Bab 9 Takdir yang Menanti
Bab 9 Takdir yang Menanti
Aurora berdiri di sebelah kursi baca Nyonya Feiya. Ia menyaksikan bagaimana bahagianya Nyonya Feiya bisa bertemu dengan Sekala. Hingga tuannya itu membawa Sekala berkeliling di Pabukon sembari berbincang serius. Saking luasnya, dari jarak ini Aurora sudah tak bisa lagi mendengarkan perbincangan mereka. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dengan sikap sempurna dan bergerak sesuai perintah sebagaimana umumnya seorang tangan kanan.
Pikirannya berkelana jauh ke masa-masa sebelum Sekala datang ke Lemura. Aurora merasa bahwa Nyonya Feiya tak pernah segembira ini. Ia turut bahagia melihatnya demikian. Sebab, Nyonya Feiya sudah terlalu lama merenung, dilanda rasa cemas yang menggunung, dan mengurung diri di Pabukon. Ia tak pernah keluar dari ruangan ini beribu tahun lamanya.
Keduanya berhenti di rak buku sejarah yang terdiri dari lima puluh ribu judul yang berbeda. Lima ribu judul di antaranya didapat dari Bumi. Kebanyakan tetaplah hasil para penulis Lemura yang mencoba menyusun narasi bagaimana dunia ini tercipta. Saat membacanya, Nyonya Feiya hanya tertawa, sebab ia sendiri lebih tahu bagaimana awal mula Lemura diciptakan hingga saat ini.
Sekala mengambil sebuah buku bertemakan sejarah penaklukan di Timur Tengah. Ia pernah membaca buku itu. Padahal, buku tersebut baru saja terbit enam bulan lalu di Bumi. Sekala pun sudah selesai membacanya. Ia sangat menyenangi buku-buku bergenre sejarah dan pemikiran.
“Hugh Kennedy. Pemerhati sejarah Asia dan Afrika. Intelektual dari bangsa paling mendominasi di Bumi. Aku suka sekali membaca karya-karyanya. Menarik dan selalu membuatku merinding mengetahui pergolakan yang tengah terjadi di Bumi. Menurutmu, apakah manusia di Bumi bisa terbebas dari peperangan?” tanya Nyonya Feiya sembari membuka buku biografi Genghis Khan karya John Man.
Sekala terpukau dengan pengetahuan Nyonya Feiya. Ia selalu tampak serba tahu. Tak ada pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Juga tak ada sesuatu di Bumi dan Lemura, melainkan Nyonya Feiya pasti tahu jawabannya. Hanya saja, ia tak bisa mengingat memori yang sudah terhapus karena portal antara Bumi dan Lemura.
“Anda tahu banyak hal. Kurasa, manusia di Bumi akan damai pada waktunya. Aku percaya hari itu akan datang. Suatu saat nanti.” Sekala menjawabnya dengan penuh keyakinan. Matanya sama sekali tak menampakkan keraguan.
Nyonya Feiya tersenyum. Ia senang sekali dengan sifat Sekala yang selalu yakin dengan pendapatnya. Sebab, keraguan hanya akan melemahkan hati. Dan, sudah dipastikan bahwa Sekala memiliki hati yang kukuh.
“Sosok lelaki seperti ini memang sudah sangat jarang ditemui. Dan, untuk menjadi seorang yang penuh keyakinan seperti Sekala tentunya diperlukan banyak pengetahuan dan pengalaman. Bagaimana dia menilai sesuatu, pastilah memiliki dasar pemikiran yang jelas. Dan Sekala memiliki itu semua,” gumam Nyonya Feiya sembari menatap Sekala lamat-lamat.
“Kau benar. Semua itu pasti akan datang jika masanya sudah sampai. Semoga saja.”
Sekala mengangguk. Ia mengaminkan harapan itu dalam hatinya.
