Bab 4 Berlarilah!
Bab 4 Berlarilah!
Matahari mulai meninggi, bersamaan dengan jalanan kota yang semakin sesak oleh asap kendaraan. Mereka berlomba-lomba sampai di tujuan karena takut terlambat. Tak jarang para pengendara menyalakan klaksonnya tanpa aturan dan membuat pengemudi lain terganggu. Hingga perkelahian antar pengemudi pun tak terelakkan.
Sekala hanya mampu menyaksikan semua itu dari pinggir jalan. Dia tidak pernah menggunakan angkutan umum. Selain karena tidak punya ongkos, perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki bisa jadi lebih cepat jika keadaan jalanannya seperti ini. Apalagi, kini Sekala memiliki sepatu ajaib yang bisa membuatnya lari secepat kilat. Tidak mungkin lagi baginya untuk telat sampai ke sekolah.
Namun, Sekala masih dalam berhati-hati menggunakan sepatunya. Dia tidak mau ada seorang pun yang menyadari bahwa sepatu yang ia kenakan bukanlah sepatu biasa. Ada kekuatan yang tak bisa ia jelaskan di dalamnya. Dan jika rahasia ini terbongkar, mungkin akan memicu kegaduhan. Orang-orang akan berebut untuk memilikinya. Yang penting saat ini adalah: Sekala sudah paham cara menggunakannya.
Seraya melangkahkan kakinya, Sekala memperhatikan kedua belah sepatunya yang terus mengeluarkan debu-debu hitam berbentuk bulat. Ketika ia mengentakkan kakinya agak keras, maka bulatan itu pun ikut membesar. Bahkan, saat ia berlari bulatan itu tidak hanya bertambah besar, namun juga bertambah banyak. Hingga akhirnya ukuran debu hitam itu hanya mencapai seukuran kelereng saja dan tidak bisa membesar lagi.
Ia sampai di sekolah tepat waktu. Bergegaslah Sekala menuju ruang kelasnya yang terletak di ujung jajaran bangunan kelas 9. Lantas ia belajar dengan tenang seperti biasanya. Matematika adalah mata pelajaran kesukaannya. Dia memang termasuk anak eksak. Hitungan lebih menarik daripada syair-syair sastra.
Sesaat dirinya tersadar, matanya mencari-cari sosok Jeri. Dia tidak masuk hari ini. Sekala tidak tahu kalau apa yang dikatakan ayahnya ternyata benar. Sepertinya, Jeri masih dirawat di rumah sakit. Tulang-tulangnya patah, itulah sebabnya Jeri tidak bisa masuk hari ini.
“Kukira apa yang dikatakan Ayah itu hanyalah bualan. Ternyata benar, Jeri mengalami luka karena aku tabrak kemarin,” gumam Sekala seraya menatap papan tulis.
Pikirannya mulai gelisah. Ia memikirkan bagaimana keadaan Jeri saat ini. Sekala dihantui perasaan bersalah karena sudah sembarangan menabraknya. Namun, itu pun murni karena kecelakaan. Sekala tidak tahu bagaimana cara menggunakan sepatunya saat itu. Dia belum benar-benar menguasainya. Oleh karena itu, semua kejadian ini bukanlah kesalahannya.
Di saat yang bersamaan, Sekala pun membayangkan semua yang telah Jeri lakukan padanya selama ini. Bagaimana Jeri memperlakukannya, berlaku kasar padanya, hingga mengunci dirinya di kamar mandi sekolah yang terkenal bau pesing itu. Sekala merasa bahwa semua itu sudah cukup untuk membayar kesalahan-kesalahan Jeri padanya.
Tak lama kemudian, Sekala menggeleng-gelengkan kepalanya. Pikiran sekotor itu tidak boleh melintas di kepalanya. Ia tidak pernah menaruh dendam pada siapa pun. Karena itulah, Sekala selalu dianggap baik oleh semua orang.
***
Angin ribut menembus celah-celah rumah. Debu dan dedaunan kecil tak terkecuali ikut mengarungi dunia bersama cicitan burung gereja yang kelaparan. Manakala angin semakin buas berembus mengitari Bumi, burung-burung pun hinggap di sembarang tempat. Mereka mencari tempat berteduh dari bahaya angin yang bisa menyapunya ke mana saja. Pilihan pun tertuju pada atas atap rumah Sekala yang hanya dihuni Janus dan Orion di jam-jam ini.
Janus tampak resah dan kebingungan. Kepalanya serasa mau meledak. Perutnya dibuat mual karena terlalu lelah berpikir. Berkali-kali dia mondar-mandir seperti tengah mencari sesuatu yang hilang. Mulutnya terkadang melenguh, tak jarang juga dia mengerang menunjukkan kemarahannya.
Dia tak habis pikir dengan telepon yang diterimanya dari pihak sekolah. Katanya, Sekala adalah biang di balik hancurnya tembok belakang sekolah. Namun pihak sekolah tidak tahu bagaimana cara Sekala melakukannya. Tidak ada rekaman CCTV karena sekolah hanya memasangnya di dalam ruangan saja.
Beberapa saksi yang melihatnya hanya mengatakan bahwa Sekala menabrak tembok itu hingga berlubang. Namun sayangnya Kepala Sekolah bersikap apatis terhadap kesaksian ini. Katanya, alasan itu hanyalah imajinasi siswa yang ingin menjatuhkan Sekala di depan guru-gurunya. Mengingat bahwa Sekala adalah siswa yang berprestasi di sekolah. Tidak mungkin jika dia berbuat macam-macam.
Akan tetapi alasan itu adalah malapetaka bagi Janus. Ia tak bisa menampiknya bahwa kesaksian itu memang benar adanya. Janus yakin betul kalau yang dikatakan para saksi itu adalah benar.
“Ada apa, Yah?” tanya Orion sembari meletakkan sepiring kue jahe di depan Janus. Senyumannya mengembang berharap suaminya berterima kasih karena telah dibuatkan kue terenak di rumah ini.
Janus yang yang masih dirundung kebingungan malah melempar piring itu. Kue jahe buatan Orion pun jatuh berserakan. Tak tersisa di piring meski satu butir. Ia sukses membuat marah istrinya. Orion yang kesal melihat tingkah Janus yang tidak jelas itu, menatapnya tajam. Matanya terbelalak penuh, seram dengan gemerutuk gigi yang terdengar jelas.
Janus yang menyadari kemarahan istrinya, segera mengeluarkan kekuatan sihirnya dan menaruh kembali kue jahe itu pada tempatnya. “Maaf.”
Orion menarik napas lega. Senyumannya pun kembali mengembang. Dia duduk tepat di sebelah Janus. “Masalah apa lagi yang membuatmu sampai seperti ini?” tanya Orion.
Janus tidak segera menjawabnya. Ia bingung harus memulai cerita ini dari mana. Langsung ataupun tidak, jawaban dari pertanyaan ini akan membuat Orion terkejut. Akan tetapi, mau bagaimanapun dia tetaplah harus tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya.
“Ayolah, Yah. Katakan saja. Aku ini istrimu.” Orion terus mendesak agar Janus membuka mulutnya. Namun sayangnya dia masih belum berhasil. Janus tetap menutup mulutnya rapat-rapat.
Orion bangkit dari kursinya. “Baiklah. Kalau kau tidak percaya dengan istrimu sendiri tidak apa-apa. Tapi jangan harap kau-“
“Oke!” sambar Janus memotong kata-kata Orion seraya mencengkeram tangannya.
Orion tersenyum lega, entah puas. Akhirnya Janus mau mengutarakan alasannya bersikap aneh hari ini. Meski begitu, Janus masih terlihat ragu untuk mengatakannya sekarang. Dia takut sampai terjadi sesuatu kepada istrinya.
“Aku menerima telepon dari sekolahnya Sekala.” Janus mulai berbasa-basi.
“Dia berulah lagi?” Orion memanas. Setiap kali mendengar nama Sekala, dia selalu terlihat marah dan benci.
“Bukan hanya berulah ….”
“Lalu?”
Suasana lengang seketika. Mereka saling tatap agak lama. Janus masih belum yakin untuk mengatakannya sekarang. Bisa jadi masalah besar jika dia sampai memberi tahu Orion soal ini. Namun, jika Orion tidak tahu pun masalahnya akan semakin membesar.
“Katakan!”
Janus memalingkan wajahnya dari tatapan Orion. “Ki- Kiamat akan segera tiba.”
Mendengar jawaban suaminya itu, Orion tergeletak pingsan. Dia tahu ke mana arah pembicaraan suaminya. Hari yang paling mereka takutkan akan segera datang. Hari ketika Sekala telah menemukan kekuatan yang selama ini dipisahkan jauh-jauh darinya.
***
Suara misterius itu kembali terdengar. Kali ini melarang Sekala untuk pulang ke rumahnya. Tidak peduli apa pun alasannya, Sekala benar-benar tidak boleh pulang selama-lamanya. Jika tidak menuruti perintah ini, maka nyawanya akan berada dalam bahaya.
“Tapi, bahaya apa yang kau maksud?” Sekala bersikeras ingin mengetahui alasan kenapa ia tidak boleh pulang ke rumahnya sendiri.
“Kau akan mati!”
Mendengar jawaban mengerikan itu, Sekala terkejut bukan main. Dadanya bergemuruh layaknya disambar petir di siang hari. Tubuhnya roboh seketika hingga tergeletak di tanah tak beralas. Untungnya dia tidak sampai pingsan.
“Apakah yang akan melakukan itu adalah Ayah dan Ibu?” tanya Sekala dengan suara yang sangat lemah.
Tidak ada jawaban. Senyap. Sepatu itu tak bersuara lagi. Sangat sulit membuat sepatu gila itu untuk berbicara. Dia hanya akan berbicara jika dirinya mau saja.
“Bagaimana dengan Bumi dan Bulan? Aku bahkan belum berpamitan pada mereka berdua.” Sekala kembali bertanya.
“Mereka berdua akan baik-baik saja.”
“Syukurlah ….” Sekala mengembuskan napas lega. Baginya, keselamatan Bumi dan Bulan adalah hal yang peling penting dibandingkan dengan keselamatan dirinya sendiri. Dia selalu berharap bahwa kedua adiknya tidak mengalami apa yang pernah dia alami.
“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” tanya Sekala yang kebingungan. Bagaimana pun ia membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari panas dan hujan.
“Berlarilah!”
“Berlari lagi? Ke mana?”
“Berlarilah!”
Sekala sedikit kesal dengan sepatunya yang selalu memberi perintah tanpa kejelasan. Berkali-kali sepatu itu menyuruh ini dan itu. Namun semua perintahnya selalu tidak jelas dan bermakna kabur. Tak ada alasan yang pasti bagi Sekala kenapa dia harus melakukan segala perintah itu.
Walaupun begitu, Sekala tetap yakin dengan apa yang dikatakan sepatunya. Sebab selama ini apa yang diperintahkan kepadanya tidak pernah membuat Sekala celaka. Alih-alih, semua yang dikatakannya justru selalu membuat Sekala terbebas dari masalah-masalah yang dihadapinya.
“Berlarilah ke mana pun kakimu ingin berlari!”
***