Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Bertahan Adalah Cara Kami Hidup.

"Yin Er, di tempat seluas negara kita, kita bahkan tidak punya tempat untuk kembali. Lantas, bagaimana kita akan tinggal, melindungi dari kedinginan yang ada?"

***

Tubuh manusia seperti dendalion. Rapuh, hingga harus mengikuti kemana angin membawanya.

Kalimat itu berlaku untuk Yun Zhi dan pelayannya. Meski ia hidup dalam kebebasan, tapi kenyataannya ia akan tetap terikat pada sebuah aturan. Aturan yang mau tak mau harus ia ikuti tanpa kehendak diri.

"Apa kau tidak bangga? Berkat kita, ribuan nyawa rakyat telah tertolong. Ribuan anak-anak tidak kehilangan ayah mereka. Dan ribuan perempuan tidak menjadi janda."

Yin Er tertunduk. Sedikit sekali ia menyimpan kebanggaan itu, karena demi kebahagiaan mereka ia harus sanggup menyaksikan nona mudanya meninggalkan seluruh keluarga lalu hidup tanpa siapa-siapa selain ia seorang.

"Yin Er …" Yun Zhi berbalik. Ia mendekat kemudian mengusap lembut pipi kemerahan milik pelayannya. "Aku masih ingat saat kali pertama kau datang padaku," ucapnya dengan mata menerawang jauh.

"Hari itu, bunga bunga baru bermekaran setelah satu pekan berakhirnya musim dingin. Kau datang dengan rambut digulung, dan sedikit basah, karena di luar tengah hujan tipis-tipis. Usiamu baru sepuluh tahun. Usiaku 14 tahun. Selama satu tahun, kita menghabiskan waktu bersenang-senang, menikmati desiran angin di gurun, berkuda, memanah elang dan …" Yun Zhi tak melanjutkan. Bola matanya tampak berkaca-kaca.

"Dan hari memilukan itu akhirnya terjadi," sambung Yin Er.

Yun Zhi menarik nafas panjang. Ia berusaha tersenyum walau nyatanya sembilu bagai menyayat.

"Ehhh, lihat! pohon persik disini sudah benar-benar gundul." Yun Zhi tidak mau tenggelam dalam kesedihan. Ia mengalihkan pembicaraan mereka. Meskipun nyatanya sesak masih terasa menyeruak dalam dada.

***

Kebencian selir Xiao Ju pada selir Yun Zhi tidak main-main. Ia serius menolak hadiah pemberian darinya walaupun pada hati kecil terdalam, ia sangat menginginkan barang langka itu.

Kipas gunung Kunlun itu sekarang menjadi milik raja A Jhu secara resmi.

Tanpa keraguan, Raja A Jhu memajang kipas tersebut persis di depan tempat kerjanya. Selain dipakai saat ia gerah, juga digunakan sebagai objek pemandangan.

"Karya tangan ajaib dewa pelukis itu sungguh membuatmu betah di sini, yang mulia."

Raja A Jhu tidak menanggapi. Entah apa yang dirasa. Sudut-sudut bibirnya terangkat. Terpancar kebahagiaan yang tidak berani ditebak oleh siapapun, kecuali tangan kanannya itu.

"Yang kau perhatikan ini, kipas itu atau …" Maksudnya adalah si pemilik asli kipas.

Raja A Jhu mendesah. Posisi tangannya berubah, menyangga dagu.

"Aku tidak mengerti, kenapa perempuan barat daya itu bisa menyimpan artefak yang sangat berharga selama lima tahun ini. Lalu, menyerahkannya secara cuma-cuma pada Xiao Ju."

Tangan kanannya bergeming. A Jhu yang penasaran lantas menoleh.

"Ada apa, kakek? Apa kau kehilangan energi untuk berbicara lagi?"

"Apa yang mulia ingin mendengar kelancangan ku?"

A Jhu menaik-turunkan alis. "Bukankah selama ini, hanya kakek yang paling berani mengkritik ku. Tidak hanya saat empat mata, melainkan saat aku dikelilingi banyak orang."

"Kalau begitu akan aku tebak secara jujur. Yang kau perhatikan itu bukan kipas gunung Kunlun melainkan wajah selir Yun Zhi yang tertanam di sana."

Seketika raja A Jhu menegakkan posisi duduknya. Tatapannya tajam dan awas bagai mata elang.

"Jangan bicara sembarangan, kakek!"

Tangan kanan yang ia panggil kakek lantas terkekeh-kekeh. Kemudian berlalu entah kemana; tidak akan ada yang mampu menebak.