“Sepatumu. Kau sudah tahu kenapa kau mendapatkan sepatu itu?” Nyoya Feiya kembali melangkah, mengajak Sekala menjelajahi Pabukon miliknya.
“Ayahku yang memberikannya. Sepatu bekas ini ….”
“Jika ayahmu tahu kalau di dalam sepatu itu menyimpan kekuatanmu, dia tidak akan pernah memberikannya. Sampai kapan pun tidak akan pernah.” Nyoya Feiya menyeringai, sengaja membuat Sekala penasaran.
“Kenapa? Dia memang selalu jahat padaku, tapi ….” Sekala tertunduk mengingat wajah Janus yang selalu kejam padanya.
“Sebab dia tidak mau kau berada di sini. Setiap hari ia selalu mengharapkan kematianmu di Bumi. Keduanya bukan orang tua kandungmu. Mereka hanya terpaksa mengasuhmu karena tugasnya. Maaf, tapi aku harus mengatakan kebenaran ini.”
Mendengar cerita itu, Sekala amat terkejut. Sepasang ibu dan ayah yang selalu ia sayangi, ternyata bukanlah orang tua kandungnya. Tidak heran jika selama ini keduanya tidak pernah memberikannya kasih sayang meski secuil. Sikap kasar yang selalu mereka perlihatkan ternyata murni dari rasa benci.
Sekala tak kunjung bicara. Ia merasakan kepedihan di hatinya kembali menguar. Namun, hati kecilnya selalu membimbing Sekala untuk memaafkan mereka. Padahal selama ini Sekala sama sekali tak pernah menaruh dendam pada keduanya.
“Seiring berjalannya waktu. Kau akan ingat semuanya. Siapa dirimu yang sebenarnya. Kenapa kau mendapatkan sepatu itu. Dan, semoga waktu mempertemukan kalian. Kau, dan ibumu.”
Sekali lagi Sekala dibuat kaget oleh kata-kata Nyonya Feiya. Ia selalu memiliki fakta-fakta yang membuat kepala Sekala hampir pecah. Namun, saat kembali mendengar suara Nyonya Feiya, perasaan campur aduk itu hilang, berganti ketenangan yang menyusup ke dalam hatinya.
“Siapa nama Ibu kandungku? Apa aku masih punya kesempatan untuk menemuinya?” Sekala menitikkan air matanya. Kerinduan tiba-tiba saja menghinggapi hatinya. Sekala yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, mulai berharap untuk memeluk wanita yang telah melahirkannya itu.
“Aku lupa siapa nama ibu kandungmu. Saking seringnya aku mengunjungi Bumi untuk berburu buku, aku jadi hampir amnesia. Tapi, aku tahu berapa usiamu yang sebenarnya. Aurora sudah memberitahumu?”
Sekala melenguh, lantas menggelengkan kepalanya. “Belum. Dia terlalu banyak membuatku penasaran tanpa memberi jawaban.”
Nyonya Feiya tertawa anggun. “Ya. Dia memang sangat bisa dipercaya. Kalau Aurora sudah memberi tahu semuanya, apa yang harus kusampaikan?”
Sekala hanya mengangguk setiap kali Nyonya Feiya mengajaknya bercanda. Ia teringat dengan pesan Aurora untuk menjaga sikap di depan Nyonya Feiya.
“Usiamu kini menginjak 1014 tahun. Sama seperti Aurora.”
“Apa! Yang benar saja? Tapi … kenapa aku masih seperti anak kecil?” tanya Sekala yang kaget dengan usianya sendiri.
“Apa aku terlihat seperti nenek tua yang tak berdaya?”
Sekala menggelengkan kepalanya.
“Begitulah. Kau juga terkena dampak evolusi. Kita semua sudah berevolusi. Jadi, logika manusia Bumi terkadang tidak berlaku di sini.”
Sekala ingat tentang evolusi manusia dan makhluk Bumi lainnya di Lemura. Aurora pernah menjelaskan sedikit tentang itu.
“Kau lahir di Lemura. Tumbuh besar dan dilatih di Lemura juga. Akan tetapi, empat belas tahun yang lalu kau dikirim ke Bumi untuk menghindari pembantaian manusia awal. Ibumu, termasuk generasi manusia pertama yang pindah ke Lemura. Dia yang tak mau kau dibunuh, menyuruhmu untuk pergi padaku. Bagaimana, apa kau sekarang mulai ingat semuanya?”
“Kepalaku … Ah! Sakit sekali!” pikir Sekala sembari menahan rasa sakit yang menghunjam kepalanya. Semua informasi yang dikatakan Nyonya Feiya mengganggu ingatannya. Berjuta gambaran yang tak ia kenal mulai berkelebatan dalam pikirannya. Ia merasa familiar dengan suasana ini.
“Wajar jika kau merasakan rasa sakit di kepalamu. Itu tanda kalau memori masa lalumu akan kembali.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah aku menemui anda?” tanya Sekala, tak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
“Kau diculik. Janus dan Orion yang melakukannya. Mereka membuatmu amnesia. Ditambah lagi, efek portal antar dunia itu juga membuatmu lupa banyak hal. Setelah itu, mungkin sebagai gantinya, mereka berdua malah meninggalkan Aurora, anak kandungnya sendiri.”
“Ja- jadi … Aurora?” Sekala tak bisa menyelesaikan kalimatnya.
“Ya. Seharusnya Aurora yang berada di Bumi bersama kedua orang tua kandungnya.”
“Tapi, aku selalu bersyukur mereka meninggalkanku di sini. Aku tidak mau menjadi anak dari orang jahat.” Aurora tiba-tiba muncul di belakang Sekala. Ia menghampiri Nyonya Feiya, lantas memeluknya erat.
Sekala teringat dengan trauma Aurora ketika ia berbicara tentang orang jahat. Ternyata, fakta bahwa kedua orang tuanya adalah penjahatlah yang seringkali membuat Aurora terganggu.
“Baik! Kita sudahi obrolan ini. Kuceritakan semuanya pun, tidak akan membuatmu ingat begitu saja. Aku akan mulai menceritakan takdir mahadahsyat yang akan kau temui.”
Nyonya Feiya membuka sebua buku tua berjilid hitam. Tangannya cekatan membuka halaman demi halaman. “Nah, ketemu!”
Dadanya berdegup kencang. Ia gugup. Mendengar bahwa dirinya akan mendengarkan ramalan takdirnya sendiri, membuat Sekala berharap-harap cemas.
“Kau tahu bahwa Lemura ini adalah dunia yang tidak pernah sempurna. Satu-satunya cara untuk menjadikannya dunia yang sempurna adalah dengan menghancurkan salah satu dari dua dunia yang berdampingan. Bumi, atau Lemura.”
“Ke- kenapa begitu?” Sekala mengerutkan dahinya. Ia tidak percaya dengan takdir yang harus ia hadapi.
“Sebab, Bumi menyesal telah menciptakan Lemura. Oleh karena itu, Bumi tak pernah berniat untuk menyempurnakan dunia ini. Dan jika Bumi hancur, maka Lemura tidak akan bergantung lagi pada Bumi. Hingga akhirnya, Lemura bisa menentukan nasibnya sendiri. Atau, jika kau memilih untuk menghancurkan Lemura, kau sudah membantu Bumi untuk mewujudkan mimpinya.”
Sekala berusaha mengatur napasnya yang berantakan. Dia sungguh tak habis pikir dengan apa yang ia alami. Takdir ini berat sekali. Mana mungkin Sekala menghancurkan Bumi, dunia yang pernah menjadi tempatnya berpijak. Dan Lemura, ia juga tidak mungkin menghancurkan tanah kelahirannya sendiri.
“Apakah tidak ada pilihan ketiga?” tanya Sekala penuh harap.
“Ada.” Nyonya Feiya tersenyum tipis.
***