Ringkasan
"Sayang...hmm...Aku lagi lembur. Kamu...ah...tidak perlu menungguku." Aku mencengkeram benda yang mulai panas di tanganku, menatap istriku yang mengirim pesan suara kepadaku, sambil berhubungan dengan laki-laki lain di dalam mobil. Dari jendela mobil, aku menatap keduanya yang tengah tumpang tindih dan saling bergumul. Aku bahkan bisa merasakan aroma yang berasal dari campuran cairan tubuh mereka. Aku membuka jendela mobil dan membuang 99 tangkai mawar yang ada di kursi samping kemudi. Deru pedal gas mobil terdengar bersamaan dengan erangan puas istriku dalam pelukan orang lain. Aku memejamkan mata dengan erat, tenggelam sendirian di dalam rasa sakit.
Bab 1
"Sayang, kamu kenapa, sih. Aku ulang tahun, kamu malah pulang malam."
Kata-kata Lucia Wijayanti terasa menghardik. Terlepas dari itu, dia berinisiatif membantuku yang bau alkohol untuk duduk di sofa.
Lucia mengenakan baju tidur yang sangat seksi, dengan satu sisi terbuka sampai ke pangkal pahanya. Pahanya yang berisi dan putih membuatku terpesona.
Ketika membantuku, kelembutan di dadanya seakan menggesek lenganku secara tidak sengaja. Tetesan air sisa mandi masih menetes di kulit putihnya. Tidak tahu apakah dia belum sempat mengeringkannya atau memang rambutnya yang terlalu basah.
Melihatku tidak mengatakan apa-apa, Lucia menarikku untuk berbaring di sofa. Udara di sekitar penuh oleh aroma tubuhnya yang lembap dan manis, membuatku memejamkan mata perlahan.
"Kenapa mabuk lagi? Aku buatkan sup pereda mabuk dulu."
"Lain kali kalau kamu minum sebanyak ini, aku tidak akan peduli padamu."
Ada sedikit celaan dalam nada bicara Lucia.
Di masa lalu, aku akan menganggap ini sebagai kepedulian dan rasa tidak teganya kepadaku.
Namun, hari ini ketika dia menerjangku dengan gumpalan tubuh lembutnya lagi, yang aku rasakan hanyalah mual.
Aku mendorongnya menjauh dan bergegas ke kamar mandi untuk muntah.
Setibanya di kamar mandi, aku melihat sepasang celana dalam berenda semi transparan di sisi wastafel.
Begitu memegangnya, aku mencium bau yang sangat familier bagi semua pria, bahkan cairan pada kainnya belum sepenuhnya mengering.
Aku membungkuk di atas kloset dan tertawa getir saat Lucia merebut celana dalam itu dari tanganku.
"Ih, kotornya. Aku belum sempat mencucinya."
Setelah mengatakan itu, dia dengan panik menekan air kran untuk mencucinya. Noda airnya bahkan memercik ke wajahku.
Melihatku bangun, Lucia mencengkeram kain yang hampir transparan di tangannya dan mundur selangkah, seolah-olah dia takut aku akan merebutnya.
Aku berbaring di tempat tidur. Seprai malam ini tidak selembut biasanya, sepertinya karena baru diganti.
Lucia terus memegang ponselnya sejak masuk, suara tawa yang merajuk terdengar hingga beberapa kali.
Aku mematikan lampu dalam diam. Dia menoleh ke arahku sebelum meletakkan ponselnya.
"Sayang, apa kamu ingat hari ini hari apa?"
Aku tidak menjawab. Di bawah sinar bulan malam ini, aku memandangi foto pernikahan kami.
Gaun pengantin putih, senyuman yang begitu lembut. Belum lama ini ada banyak orang yang memuji kami, menganggap kami sebagai pasangan yang sangat serasi.
Melihatku hanya diam, Lucia sudah bergerak masuk ke dalam pelukanku.
Kedua kakinya yang putih dan halus melingkari pinggangku seperti ular.
Aku menghela napas dan mendorongnya menjauh.
"Aku capek."
Ekspresi Lucia yang semula terlihat genit, kini berubah menjadi jijik dan tidak puas.
Tepat pada saat itu, ponselnya berdering.
Setelah melihat nama penelepon, dia langsung berlari keluar kamar untuk menjawab telepon.
Melihat urgensi yang membuatnya bahkan sampai tidak sempat mengenakan piyama, aku langsung teringat kebersamaanku dengannya barusan.
Aku berdiri di balkon, menyaksikan asap yang aku embuskan memenuhi udara malam.
Di telingaku terdengar tawa Lucia yang masih terdengar jelas, bahkan setelah dia dengan sengaja memelankan suaranya.
Saat kami baru bersama, dia juga sangat menawan dan menarik seperti ini.
Dia berasal dari keluarga miskin dan sering menangis diam-diam ketika tidak bisa mendapatkan pesanan di awal kariernya.
Aku kebetulan menyembunyikan identitasku di perusahaan milik ayahku dengan memulai pekerjaan dari posisi bawah. Demi membuatnya bahagia, aku diam-diam menggunakan relasiku untuk membantunya mendapatkan banyak pesanan.
Mungkin pada saat itu, di matanya aku juga hanya seorang anak miskin yang bekerja keras.
Namun, perasaanku dan dia sudah cukup kuat, jadi aku tidak ragu untuk berselisih dengan orang tuaku hanya untuk membangun keluarga kecil kami dengannya.
Aku sungguh naif karena benar-benar berpikir bahwa cinta bisa bertahan dalam segala kesulitan.
Namun, saat aku mendengarkan Lucia saling menggoda dengan lawan bicaranya, aku mematikan rokok terakhirku.
Mungkin cinta benar-benar bisa bertahan dalam segala rintangan, hanya aku saja yang tidak dicintai.
Setelah cinta pertama Lucia, William Sanjaya bergabung dengan perusahaan sebagai wakil presdir, aku baru menyadari hal ini.
Sejak William datang ke perusahaan, Lucia seperti mendapatkan kehidupan baru dan terlihat sangat bahagia.
Setiap hari, dia akan bercermin dan memilih pakaiannya dengan teliti. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah stoking hitam dan sepatu hak tingginya.
Aku tertawa dan bertanya kepadanya, "Sayang, yang aku suka bukan stoking hitam."
Dia memutar matanya dengan posisi menghadap cermin. "Aku pakai ini bukan buat dilihat olehmu."
Dia melihat ekspresiku sedikit berubah, lalu menambahkan, "Sekarang adalah periode kritis dalam kemajuan karierku. Pakai pakaian warna hitam terlihat berwibawa."
Sekarang, setelah aku memikirkan tentang stoking hitam transparan di balik rok selututnya yang sempit, rasanya sangat tidak cocok dengan wibawa yang dia sebutkan.
Jika aku tidak dengan gembiranya memegang tiket Hawaii yang begitu dia dambakan sejak lama, aku tidak akan melihatnya berada di bawah kungkungan laki-laki lain.