***

Di penghujung musim gugur. Kota mengadakan festival besar-besaran. Banyak saudagar asing berdatangan, menjajakan dagangannya. Mulai dari arang wewangian, lilin penuh warna, lentera, mantel segala jenis sampai makanan khas musim dingin sudah bisa dicicip.

Bila acara ini berlangsung, pada malam puncaknya, raja A Jhu akan datang guna memeriahkan sekaligus membuat hati para penduduk bahagia.

Oleh karenanya, kala malam puncak perayaan tiba. Penduduk luar kota berbondong-bondong datang hanya untuk melihat Raja mereka, bukan untuk berbelanja.

"Paduka tiba!!!"

Begitu aba-aba diserukan. Seolah diperintah, kerumunan akan membelah. Membuat jalan untuk raja beserta jajarannya melintas.

Wajah-wajah penduduk sangat senang. Tak lupa mereka memberi salam, serta senyum terbaik.

Raja dengan senang tersenyum ke semua orang. Juga tak lupa selalu rutin membeli makanan manis berupa permen karakter.

Si pedagang tahu apa kesukaan raja. Ketika raja menghampirinya, si pedagang sudah siap siaga menyerahkan dua buah permen berbentuk dirinya dan perempuan berpakaian hanfu.

Siapa perempuan yang dimaksud, tidak ada yang tahu. Banyak rumor mengatakan, permen itu adalah bentuk selir Xiao Ju, tapi tak sedikit juga yang membantah.

Tahun demi tahun, teka-teki ini tidak terjawab. Siapa yang mengerti, hanya raja sendiri.

"Ahhh, lentera ini lucu sekali, nyonya. Aku ingin membelinya satu. Boleh?"

Di tengah keramaian itu, pendengaran raja sangat awas. Ia mampu mendengar suara familiar yang lokasinya cukup berjarak.

"Berapa harga lentera ini, tuan?"

"Satu koin perak saja, Nyonya. Dan kalau kau beli dua, aku akan memberimu hadiah satu lilin."

Siapa yang tidak senang dengan hadiah berjenis apapun? Mustahil bukan.

Maka dibelilah lentera kelinci dan lentera teratai.

"Terima kasih, nyonya."

Dua perempuan pembeli lentera itu berjalan ke arah selatan. Mereka terlihat senang satu sama lain. Raja memperhatikannya tanpa berhenti melangkah. Setelah lumayan jauh, perempuan pembawa lentera teratai itu menoleh.

Bermodalkan penglihatan tajam bak mata elang, raja A Jhu langsung mengenali siapa pemilik lentera teratai tersebut.

"Yang mulia, apa yang kau perhatikan?" Tanya Kasim.

Raja A Jhu menggeleng. Mengalihkan perhatian, ia menjilat permen miliknya sambil memuji. "Rasanya masih sama enaknya seperti saat aku kecil."

***

Salju berguguran beriringan dengan tiupan angin. Lentera teratai dan lentera kelinci yang digantungkan pada jendela kamar Yun Zhi menari-nari. Sama seperti jubah menjuntai milik Yun Zhi yang berkibar kibar ujungnya bagai sayap burung siap terbang.

"Nyonya, jangan membuka jendela saat seperti ini!" tegur Yin Er seraya menarik ujung ujung daun jendela itu sendiri.

Angin yang berhembus kencang membuat Yin Er sedikit kesulitan menggapai ujung daun jendela itu.

"Nyonya masuklah!!" teriak Yin Er, kedinginan; dihujani butiran salju.

Tak disangka-sangka, seonggok tangan mendadak membantu Yin Er menggapai ujung daun jendela itu. Yun Zhi yang sadar, serta merta berbalik memunggungi.

"Silahkan nona masuk. Biar aku tutup dari luar." Entah kapan datang, tiba-tiba jendral Li sudah ada di hadapan mereka.

"Jendral Li." Netra hitam milik Yin Er berbinar-binar. Ia senang bukan main, karena jendral Li dianggap baik usai kemarin-kemarin sudi membantu ia dan Yun Zhi.

Brakkk

Jendela tertutup. Yin Er langsung berbalik, menyiapkan cadar untuk nyonya nya.

Tok Tok Tok

Tak lama, pintu diketuk. Mereka sudah tahu siapa yang datang.

"Aku di sini saja, Yin Er," minta Yun Zhi segera diiyakan pelayannya.

Gegas Yin Er membukakan pintu. Tak lupa ia memberi hormat, bersemangat.

Sikap polos Yin Er entah bagaimana bisa menimbulkan rasa tersendiri di hati jendral Li. Acap kali menatap wajahnya, ia malah seakan kehilangan pamor seorang jendral. Ia tidak bisa tegas, ataupun lembut. Kesannya, ia malah sangat kaku dan canggung.

"Ada titah dari Raja."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel