Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pelarian

Bab 3 Pelarian

Ia berhenti di sebuah hutan belantara yang dipenuhi dengan pepohonan rindang. Beraneka ragam hewan liar ia temui di sana. Termasuk, dengan beberapa hewan buas yang sempat menatapnya dengan pandangan yang sangat mengerikan. Akan tetapi, anehnya mereka sama sekali tidak berhasrat untuk menangkap, atau bahkan memakan Sekala.

Sekala menatap jam yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Baru dua menit yang lalu dia berada di hadapan Jeri dan teman-temannya. Namun, dia sudah berlari lebih jauh daripada yang bisa dilakukan oleh seorang manusia normal.

Perlahan dia mengintip beberapa orang yang berlalu lalang. Dia tahu bahwa wajah yang dilihatnya sama sekali berbeda dengan yang ia lihat di sekitara kota. Yang artinya, dia sudah tidak berada di daerahnya sendiri. Entah di negara mana, Sekala kebingungan.

Suara yang menyuruhnya lari tak terdengar lagi. Ia bingung harus bagaimana. Untuk pulang ke kotanya mungkin akan memakan banyak waktu, dan juga biaya. Orion dan Janus tidak mungkin mau menjemput Sekala. Bahkan mungkin mereka sangat senang dengan hilangya Sekala dari kehidupan mereka.

Tiba-tiba Sekala sadar, bahwa sepatu yang ia gunakan bisa dipakai untuk pulang. Sepatu yang sudah mengantarkannya ke tempat yang sangat jauh ini, bisa membuatnya berlari secepat kilat. Dan untuk mencapai rumahnya, pasti bukanlah hal yang sulit jika menggunakan kekuatan sepatu itu.

Sekala menarik napas dalam-dalam. Ia sedikit bergetar mengingat bahwa dirinya belum sepenuhnya menguasai cara penggunaan sepatu aneh itu. Akan tetapi, ia ingin segera pulang ke rumah. Dia takut kalau Orion dan Janus akan memarahinya jika sampai telat pulang.

***

Di luar dugaan, Sekala sampai tepat waktu, dan tepat di depan rumahnya. Wajahnya sumeringah. Dia merasa bahwa dirinya sangat beruntung karena mendapatkan sebuah sepatu yang sangat spesial. Entah sengaja atau tidak, yang pasti Janus sudah memberinya kado paling istimewa.

“Jangan beri tahu siapa pun soal sepatumu!”

Suara itu kembali terdengar. Suara misterius yang tadi siang menyuruhnya untuk segera berlari sejauh mungkin. Dan kini suara misterius itu kembali memberi perintah padanya. Sekala pun kembali melipat wajahnya. Dahinya mengerut. Ia heran dengan apa yang ia alami seharian ini. Bukankah memiliki sepatu sehebat ini adalah anugerah yang luar biasa? Mengapa tidak boleh diberi tahu kepada siapa pun?

“Tapi, kenapa?” tanya Sekala sambil melihat sepatunya. Ia yakin bahwa suara misterius itu berasal dari sepatunya.

“Kubilang jangan!” sambar suara yang ternyata benar-benar berasal dari sepatunya.

Janus keluar dari rumahnya. Dia menatap Sekala dengan penuh kebencian. Tak menunggu lama, Janus menghampiri Sekala dengan sikap yang sangat menakutkan. Matanya tajam. Mulutnya bergetar. Sekala mulai ketakutan. Namun, dia agak tenang manakala melihat tangan ayahnya yang kejam itu kosong. Tak ada benda yang akan membanting tubuhnya.

“Dasar anak sialan!” sentak Janus sambil mencekik leher Sekala. “Kau kira dengan meluapkan amarahmu pada Jeri, kau akan disebut hebat, hah!? Lihat dia, sekarang Jeri sedang berada di rumah sakit karena patah tulang. Dan itu pasti perbuatanmu, kan?”

Janus mengangkat tubuh Sekala. Cekikan itu amat kuat hingga tak memungkinkan bagi Sekala untuk berbicara. Sedangkan Janus semakin menggila. Ia tak memiliki belas kasihan. Sedikit pun Janus tidak memberikan kesempatan kepada Sekala untuk bernapas barang sedetik saja.

“A- aku-“

“Diam! Akui saja bahwa kaulah pelakunya!”

Janus melempar tubuh Sekala ke dinding rumahnya. Sontak Bumi dan Bulan yang mendengar kegaduhan itu berhamburan keluar rumah, lalu menolong Sekala.

“Kakak!” teriak Bumi sambil menyergap Sekala dengan pelukannya.

“Ayah! Ayah sudah keterlaluan. Bagaimana kalau Kak Sekala sampai mati!” seru Bulan berapi-api.

“Biarkan saja anak sialan itu mati. Dia hanya bisa menyusahkan kita saja!”

Janus kembali masuk ke rumah. Tangannya membanting pintu, hingga membuat kaca pintunya pecah. Sedangkan Orion hanya melihat semua kejadian itu dengan senyuman dari balik jendela rumahnya. Ia sama sekali tidak berniat untuk menolong Sekala. Bahkan, hatinya merasa puas setelah melihat suaminya menyiksa Sekala habis-habisan.

“Bagus sekali, suamiku. Aku juga sangat membenci anak itu!” seru Orion saat Janus melangkah di depannya.

