Bab 7 Nyonya Feiya
Bab 7 Nyonya Feiya
“Cepat katakan berapa usiaku yang sebenarnya!” paksa Sekala terlampau penasaran dengan usia aslinya.
Aurora tampak tidak terganggu dengan tingkah Sekala yang berisik itu. Dia tetap terlihat tenang seperti biasanya. Matanya datar, tak menampakkan perasaan apa pun. Ia bahkan tak peduli dengan rengekan Sekala. Telinganya seakan tuli. Aurora memiliki fokus yang sangat hebat.
“Kita sebentar lagi sampai di gedung tempat Nyonya Feiya tinggal. Jaga sikapmu di hadapannya. Jangan sampai bertindak bodoh dan memalukan.” Aurora tidak mempedulikan seruan Sekala sama sekali.
“Dia sama sekali tidak menghiraukanku!” gumam Sekala dalam hati.
Sekala tampak kesal. Dia tidak mengerti dengan cara pikir Aurora. Seruannya sama sekali tidak didengar. Padahal dia sangat penasaran dengan usianya yang sesungguhnya. Dan tentu saja ia juga penasaran dengan alasan kenapa dia berada di Bumi, sedangkan Lemura adalah rumah baginya.
Pemandangan area gedung ini sangat indah. Tetumbuhan yang menghiasi taman dan pekarangan gedung menciptakan suasana alam menjadi sangat kental di sini. Kicau burung dan suara berbagai serangga pohon menambah kesan asri menemani langkah kaki mereka berdua. Hingga, angin yang berdesir pelan pun menyempurnakan rasa nyaman yang mereka rasakan tatkala langkah demi langkah mengantarkan keduanya semakin dekat dengan pintu gedung tempat Feiya tinggal.
Sekala menikmati perjalanannya menuju gedung yang sangat jauh dari pintu gerbang bentengnya. Meski jauh, ia tak merasakan lelah sebab keindahan alamnya menyegarkan mata dan tubuhnya. Senyumnya merekah. Ia lupa dengan rasa sakit yang selama ini selalu menderanya. Di Bumi, ia tak pernah merasa sebahagia ini.
“Aurora,” panggil Sekala tiba-tiba.
Aurora menoleh, menengadahkan kepalanya, “kenapa?”
“Namamu terlalu panjang. Kurasa kita perlu memendekkannya supaya terdengar lebih akrab. Boleh?”
Aurora terdiam agak lama. langkahnya terhenti. Dia menatap sebuah pohon yang tengah dikerumuni burung bersayap merah muda. Cantik sekali, meskipun burung itu memiliki empat paruh di kepalanya.
“Menurutmu begitu?” tanya Aurora seraya menatap mata Sekala lamat-lamat.
“Ya. Di Bumi, kami selalu memanggil teman dengan panggilan yang mudah diucapkan. Itu bisa membuat kita menjadi lebih akrab. Tidak saling dingin seperti ini …” Sekala menunjuk muka Aurora.
Aurora melenguh, sengaja ia membuang napasnya sebagai tanda bahwa dirinya tidak terlalu peduli soal itu. “Aku kira itu semua tidak penting. Bagiku, tugas tetaplah tugas. Mau akrab atau tidak, itu bukan urusanku. Nyonya Feiya sudah mempercayaiku sebagai tangan kanannya. Aku tidak boleh mengkhianati kepercayaannya.”
“Hanya dengan memberikanmu nama panggilan, tidak akan menjadikanmu pengkhianat, Aurora ….”
“Kita sudah sampai,” ucap Aurora dengan tenangnya.
Lagi-lagi Aurora tidak mempedulikan Sekala. Ia tetap fokus dengan kunjungannya ke gedung besar ini untuk menemui Nyonya Feiya. Dialah peramal terkemuka di Lemura. Salah satu orang tertua yang sudah hidup di dunia ini. Dia tahu banyak hal. Termasuk dengan kedatangan Sekala hari ini. Dan, Feiya sendiri sudah menunggunya sejak lama.
Sekala tampak kesal dengan sikap Aurora yang seperti itu. Jika ia tidak tertarik, Aurora pasti akan melupakannya. Dia tidak pernah mau membahas sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan tugas yang sedang ia pegang. Aurora memang cocok menjadi tangan kanan orang sekelas Nyonya Feiya. Ia pandai menjaga rahasia. Kematian pun tak bisa membuat Aurora takut. Baginya, lebih baik mati daripada kehilangan kepercayaan dari Nyonya Feiya.
“Aku ingatkan sekali lagi, jangan sampai kau bertindak bodoh di hadapan Nyonya Feiya. Dia itu termasuk manusia tertua di Lemura. Jadi, bersikap sopanlah padanya.” Aurora mendekatkan wajahnya, membuat Sekala mundur satu langkah.
Sekala mengangguk. Baginya, bersikap sopan tidaklah sulit. Sebab, dia memang anak yang baik dan penuh tata krama. Sekala tahu apa yang harus dia lakukan terhadap orang yang lebih tua darinya. Begitu pula dengan bagaimana dia harus bersikap pada orang sebaya dan lebih muda darinya. Dia tahu. Akan tetapi, di Lemura ini banyak hal yang tak bisa ia mengerti. Aurora yang ia kira sebaya dengannya, ternyata sudah sangat tua. Dan dengan fakta itu pun sulit sekali untuk Sekala menyesuaikan diri. Ia tetap beranggapan bahwa Aurora itu anak sebayanya.
Seakan tahu ada tamu yang berkunjung, sepasang pintu setinggi tiang listrik di Bumi itu pun terbuka sendiri. Gedung ini seperti mempersilakan keduanya untuk masuk. Sambutan yang hangat untuk Sekala yang baru saja menginjakkan kaki di gedung semegah dan seindah ini. Belum pernah ia melihat gedung sebesar ini di Bumi. Setinggi apa pun Burj Khalifa di Dubai, belum sampai setengahnya gedung tempat tinggal Nyonya Feiya. Dan, seluas apa pun pekarangan Istana Presiden, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan pekarangan rumah Nyonya Feiya.
Aurora menarik lengan Sekala yang masih terpaku melihat desai dalam rumah gedung ini. Dekorasinya yang indah memang mampu menyihir setiap mata untuk menikmatinya lebih lama. Namun, waktu mereka tidak sebanyak itu. Sampai akhirnya, Aurora membawa Sekala untuk berdiri di sebuah lingkaran pualam. Cahaya menyemburat dari setiap sisi lingkaran itu.
“Pejamkan matamu!” Aurora memerintahnya dengan paksa.
“Ehm!” Sekala menurutinya tanpa banyak bertanya lagi.
Cahaya itu mengantarkan keduanya ke depan ruangan tempat Nyonya Feiya menghabiskan waktu untuk mempelajari berbagai cabang ilmu. Ada banyak sumber buku yang tersedia di sana. Termasuk karya-karya manusia Bumi yang entah ia peroleh dari mana. Karya dari penulis-penulis terkemuka seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Aristoteles, hingga Descartes berjajar di rak bukunya. Jumlah bukunya tentu tak bisa dihitung dengan jari.
Aurora terdiam di depan pintu. Ia sama sekali tidak mengetuknya atau mengucap salam. Yang ia lakukan hanya diam dan menunggu. Sekala tentu tidak mengerti dengan tata krama seperti itu. Namun, diam dan memahami adalah salah satu tata krama yang berlaku di mana saja. Maka Sekala pun memilih untuk tidak banyak bertanya.
“Masuklah, Aurora.”
Suara yang penuh kebijaksanaan itu terdengar menembus pintu menuju ruangan Nyonya Feiya. Suara itu membuat hati siapa pun yang mendengarnya merasa ingin memeluknya. Sangat dewasa, dan dipenuhi suasana keagungan yang indah. Tak butuh waktu lama, Sekala merindukan suara itu. Ia ingin mendengarnya lagi.
Pintu ruangan terbuka. Betapa kagetnya Sekala mendapati ruangan perpustakaan seluas itu. Sejauh mata memandang, yang ia temui hanyalah rak buku dengan berbagai jenis buku yang sangat menawan hatinya. Sekala memang senang sekali membaca buku. Dengan membaca buku, ia bisa melupakan segala penat dan pedih kehidupannya.
Aurora duduk bersimpuh di hadapan Nyonya Feiya. Begitu pun Sekala, dia berusaha sebisa mungkin mengikuti tata krama yang berlaku di Lemura tanpa banyak bertanya. Meski, hatinya selalu dipenuhi pertanyaan demi pertanyaan.
“Bangunlah. Selamat datang di Pabukonku, Sekala,” ucap Nyonya Feiya menyambut kedatangannya.
Aurora pun berdiri, diikuti Sekala. Sekala mengangguk menerima sambutan itu dengan penuh ramah tamah. “Pabukon?” tanya Sekala yang tak tahan meredam berbagai pertanyaan di hatinya.
“Ya, Pabukon. Perpustakaan, dalam salah satu bahasa daerah yang ada di Bumi. Aku berasal dari sana. Dari tanah yang diberkati Sang Pencipta.”
Sekala tak bisa berhenti mengagumi sosok Nyonya Feiya. Penampilannya yang cantik, tak setua usianya. Lagi-lagi begitu. Namun, Nyonya Feiya terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan Aurora. Rambut panjangnya yang berwarna putih, membingkai wajahnya dengan sangat indah. Dan yang terpenting, suaranya mampu memikat siapa pun. Sekala merasa ingin mendengar suara itu lagi. Lagi dan lagi.
“Sayangnya, aku sudah lupa kosakata bahasa itu. Bahkan nama bahasa itu sendiri saja aku sudah lupa. Ha ha ha. Portal itu memang sangat mengganggu.”
“Portal? Apa maksud anda-“
“Ya. Portal dunia kita,” potong Nyonya Feiya. “Bumi dan Lemura. Siapa pun yang melintasinya, maka ingatannya akan sedikit terganggu. Dan jika ia sering menggunakannya, kemungkinan terburuk pun akan terjadi.”
“Amnesia?” sahut Sekala.
“Benar. Itu pun jika kau terlalu sering menggunakannya.”
Sekala terkejut mendengarnya. Ia berusaha mengingat hal-hal yang terjadi sebelum ia terlempar ke Lemura. “Aman, aku masih ingat semuanya,” gumamnya dalam hati.
“Dan tugasku, adalah untuk mengingatkanmu, Sekala. Tentang siapa kau sebenarnya, dan takdir mahadahsyat apa saja yang akan kau temui di masa depan.” Nyonya Feiya tersenyum manis.
***