3. Tidak Lebih Dari Debu.
"Aku baru tahu selir Yun Zhi punya pelayan secantik ini. Dan lagi, kenapa tidak kau saja yang jadi selir Yun Zhi supaya raja A Jhu mencintainya?"
*
*
*
Si pelayan milik Yun Zhi mengepalkan tangan karena emosi. Kalau saja keadaannya tidak darurat, sudah pasti ia memberi mereka pelajaran.
"Tuan, saya mohon jangan bercanda! Saya butuh bantuan. Saya mohon tuan," minta si pelayan.
Tawa mereka terhenti. Kedua prajurit itu malah saling pandang satu sama lain. Kemudian sayup-sayup si pelayan milik Yun Zhi mendengar bisik membisik keduanya.
"Selir Yun Zhi itu nyaris seperti debu di bawah kaki Raja. Meski apapun yang terjadi, Raja tidak akan peduli."
"Iya, aku dengar. Di acara festival kue bulan saja. Ia dihina sampai akhirnya pergi tanpa makan apa-apa."
"Ini pelayannya bagaimana?"
"Biarkan. Jangan pedulikan dia!"
"Hum."
Pelayan selir Yun Zhi langsung terbelalak. Bola matanya memancarkan kristal kristal.
"Tuan!!" Lalu, pelayan tersebut mengatupkan kedua tangan. Ia memohon-mohon agar dirinya dibiarkan masuk.
"Tuan, tolong saya, tolong biarkan saya masuk. Tolong, tuan. Nyonya saya sakit, nyonya butuh bantuan tabib."
Kedua prajurit tetap acuh tak acuh walau sebelumnya mereka sempat saling lirik.
"Tuan ..." Si pelayan milik Yun Zhi tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa bertekuk lutut agar keinginannya dikabulkan.
"Saya mohon, tuan."
Sekarang air matanya bercucuran. Kedua prajurit itu mulai goyah pada pendirian sendiri.
"Bagaimana?"
"Aduh, aku juga bingung. Pasalnya, raja pernah berpesan, selain raja sendiri, tidak ada yang boleh membiarkan orang dari istana angin di musim hujan berhubungan dengan istana raja."
"Tuan, saya mohon. Nyonya saya sakit. Saya mohon, tuan," pinta si pelayan Yun Zhi seolah tak menghargai dirinya lagi.
Sialnya, dua prajurit itu bersikukuh pada pendirian. Si pelayan milik Yun Zhi pun terisak-isak, tertunduk lesu.
Hiiii
Kuda meringkik. Lantang suaranya, memancing semua perhatian.
Ialah satu-satunya pria yang orang bilang cukup berpengaruh setelah Raja sendiri. Siapa lagi kalau bukan jenderal Li Kai. Li diambil dari kata Li yang artinya kekuatan dan Kai artinya kemenangan.
"Ada apa ini?"
Belum turun kuda, tetapi lontaran jendral itu berhasil membuat kaki kedua prajurit di bawah kepemimpinannya bergetar sehingga saat mereka menyambut jenderalnya, suara mereka gemetaran.
"Je--jendral."
"Siapa dia?" lanjut Li Kai mengarah pelayan milik Yun Zhi.
Merasa akan mendapat pertolongan, tanpa ragu, pelayan milik selir Yun Zhi itu merangkak dan berlutut tepat menghadap kaki jendral Li Kai.
"Tolong hamba, jendral, tolong!"
Li Kai menatap mereka bertiga secara bergilir. Beberapa detik kemudian, ia mengulurkan tangan dengan posisi pundak sedikit miring.
"Bangun!"
Pelayan milik Yun Zhi menganggap dirinya manusia rendah. Ia tak punya keberanian menyentuh tangan seorang berstatus tinggi selayaknya Jendral Li Kai.
"Jika kau tak butuh bantuan tanganku, artinya kau bisa bangkit sendiri," kata si jendral.
Pelayan tersebut bersusah payah bangkit. Maklum, kedua lututnya hampir mati rasa karena terlalu lama berlutut.
"Apa seperti ini yang aku ajarkan pada kalian?" Lontar Jendral Li dengan nada membentak. "Apa kalian lupa visi misi menjadi prajurit?"
Ditanya demikian, wajah kedua prajurit itu langsung pucat pasi. Sumpah, demi apapun, mereka takut Jendral Li Kai memberi sanksi.
"Hei, nona, katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa kau memohon-mohon pada mereka?" Tanya jendral Li pada pelayan milik Yun Zhi tersebut.
Kemudian si pelayan menjawab; bersemangat. "Jendral, hamba butuh bantuan untuk nyonya hamba. Wajah nyonya pucat, tubuhnya menggigil, dan dari tadi nyonya belum bangun."
"Kau dari istana mana?"
Si pelayan itu malah terdiam. Kemungkinan ia takut kalau jendral juga akan bersikap seperti dua prajurit tadi usai tahu siapa nyonya yang ia maksud.
"Aku tanya padamu, nona! Kau berasal dari istana mana? Siapa nyonyamu?" Ulang Jendral Li lebih tegas.
Si pelayan tetap bungkam. Lalu, salah satu prajurit yang punya sedikit keberanian pun membalas, "Jendral, pelayan ini berasal dari negeri barat daya, tentu ia pelayan pribadi selir yang tinggal di istana angin musim dingin."
Hanya dengan nama istananya, si jendral pun langsung tahu siapa selir tersebut. Dalam sekejap, wajahnya tidak sebengis semula.
"Nona, pulanglah ke istana nyonyamu. Satu dupa lagi, tabib akan datang kesana," ucap Jendral Li.
Seketika wajah pelayan milik Yun Zhi berseri-seri. Gegas gadis itu mengusap air matanya. Tak lupa seulas senyum terukir disertai anggukan. Kemudian ia berlari cepat, kembali ke arah istana nyonyanya berdiri.
***
Perkataan Jendral Li selalu dapat dipegang.
Tepat satu dupa berlalu, gerbang masuk istana atau rumah kecil selir Yun Zhi diketuk-ketuk.
Si pelayan selir itu bersemangat membukakan pintu. Namun, betapa sialnya ia dan nyonya nya karena mendapat tabib kelas paling rendah, yang artinya tabib ini hanya diminta untuk mengobati para pelayan dan prajurit.
Wajah si pelayan yang tadinya sumringah, pun berubah masam. Kendati demikian, ia tetap mempersilahkan tabib itu masuk.
"Silahkan, Tabib."
Di sisi lain.
Acara balap kuda milik ayah kandung selir Xiao Ju telah berlangsung. Acaranya berjalan secara meriah. Ditambah kedatangan raja sendiri. Tentu para penduduk sekitar pun tak ingin melewatkan kesempatan hanya untuk memandang raja bijaksana mereka.
"Sungguh gagah raja kami," celetukan seorang rakyat sekelas petani. Kemudian yang lain ikut menimpali.
"Bukan hanya raja saja, tetapi selir di sebelahnya juga sangat cantik," tambah petani lain.
"Jangan salah. Itu adalah anak bungsu Guru Jierui, yang tidak lain adalah pemilik perguruan ini sendiri."
Sambil bercerita, mereka berdegup terkagum-kagum. Tak henti-henti, mereka memberi pujian demi pujian untuk raja dan selir, bukan pada murid didik perguruan yang seharusnya jadi pusat perhatian.
Alih-alih menikmati pemandangan langka, Raja A Jhu malah diusik akan datangnya berita dari istana yang dibawakan oleh prajurit khususnya.
Mulanya wajah A Jhu tampak puas. Namun, sekarang hanya wajah datar yang terlihat.
"Apa kau kecewa pada favoritmu, Paduka?" Tanya Xiao Ju.
A Jhu kurang memahami. Kening raja itu berkerut semakin dalam saja.
Lantas, selir Xiao Ju terkekeh; menutup mulut dengan sebelah tangan.
"Maksudku, apa paduka kecewa pada peserta berkuda coklat itu. Ya, karena dari awal mula pertandingan, paduka terus memperhatikannya," tambah selir Xiao Ju disertai senyum dan tatapan memikat.
A Jhu terkekeh-kekeh. Ia menggapai gelas anggurnya. Ia teguk sedikit sedikit.
"Penglihatanmu awas sekali, selir Xiao."
Xiao Ju tersenyum. Hatinya berbunga acap kali ia mendapat pujian.
Di saat yang sama.
Tabib selesai memeriksa tubuh selir Yun Zhi. Sekarang ia dan pelayan selir itu berbicara di luar kamar.
"Apakah selir Yun Zhi seringkali menghabiskan malam di luar ruangan?" Tanya si tabib hanya untuk memastikan kebenarannya.
Pelayan tersebut mengangguk.
"Mulai sekarang tolong tahan selir Yun Zhi melakukan kebiasaan buruk itu. Angin malam terlalu buruk. Tubuhnya kecil dan lemah. Ia akan sering jatuh sakit bila tak merubah kebiasaan itu. Lebih-lebih sekarang sedang musim gugur," ujar si tabib setengah emosi.
Si pelayan menunduk, mengangguk.
"Ini nama obat-obatan yang harus selir Yun Zhi konsumsi selama sakitnya belum sembuh. Kau bisa ambil di rumah obat milik istana raja. Maaf sekali aku tidak bisa membuatkan, karena tabib rendah seperti aku tidak difasilitasi membawa obat sendiri," imbuhnya menerangkan.
"Iya, terima kasih tabib sudi datang kemari."
Si tabib tak membalas. Ia berbalik dengan mulut berdecak sebal. "Kalau bukan jenderal Li yang meminta, aku juga tidak akan sudi."
Kata-katanya lirih, tetapi masih bisa didengar pelayan tersebut.