5. Ketika Kekuasaan Di Tangan
Angin kencang seketika meniup. Rambut panjang gadis itu serta merta menari-nari tertiup angin.
Deggg
Bagai berhenti berdetak sepersekian detik jantung jendral Li kala mendapati pelayan yang selama ini ia anggap sebelah mata, ternyata memiliki tampang yang tidak jauh berbeda dari gadis-gadis keluarga terpandang.
Yin Er akhirnya sadar rambutnya belum digulung. Lekas ia buru-buru menggulung rambut miliknya secara asal.
"Tolong maafkan aku, Jendral Li." Yin Er setengah membungkuk. "Aku … aku baru selesai mandi," katanya beralaskan.
Jenderal Li menelan ludah susah payah. Ia menyeka kening yang entah sejak kapan sudah berkeringat.
Ekhemm
Tak mau terlalu larut dalam kecanggungan, jendral Li langsung mengutarakan tujuannya datang.
"Raja mengirimkan semua ini untuk selir Yun Zhi, mohon selir Yun Zhi menerimanya."
Satu keranjang dipenuhi obat-obatan herbal diletakkan di atas lantai. Setelah itu Jendral Li berpamitan; terburu-buru.
Yin Er mengambil alih keranjang tersebut. Melihat isinya, ia terbelalak seketika.
"Nyonya!!" Si pelayan itu juga tak sabar ingin memperlihatkan apa yang nyonya nya dapat.
Yun Zhi dan Yin Er saling menghampiri. Sepasang mata coklat terang milik Yun Zhi setengah terbelalak juga. Terpancar tanda tanya besar dari caranya memandang obat-obatan herbal tersebut.
"Apa semua ini pemberian Jendral Li?" Tanya Yun Zhi kurang yakin.
Yin Er mengangguk tanpa menanggalkan senyuman bahagianya.
"Bagaimana mungkin?" Lirih Yun Zhi seraya memperhatikan satu persatu obat-obatan herbal itu.
Ukhukkk
Detik berikutnya, ia terbatuk-batuk lagi. Yin Er segera meminta Yun Zhi duduk, sedang ia menyiapkan obat yang sudah seharusnya Yun Zhi minum sejak pagi tadi.
***
Tidak terasa, hari beranjak malam. Langit yang tadinya masih menyembunyikan semburat jingga, kini telah hitam legam ditelan mega-mega kelam. Dari kejauhan, terdengar lolongan serigala; menakutkan. Tak lama, anjing-anjing juga ikut menggonggong. Entah mereka tidak diberi makan, atau mungkin terusik karena kedinginan, atau bisa jadi mereka sedang berebut makan.
Selarut ini, semua orang akan jauh pergi ke dunia mimpi mereka. Selimut-selimut yang tadinya setengah turun pun gegas ditarik kembali sampai kepala. Selain mengusir dingin, juga menghalau paruh panjang si penghisap darah.
Hingga secara bertahap, lolongan dan gonggongan itu tidak saling bersahutan lagi. Seorang pria berbadan tegap nan gagah tampak keluar dari kegelapan di ujung sana.
Lentera yang ia bawa, apinya hampir padam. Tapi ia seolah tidak akan kehilangan cahaya. Ia begitu yakin melangkah sampai langkahnya terpaksa dihentikan, karena sesuatu.
Sesuatu yang ia dengar meski sebenarnya tak ingin ia dengar.
"Apa yang membuat malam ini berbeda sehingga raja keluar tanpa seorangpun pengawal?"
Pandangan pria gagah, berstatus raja itu tetap lurus ke depan. Pelan sudut bibirnya terangkat.
"Raja, berapa kali harus hamba katakan padamu. Di dunia yang makmur ini, belum tentu ada orang yang tidak menaruh kebencian. Lebih-lebih kursi yang kau duduki adalah kursi panas, jikalau kau masih menganggap aku dan semua orang rakyatmu, tolong dengarkan nasihat hamba, Raja."
Raja belum menanggalkan senyum. Justru sekarang raja sambil terpejam seakan-akan sedang menelan lamat-lamat penuturan pengikutnya yang paling ia percayai.
Tak lama, langkah Raja kembali terayun. Pengikutnya itu diacuh tak acuhkan, begitu pula penuturannya yang dianggap tak pernah salah.
***
Pagi ini tidak berbeda dengan pagi kemarin.
