkan camilan penuh cinta untukmu."

Aku melihat makanan itu. Meskipun disajikan dengan hati-hati, aku masih bisa melihat bahwa itu adalah makanan sisa.

Aku tertawa dingin. "Kamu pengertian sekali."

Melihat wajahku yang tidak senang, dia menghampiri untuk menarik tanganku, yang kuhindari tanpa jejak.

Melihatku bersikap ketus kepadanya, wajah Lucia pun berubah tidak menyenangkan.

"Sudah kubilang, ini demi pekerjaan."

Aku menatapnya dengan senyum di wajahku.

"Ya, ya, ya. Ini demi pekerjaan."

"William Sanjaya, wakil presdir yang baru itu cinta pertamamu, 'kan?"

Dia dengan malu-malu menelisik ekspresiku sebelum mengangguk.

Aku berhenti menatapnya dan berjalan langsung ke ruang kerja.

Dia mengikutiku dengan hati-hati.

"Kak William dan aku...maksudku, aku dan William sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Selain itu, aku sudah menikah denganmu. Hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan saja."

Melihat cara dia berbicara omong kosong dengan wajah serius, aku tidak bisa menahan tawa.

Melihat ini, dia berpura-pura marah dan berkata, "Ya sudah kalau kamu tidak percaya padaku."

Biasanya, selama dia menunjukkan sedikit ekspresi tidak senang, aku akan melakukan segala cara untuk membujuknya agar senang.

Apa yang disebutnya sebagai pengembangan karier, akulah yang membantunya memperbanyak relasinya tanpa sepengetahuannya. Di balik pesanan yang dia dapatkan, aku harus menemani klien minum dan pulang malam dalam keadaan mabuk.

Hanya saja, dia mengira semua itu adalah sesuatu yang pantas dia dapatkan.

Diiringi suara air di kamar mandi, aku menyalakan rokok ketiga.

Rokok itu menyala terang dalam kegelapan, tetapi hatiku untuk Lucia sudah benar-benar mati.

Suara air di kamar mandi berhenti.

Aku berada dalam kegelapan, melihat Lucia berjalan keluar dari uap air yang pekat.

Dia mengenakan pakaian tidur sutra ungu, yang menutupi tubuh indahnya yang montok. Cahaya kuning hangat dari kamar tidur menerpanya dengan lingkaran cahaya keemasan.

Dia melihatku.

Dia mengedipkan mata dengan ekspresi genit, suaranya begitu manis dan memabukkan.

"Sayang, kemarilah dan peluk aku."

Jantungku berdegup kencang. Sudah terlalu lama aku tidak melihat Lucia bersikap seperti ini.

Rasa panas di bagian bawah tubuhku mengalir ke bagian atas kepalaku. Aku bahkan berpikir akan memaafkannya dan terus menjalani kehidupan bahagia dengannya.

Aku bergerak, memeluknya dan mencium lehernya yang halus dan lembut. Namun, aku melihat sebuah cupang berwarna merah tua.

Seharusnya cupang itu sudah ditutupi dengan hati-hati menggunakan make-up. Namun setelah mendekat, aku masih bisa melihat betapa gilanya dia di tempat tidur dengan pria lain saat menciptakan cupang ini.

Cupang merah tua ini seperti sepanci air dingin, membuatku terbangun pada detik berikutnya.

Bisa-bisanya aku masih berpikir untuk melanjutkan hubungan dengannya, padahal mungkin hanya aku yang menginginkannya, sedangkan Lucia tidak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel