4. Saat Kami Tak Dianggap.
Si tabib tak membalas. Ia berbalik dengan mulut berdecak sebal. "Kalau bukan jenderal Li yang meminta, aku juga tidak akan sudi."
Kata-katanya lirih, tetapi masih bisa didengar pelayan tersebut.
Pedas ucapannya bagai menghujam dada. Namun, pelayan tersebut hanya bisa diam, mengepalkan tangan; menahan emosi.
Ukhukkk
"Yin Er."
Yun Zhi akhirnya bangun. Ia berjalan tertatih-tatih, mencoba menggapai tembok kayu kamarnya.
Mendengar panggilan dari Yun Zhi, gegas pelayan yang diberi nama Yin Er itu lekas masuk.
"Nyonya!" Ia panik, dan langsung menggapai lengan selir Yun Zhi.
"Nyonya mau kemana? Nyonya masih sakit. Nyonya istirahat saja. Ayo!"
Kemudian Yin Er menuntun selir Yun Zhi kembali ke tempat tidurnya lagi. Lalu, gadis muda itu duduk mengusap-usap punggung tangan selir Yun Zhi yang lebih mirip batu es.
"Apa tabib sudah pergi?" Tanya selir Yun Zhi seraya mengarahkan pandangannya ke luar kamar.
Yin Er mengiyakan.
"Apa kata tabib?" Tanya Selir Yun Zhi kali keduanya. Dan Yin Er menjelaskan semua larangan untuk nyonya nya itu.
Yun Zhi hanya tersenyum, seolah-olah ia tidak percaya pada kata-kata tabib.
"Aku harus ke rumah obat istana, Nyonya. Supaya keadaan nyonya secepatnya pulih."
Yun Zhi tidak yakin. Pasalnya, untuk melangkah di depan gerbang istana tanpa persetujuan raja saja akan sulit sekali, apalagi kalau masuk menuju rumah obatnya.
"Tidak perlu ke rumah obat istana, Yin Er. Bagaimana kalau kita pergi ke pasar saja. Toko obat-obatan di pasar kelengkapannya tidak jauh berbeda dari kelengkapan rumah obat istana, 'kan?"
Saran selir Yun Zhi benar juga. Ditambah, Yin Er sendiri agak ngeri kalau harus pergi sendirian.
Kendati demikian, Yin Er tidak bisa langsung setuju, mengingat semua istri-istri Raja tidak diperbolehkan keluar tanpa sepengetahuan raja. Dan untuk mendapatkan izin dari Raja adalah satu hal yang mustahil di dunia ini.
Paham apa isi otak Yin Er, Yun Zhi tersenyum lagi. Ia sengaja mengetuk kening gadis itu. Bukannya sakit, yang ada malah gatal.
***
Balap kuda semakin ramai saja. Persaingan antar peserta semakin sengit, karena hanya tersisa para peserta ahli dalam menguasai kuda masing-masing.
"Favorit paduka mampu bertahan sampai detik ini," ujar selir Xiao Ju dengan pandangan sejenak ke arah arena balap, dan sejenak lagi memandang wajah gagah raja A Jhu dari posisi samping.
Raja A Jhu tidak menanggapi ucapan wanita itu. Ia tersenyum ke arah peserta sambil meneguk anggur yang beberapa saat lalu diteguk.
Xiao Ju ikut memperhatikan apa yang membuat perhatian suaminya terambil secara penuh.
"Ah, apa paduka sudah mengalihkan pilihan?" Tanya Xiao Ju, atau lebih tepatnya menebak-nebak dan ingin langsung mendapat jawaban.
Lantas, A Jhu menanggapi. "Ia satu-satunya penunggang kuda perempuan di perlombaan itu. Bagus, ia bertahan sampai detik ini."
Bicara soal perempuan lain, jujur saja Xiao Ju selalu merasa iri dan dengki. Itu karena perasaan cintanya pada Raja A Jhu begitu dalam sejak kali pertama tumbuh, yakni pada musim semi di usia 14 tahun wanita itu.
"Apa paduka suka padanya?"
Tidak tahu kenapa, terlintas pertanyaan tersebut di benak Xiao Ju. Ia pun gegas mengungkap, agar lagi dan lagi langsung mendapat jawaban.
Raja A Jhu kemudian menoleh, menatapnya disertai senyum miring. "Terlalu banyak dipuji membuatmu lupa, selir Ju."
Selir Xiao Ju terdiam. Bukan berarti ia menyadari dirinya salah, melainkan ia mengingat kalau Raja A Jhu paling sulit jatuh cinta secara tulus pada perempuan manapun, termasuk para istrinya sendiri.
"Mungkin, mulai detik ini, aku tidak perlu sering memujimu. Biar kau tahu siapa kau, dan harus bagaimana engkau," kata Raja A Jhu sebelum dirinya fokus ke arena pertandingan lagi.
***
Sekarang sedang musim gugur. Udara sudah mulai lebih dingin kala malam menjelang. Oleh karenanya, rombongan istana memilih secepatnya pulang selagi mega-mega gelap belum sepenuhnya menelan dirgantara.
Setibanya di istana, Raja A Jhu akan dibimbing membersihkan diri. Sementara selir Xiao Ju kembali ke istana pribadi sendiri, yakni sebuah bangunan khas dinasti Han yang terletak paling dekat dari istana utama sang raja.
Sama seperti Raja A Jhu. Selir Xiao Ju pun akan dibersihkan oleh para pelayannya. Terutama pada bagian riasan rambut yang ia sendiri tidak bisa melepaskan.
Sambil dilepas satu persatu, Xiao Ju mengajak selir kedua mengobrol.
"Bulan depan, usiaku genap dua puluh lima tahun. Itu artinya, sepuluh tahun sudah aku menjadi istri paduka yang setia berdiri di sampingnya meski apapun yang terjadi. Tapi entah kenapa, hingga detik ini paduka tidak juga memberikan status ratu itu padaku," ungkap selir Xiao Ju, setengah emosi.
Selir kedua mendengarkan seksama; tampaknya. Padahal dalam hati, ia juga menginginkan posisi serupa. Namun, ia tidak punya dukungan penuh baik dari keluarga maupun orang sekitar.
"Kakak Ju bersabar saja. Aku yakin, Paduka tidak akan salah pilih. Dan lagi, kakak Ju adalah orang yang paling lama menemani paduka. Paduka tidak mungkin melupakan setiap jasa-jasa dari kakak Ju."
Xiao Ju yang mulanya berwajah datar, perlahan mulai bisa tersenyum. Berkat perkataan selir kedua itulah, ia menyimpan harapan besar untuk mengisi kursi ratu yang telah lama kosong.
***
Diam-diam, selir Yun Zhi dan pelayan pribadinya memasuki istana mereka melalui pintu belakang.
Hal itu dikarenakan, mereka dalam mode penyamaran yang nyaris sempurna. Jika tidak, mustahil mereka berhasil mendapatkan obat-obatan di pasar terbuka tanpa ada yang mengenali.
"Utusan istana datang!!!" Seruan penjaga di depan gerbang, menandakan akan kedatangan tamu yang sedang melangkah menuju istana.
Yun Zhi dan pelayannya belum sempat berganti pakaian. Mereka panik, mengambil pakaian masing-masing. Lalu, secara asal mengenakannya sampai pelayan milik Yun Zhi tidak sadar, tidak menggulung rambutnya seperti biasa.
Tak Tak Tak
Dari pintu, terdengar derap kaki besar, lebar dan keras.
Yun Zhi dan pelayannya saling pandang satu sama lain. Pemikiran mereka serupa, tidak mungkin pemilik langkah itu adalah pelayan perempuan.
"Tapi siapa?" Lontar selir Yun Zhi.
Yin Er mengedikkan bahu. Maklum, selama lima tahun ini, yang selalu diminta datang sebagai utusan adalah pelayan perempuan dan Kasim.
"Apa tabib itu datang lagi?" Tebak Yin Er.
Yun Zhi diam sejenak. Detik selanjutnya, ia dan pelayannya tersentak hebat gara-gara ketukan pintu yang keras.
"Permisi, selir Yun Zhi, ini aku, jendral Li."
Kedua alis Yun Zhi langsung terangkat. Ia yang sebenarnya masih sakit, saking bersemangatnya jadi terlihat tidak sakit.
"Biar aku buka, nyonya." Dengan dua tangan sekaligus, Yin Er membuka pintunya selebar telentangan kedua tangan sendiri.
Angin kencang seketika meniup. Rambut panjang gadis itu serta merta menari-nari tertiup angin.
Deggg