Setiap kali Kasim dan para pelayan menunggu raja bangun, pasti selir Xiao Ju akan datang dan membangunkannya lebih dulu.
Raja mengikuti. Ia akan bangun setelah selir Xiao Ju datang. Oleh karenanya, selir Xiao Ju menganggap, bahwa dirinyalah satu-satunya selir yang bisa diandalkan.
Selesai mempersiapkan diri, raja akan berangkat ke pertemuan pagi secara rutin.
Acap kali ia datang, semua pekerja pemerintahan telah berkumpul membentuk barisan yang rapi. Lengkap dengan pakaian kerja menjuntai-juntai, serta topi selebar setengah meter yang membuat mereka bertambah berwibawa sekaligus pembatas antara satu perdana menteri dengan perdana menteri lain.
Begitu raja duduk, para pekerja pemerintahan itu setengah membungkuk seraya menyerukan doa. "Semoga raja bahagia selalu, semoga raja panjang umur."
Raja mengangkat tangan. Pertanda agar semua orang kembali berdiri tegak.
"Hari ini wajahmu tampak berseri-seri, Tuan Chao," timpal Raja, bernada santai tapi sukses membuat lutut perdana menteri yang ia sebut bergetar.
Bukan hanya itu. Tapi juga secepat kilat mengubah wajah berseri-seri nya menjadi pucat pasi.
"Oh, apa kasus pekan lalu telah kau tuntaskan?" tambah raja; semakin menggetarkan kaki perdana menteri tersebut.
Kemudian dengan sedikit keragu-raguan, si perdana menteri pun bergeser dari posisi semula ke tengah jalan untuk lebih mudah dilihat semua hadirin.
"Maafkan hamba, paduka." Tiba-tiba perdana menteri itu berlutut lalu bersujud dengan kedua tangan lurus ke depan.
Raja tersenyum miring. Dimintanya petisi tanpa nama pengirim dari sang Kasim. Sejenak raja membuka petisi tersebut. Selesai dibaca, ia melemparkan petisi tersebut ke arah perdana menterinya.
"Kepentingan negara belum selesai tapi kau berani merayakan festival kue bulan secara pribadi, pun sengaja mengundang para penari dari rumah bordil. Apa kau pikir aku tidak akan tahu, tuan Chao?"
Perdana menteri terhenyak. Tebakan nya meleset. Ia sekaligus kebingungan, karena ia mengadakan acara festival kue bulan itu secara diam-diam, jangankan orang tahu, seekor lalat pun tidak akan pernah melihat. Lantas, bagaimana mungkin raja mengetahuinya?
Lalu, ekor matanya mengarah ke sisi kanan. Disana juga ada perdana menteri yang ia tatap lekat-lekat. Ia meyakini, rekan satu acarnya itulah yang melaporkan secara diam-diam.
"Benar kata pepatah, di depan kawan di belakang lawan," batin perdana menteri Chao.
Selain padanya, raja juga memanggil perdana menteri lain.
"Perdana menteri pertanian!"
Yang dipanggil lekas mendekat. "Hamba, paduka."
Raja mengulurkan tangan minta petisi lagi. Kali ini, Kasim memberinya dua petisi sekaligus.
Sama seperti yang lalu, raja juga melempar dua petisi itu ke arah perdana menteri pertanian.
"Aku tidak tahu, aku yang salah memilih pejabat atau pejabat itu sendiri yang tidak bisa diandalkan."
Seketika si perdana menteri pertanian berlutut, bersujud memohon ampunan.
"Ampun, paduka. Hamba yang salah. Hamba yang tidak bisa diandalkan."
"Tentu saja," sahut raja, "kalau tidak, mustahil pejabat desa itu mengajukan gugatan untukmu mundur, karena kau lalai dalam tugas!"
"Ampun paduka."
Tidak ada maaf untuk kedua perdana menteri tersebut. Detik itu juga, raja menurunkan jabatan mereka ke posisi awal. Yakni hanya bagian penting di perpustakaan negara.
***
Kabar diturunkannya jabatan kedua perdana menteri itu sampai ke telinga para penduduk. Mereka yang sepakat, tak bisa melukiskan betapa bahagianya memiliki raja yang adil dan tak pernah pandang bulu. Namun, hal itulah yang menjadi pemicu kebencian pada oknum-oknum lain. Termasuk pada hati kedua perdana menteri yang telah dicabut jabatannya.
"Hingga darah titik penghabisan, api kemarahan ku ini tidak akan pernah padam!"