“Tetaplah berhati-hati. Jangan sampai dia mendapatkan kembali kekuatannya.” Janus lantas kembali ke garasi kesayangannya. Begitu juga dengan Orion, setelah puas melihat pertunjukan mengerikan itu, ia kembali ke kamarnya.

“Kak Sekala baik-baik saja, bukan?” Bumi mengulangi pertanyaannya. Ia sangat khawatir dengan keadaan kakaknya.

“Ha ha ha … aku baik-baik saja, Bumi. Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini sejak kecil. Tubuhku tidak akan mati semudah itu.” Sekala berusaha membuat adik-adiknya tenang.

“Mereka sudah kelewatan, Kak. Aku akan-“

“Sudah. Jangan dipikirkan,” sambar Sekala. “Mereka akan sadar pada waktunya. Percayalah.”

Sekala memberikan senyuman terbaiknya. Meski sedetik setelah senyuman itu, ia kembali meringis merasakan sakit di sekujur tubuh.

“Ayo kita masuk, biar kami obati luka Kak Sekala.”

Bumi kemudian membopong tubuh Sekala. Bulan ikut membantu. Mereka menangis dalam diam.

Sekala pun sampai di kamar si kembar. Bumi mendudukkan tubuh kakaknya itu di tempat tidur. Lalu, Bulan cekatan mengambil kotak obat yang ditaruhnya di sisi rak buku. Tangannya merogoh kotak itu, mencari-cari plaster dan perban. Juga, tidak lupa dengan obat merah untuk menekan luka berdarah yang membuat kakaknya kesakitan.

“Tidak ada kapas, Kak!” seru Bulan pada Bumi.

“Tidak apa-apa. Bawa saja perban dan obat merahnya.”

“Plaster?”

“Bawa juga.”

“Kenapa Ayah bisa bertindak sampai seperti ini, Kak?” tanya Bulan sambil membawa perban, plaster gulung, dan obat merah ke tempat tidur.

“Guntingnya mana, Bulan?”

“Oh iya, aku lupa.” Bulan menuju ke meja belajar, lalu mengambil gunting berwarna hijau dan memberikannya pada Bumi.

Bumi lantas menarik gulungan perban itu, dia melipat sedikit perbannya sebagai pengganti kapas. Bumi meneteskan obat merah pada lipatan perbannya, lantas menutup luka di lutut Sekala. Baru setelah itu, ia menggulungnya dengan kain perban. Terakhir, dia merekatkan kedua sisi kain perban itu menggunakan plaster yang juga digulung seperti solatip.

“Bukankah Ayah dan Ibu memang sudah biasa memperlakukanku seperti itu?” Sekala tersenyum tipis.

“Tapi mereka sudah lama tidak melakukannya pada Kak Sekala! Mereka harusnya melihat bagaimana usaha Kak Sekala selama ini untuk mendapatkan perhatian dari keduanya.” Bulan bersikeras menyalahkan kedua orang tuanya.

“Sudahlah. Aku tidak apa-apa, Bulan. Semuanya akan baik-baik saja.”

Bulan tetap tidak terima. Matanya berkaca-kaca menahan luapan amarah yang mengganjal di hatinya. Namun, ia sendiri tidak memiliki keberanian untuk mengatakan semua ini pada ibu dan ayahnya.

“Bulan, Kak Sekala bilang kalau dia baik-baik saja. Jadi, jangan khawatir. Kalau dia sudah bilang seperti itu, dia pasti akan selalu baik-baik saja.” Bumi coba menenangkan adiknya.

Sekala tersenyum ramah. Dia mencoba terus terlihat baik-baik saja meski hatinya sakit sekali. setelah semua perlakuan ayahnya, mana mungkin Sekala bisa disebut baik-baik saja. Ia hanya tidak mau membuat kedua adiknya merasa khawatir.

Dalam hatinya, Sekala ingin sekali berbagi cerita tentang sepasang sepatu yang telah mengubah kehidupannya. Sepatu yang telah mengantarkannya ke sembarang tempat nan jauh di sana. Tetapi, peringatan suara misterius itu kembali terngiang. Sekala tidak boleh mengatakan semua ini kepada siapa pun tanpa pengecualian.

***

Sekala kembali meringkuk di kamarnya. Bekas luka di sekujur tubuhnya sudah tertutupi perban dan plaster, tapi rasa sakitnya mulai terasa sekarang. Bumi dan Bulan memang selalu ada untuk menolongnya. Dia tidak sendirian. Namun, di kamar ini tentunya ia kembali merasakan kesendirian yang sangat mencekam. Sepi. Dia merasa bahwa dirinya memang ditakdirkan untuk menikmati segala kesakitan ini.

Tangannya mengambil botol minyak, lantas menuangkannya pada obor yang mulai redup sejak kemarin. Obor itu kembali menyala terang. Lebih terang dari biasanya. Sekala menatap lamat-lamat kobaran api itu. Terang. Bersinar. Dia amat menyukai benda-benda yang memancarkan cahaya. Sebab menurutnya, selalu ada harapan dari benda yang bersinar. Dan setiap kali ia menatap api, maka keinginannya untuk menjadi anak yang dibanggakan kembali hidup.

“Perlakuan Ayah tadi itu … sudah sangat keterlaluan. Tapi, mau bagaimana pun dia tetaplah ayahku.” Sekala berbicara pada dirinya sendiri di hadapan obor yang menyala sangat terang.

“Apakah sebaiknya aku lari saja dari rumah ini?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel