Bab 5 Dunia
Bab 5 Dunia
Sekala tak bisa berhenti berlari. Kecepatannya semakin lama semakin meningkat. Tubuhnya seakan menyatu dengan angin hingga tak ada yang bisa melihatnya. Matanya terbelalak setiap kali melihat tembok besar menghalangi langkahnya. Namun, ia selalu bisa menabraknya hingga berlubang tanpa terluka sedikit pun. Lama-kelamaan, keberaniannya pun semakin tumbuh dan terlatih seiring kakinya yang terus berlari tanpa henti.
Dalam perjalanannya itu ia melihat berbagai pemandangan yang selama ini ia idamkan. Musim gugur di Jepang, patung Liberty di Amerika, hingga piramida Mesir. Laut dan samudera bisa ia lewati dengan berlari. Tak ada apa pun yang bisa menghalangi langkah kakinya.
“Bagaimana caranya berhenti!” Sekala semakin panik setelah melewati patung Liberty yang ketujuh kalinya. Itu artinya ia sudah berkeliling dunia tujuh putaran.
Sepatu aneh itu tidak mengatakan apa pun. Seperti biasa, dia hanya bisa berbicara jika dirinya ingin saja. Sepenting apa pun pertanyaan Sekala, jika sepatu itu tidak mau menjawabnya, dia akan diam. Tidak ada yang bisa memaksanya.
“Kenapa kakiku tidak bisa kukendalikan? Ini aneh sekali!” teriak Sekala seraya menabrak tembok besar China.
Tak lama kemudian debu-debu hitam yang mengitari sepatunya membesar seukuran tubuh orang dewasa membentuk sebuah lingkaran. Sekala tak bisa menahan langkah kakinya. Ia masuk begitu saja ke dalam lubang hitam itu bersama barang-barang yang berada di sekitarnya.
Sekala terlempar jauh ke dasar lubang. Ia dalam waktu yang sangat lama. Dalam benaknya, jika ia sampai ke dasar jurang dengan ketinggian seperti ini, maka ia hanya akan menyisakan nama tanpa nyawa.
“Tenangkan dirimu, Sekala!” Tiba-tiba sepatu ajaib itu berbicara. “Lihatlah ke dasar lubang ini! Kau akan mendarat dengan aman.”
Sekala mengalihkan pandangannya ke dasar lubang hitam. Secercah cahaya mulai terlihat menyinari matanya yang sudah lelah karena berlari seharian ini. Ia melemaskan otot-otot tubuhnya, pasrah jika pun dia akan tercebur ke dalam kolam yang berada di dasar sana. Meskipun sepatu itu mengatakan kalau Sekala akan baik-baik saja karena jatuh di air, ia tahu bahwa dirinya akan pingsan. Sebab benturan dengan permukaan air pun sama-sama menyakitkan.
BRUSHH!!!
Sekala tercebur ke dalam kolam yang sangat dalam. Dia tak sadarkan diri selama beberapa menit. Dalam pingsannya itu ia melihat berbagai bayangan kehidupan masa lalunya. Mulai saat ia pertama kali mengingat hingga akhirnya mendapatkan sepatu aneh dari ayahnya yang kejam itu.
Tak lama kemudian, Sekala terbangun dari pingsannya. Ia berusaha berenang ke permukaan dengan berusah payah. Akan tetapi, dia yang tak bisa berenang malah tenggelam semakin dalam. Harapannya untuk hidup pun semakin memudar.
Dia berusaha menahan napas untuk memperlambat kematiannya. Sekala yang tenang, kemudian mendapatkan sebuah ide cemerlang. Ya, dia akan menggunakan sepatu anehnya untuk sampai ke permukaan.
Sekala mulai menggerakkan kakinya. Kecepatan kakinya menjadi mesin pendorong mirip baling-baling pada perahu. Senyumnya merekah. Dia mulai yakin kalau dengan cara ini dia pasti akan selamat.
“Bwah!” teriak Sekala sesampainya di permukaan. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari daratan agar dia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan. Sekitar 300 meter di sebelah kanannya, ada pantai yang siap menyambut kedatangannya. Ia pun mulai meluncur dengan sepatu serba gunanya itu.
Setelah mencapai pantai, Sekala lantas merebahkan tubuhnya. Napasnya tersengal. Dia sangat kelelahan setelah perjalanan ekstrem ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Sekala akan mengalami semua ini.
“Kau sudah kembali. Sekala,” sambut seorang berambut merah yang membelakanginya. Tiba-tiba saja dia ada di sana.
“Aku di mana? Dan, kau siapa?” Sekala tampak panik. Matanya melihat-lihat keadaan sekitar. Tak ada satu pun benda yang mengingatkannya pada situasi ini.
“Kau berada di rumahmu, Lemura.” Orang itu menjawab sekenanya. Senyuman terpancar dari wajahnya yang sebagian tertutup rambut.
“Lemura? Itu namamu?” tanya Sekala seraya mengerutkan dahinya.
“Bukan, itu nama dunia ini, rumahmu. Namaku Aurora. Aku yang seharusnya mengantarkanmu ke istana tempat tinggalmu.”
“Tunggu, dunia ini? Maksudmu kita tidak sedang di bumi?”
Orang itu memperlihatkan wajahnya pada Sekala. Cantik sekali. Rambut merahnya yang menyala, berpadu dengan bola mata indah nan mempesona. Sekala tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Aurora. Sebab, keindahan seluruh alam ini ada padanya. Namanya, senyumannya, juga sorot matanya. Indah sekali.
“Ya. Kita sedang berada di Lemura.” Aurora tersenyum manis.
***
“Sialan!” teriak Janus seraya menggebrak meja makan. Beberapa toples selai yang tertata rapi di sana berjatuhan ke lantai, pecah dan menumpahkan seluruh isinya.
Bumi dan Bulan hanya terdiam menatap kemarahan ayah mereka. Keduanya tak memiliki keberanian untuk mengatakan sepatah kata pun di hadapan Janus. Daripada kemarahannya semakin meledak, mereka berdua hanya memilih untuk diam saja. Sebab Janus bukan tipe orang yang mudah untuk dinasihati.
Orion tercengang ketika mengetahui bahwa Sekala melarikan diri dari rumah. Kabar itu sampai oleh segenggam angin yang selama ini menjadi mata-mata Janus dalam mengawasi setiap pergerakan Sekala. Hanya Janus seorang saja yang bisa melihat bentuk asli angin itu.
“Kenapa kau baru memberitahuku sekarang? Bukankah kau ini angin yang bebas berembus ke mana saja, hah!”
Angin itu tertunduk takut. Dia tahu apa yang akan dilakukan Janus kepadanya setelah ini. Tak banyak yang bisa ia katakan. Kemarahan Janus selalu mampu membuat orang lain tak dapat berkata-kata. Apalagi sampai membantahnya.
“I- itu karena-“
“Katakan cepat!”
Orion mengelus punggung Janus. Ia takut sekali dengan kemarahan suaminya. Bibirnya bergetar, bunyi gemerutuk gigi, dan detak jantung kentara menunjukkan ketakutannya. Sudah sejak lima ratus tahun yang lalu setelah kemarahan terakhirnya saat Sang Raja memberi tugas berat kepadanya: menjaga Sekala.
“Itu karena sepatu yang digunakan Sekala menyimpan kekuatan miliknya. Aku tidak bisa mengejar kecepatan larinya itu,” ucap angin malang itu sebelum Janus meremasnya hingga lenyap.
Bumi menepuk pundak Bulan. Ia membisikkan sebuah nama ke telinga adiknya itu, “pasti dia, bukan?”
Bulan mengangguk. “Sepertinya iya, Kak.”
“Sial! Kukira tukang sepatu itu orang biasa.” Janus menggerutu dengan tatapan mata yang sangat menyeramkan.
Orion teringat seseorang di dunia tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Namun, lidahnya kelu untuk mengucapkan nama yang paling ditakutinya itu. “Apakah orang itu-“
“Ya. Dia Aurora! Sialan perempuan tua itu. Akan kuhabisi dia sampai tak bisa lagi menggunakan kekuatannya!”
Suasana di rumah Janus semakin memanas. Tak ada yang bisa meluluhkan kemarahannya. Hilangnya Sekala sudah tentu akan menjadi malapetaka yang besar bagi dirinya. Dan kalau Sang Raja sampai mengetahui soal ini, ia pasti akan dikenai hukuman yang sangat berat.
“Dari awal aku sudah menolak tugas ini!” seru Janus sambil mengarahkan pandangannya pada Orion.
Orion mengerutkan dahinya. Ia merasa bahwa Janus tengah menyalahkannya. Ya, sebab Orionlah yang menyanggupi tugas ini. Ia bersikeras untuk mendapatkan hak asuh Sekala selama empat belas tahun ini.
“Tunggu! Apa kau menyalahkanku, hah!” seru Orion sambil menarik kerah baju suaminya.
“Ya! Aku menyalahkanmu karena sudah menerima tugas super berat itu! Bodoh sekali pilihan itu. Padahal, tinggal selangkah lagi aku bisa menjadi bangsawan di sana.” Janus menghempaskan cengkraman tangan Orion.
Orion terjatuh di lantai. Tubuhnya terbanting sangat keras. Namun amarahnya masih belum reda. Matanya menatap Janus penuh kebencian. Bumi dan Bulan yang sedari tadi hanya bisa diam dan melihat keduanya bertengkar, segera menghampirinya dan membantu ibunya untuk bangun.
“Sudah cukup! Ayah, Ibu! Semuanya memang sudah ditakdirkan seperti ini, bukan? Kak Sekala-“
“Jangan panggil dia kakak, Bulan!” sergah Janus yang muak mendengar nama Sekala.
“Sekala. Ya, Sekala. Dia sudah ditakdirkan untuk pergi dari kita. Cepat atau lambat, hari itu pasti akan tiba. Kita tidak perlu bertengkar seperti ini!” Bulan akhirnya buka suara. Ia memang lebih pemberani dibandingkan kakaknya yang cenderung banyak pertimbangan.
Suasana ruangan ini mulai mereda. Amarah yang membara di hati Janus dan Orion perlahan semakin menyusut. Bulan sedikit membuka pemikiran keduanya yang tengah dihantui rasa takut.
“Tapi, apa kau tahu apa yang akan terjadi jika Sekala mendapatkan kembali kekuatannya, bukan?” Janus memicingkan matanya, menguji sejauh mana pengetahuan Bulan tentang Sekala.
“Aku tahu. Salah satu dunia akan hancur. Bumi, atau Lumera.”
***